Bukan Kejutan Biasa

5.9K 257 6
                                        


Seminggu setelah kematian Ardaad, tidak ada siapapun lagi di rumah Tsabiya. Ia sendirian, sahabatnya kembali bekerja sebagai buruh pabrik oleh-oleh di daerah Tsabiya tinggal. Di antara banyak pemuda dan pemudi di desa Tsabiya, hanya beberapa saja yang mendapat gelar sarjana. Beberapa putus kuliah dan yang lainnya tidak melanjutkan sekolah sama sekali karena keterbatasan biaya. Tsabiya termasuk yang mampu mengenyam pendidikan sarjana ekonomi dan sekarang bekerja di kantor pemerintah setempat.

Masih dalam keadaan malas bekerja sepeninggal ayahnya, kebiasaan gadis itu hanya duduk di jendela dengan kaki menjuntai ke bawah menyentuh bunga-bunga yang tumbuh subur di sana.

Pandangannya lurus dan kosong hingga tiba-tiba ia berkedip melihat sebuah mobil berhenti di depan pagarnya. Seorang laki-laki berpakaian casual turun membuka pagar lalu membawa masuk dan parkir mobilnya di bawah pohon beringin besar yang ada di rumah Tsabiya. Tsabiya memperhatikan sejenak, ia seperti mengenalnya.

Tsabiya segera masuk ketika seorang perempuan paruh baya berpenampilan seperti orang kaya raya turun dari mobil itu.

"Assalamualikum."

"Wa'alaikum salam," Jawab Tsabiya membuka pintu. Matanya masih bengkak karena menangis.

Perempuan tadi melempar senyum.

"Kamu yang namanya Tsabiya?"

"Iya, ibu siapa ya?" Tsabiya melirik laki-laki yang berdiri di mobil sambil memutar-mutar kunci mobil.

"Perkenalkan saya Yumna, bisa kita bicara di dalam aja? Ada yang ingin saya sampaikan."

"Oh ya, silakan masuk." Tsabiya mempersilahkan.

"Maaf Mas yang di mobil, silakan masuk dulu," panggil Tsabiya tidak enak. Laki-laki itu menoleh.

"El? Kok bengong? Masuk sini!"

"Eh iya Ma." Laki-laki yang dipanggil namanya tersadar dari tatapannya terhadap Tsabiya. Lantas mereka segera masuk dan bicara.

"Maaf sebelumnya, saya buatkan minum sebentar."

"Eh nggak perlu, nggak usah repot-repot. Kami datang cuma mau bicara sama kamu."

"Bicara apa bu? Apa ibu ini teman ayah saya? Apa ada amanah ayah atau mungkin ayah saya berhutang pada ibu?" Tsabiya siap siaga. Otaknya berfikir dari mana ia akan dapat uang untuk membayarnya.

Yumna menggeleng lalu tersenyum. "Saya dan anak saya dari Jakarta, maksud kedatangan kami ke sini untuk melamar kamu."

"Melamar saya?" Tsabiya terkejut. Siapa yang melamarnya? Ia tidak dekat dengan siapa-siapa. Lalu bagaimana bisa ia dilamar seminggu setelah ayahnya meninggal. Belum selesai keterkejutannya perihal ditinggal selamanya oleh ayah tercinta kini seseorang datang memintanya menjadi istri.

"Iya, melamar kamu untuk menjadi menantu saya, menjadi istri dari anak saya, Mikael."
Perempuan itu menunjuk ke sampingnya. Laki-laki bernama Mikael itu menengok sekilas.

"Ma---maaf Bu, saya nggak kenal Ibu dan anak ibu sebelumnya dan saya baru aja selesai berduka. Ayah saya meninggal seminggu yang lalu. Saya sendiri di rumah ini. Saya nggak merasa pernah berkenalan dengan anak Ibu. Mungkin lamaran Ibu salah alamat. Mungkin Tsabiya yang lain." Raut Tsabiya panik. Baginya tidak masuk akal.

"Kami mencari Tsabiya Luqyana Ardaad. Kamu kan?" Tsabiya kembali terkejut.

"Iya itu nama lengkap saya." Tsabiya gugup.

"Saya melamar kamu untuk menjadi istri anak saya. Kamu bersedia?"

"Bu, saya nggak kenal anak Ibu. Saya juga nggak punya wali nikah. Ayah saya sudah meninggal dan saya nggak punya saudara dekat." Tsabiya beralasan seperti kenyataan.

Tsabiya [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang