Park Jimin, pemuda kelahiran 13 Oktober, 1995 di Busan, pindah ke kota besar Seoul hanya untuk bekerja. Ia ingin membantu orang tuanya mencari uang untuk kebutuhan sehari-harinya.
Jimin baru saja turun dari kereta, ia bahkan tidak tau harus kemana ia pergi. Untuk tinggal saja ia tidak tau. Jelas, ia tidak punya teman yang tinggal di Seoul.
Mungkin ada, namun ia tidak ingat.
"Sepertinya aku harus mencari pekerjaan sekarang juga. Aku tidak mau menjadi gelandangan Seoul!" Ucap pemuda mungil ini dengan penuh semangat.
Oh, ayolah. Memangnya siapa yang mau menjadi gelandangan di kota besar ini? Jimin masih waras, saudara-saudara.
Jimin melihat kesana-kesini, berkeliling kota demi mencari pekerjaan. Sejak baru turun dari kereta, ia langsung mencari tanpa harus beristurahat dahulu dan berakhir ia kelelahan sekarang.
"Hah—aku lelah sekali," Jimin bersandar pada dinding bercat putih polos, ia membuka ponselnya. Ia tersenyum kala melihat fotonya bersama keluarga tercintanya.
Ah, ia jadi rindu. Padahal baru saja ditinggal.
"Aku tidak boleh lengah, demi keluargaku!" Pemuda mungil itu berucap penuh semangat, matanya tak sengaja melihat kertas yang menempel pada tiang listrik yang tidak jauh dengannya.
Karena dilanda rasa penasaran yang besar, perlahan ia menghampiri kertas itu. Matanya mendadak membulat dan berbinar.
Yas! Ini yang dicarinya—lowongan pekerjaan!
"Akhirnya! Aku harus kesana sekarang juga!"
Layaknya bajak laut yang menemukan harta karun, Jimin memilih naik taxi untuk menuju ke alamat yang tertera di kertas itu.
Jimin telah sampai dan berdiri di masion besar milik kediaman keluarga Jeon. Jimin izin kepada penjaga yang kebetulan sedang di luar, lalu Jimin di persilahkan masuk.
Pintu terbuka lebar dan seketika Jimin menatap takjub, "Apa aku akan bekerja di rumah besar ini? Ah, bahkan ini mirip sebuah istana seperti di film barbieku,"
"Ah, Tuan Park?"
Sapa seseorang dan Jimin menengok, ah dia pasti nyonya besar Jeon, Jimin mengangguk.
"Mari duduk sebentar, Tuan Park. Kita akan membicarakan soal pekerjaanmu."
Jimin kembali mengangguk dan mereka duduk di sofa yang sudah disiapkan. Bokongnya bahkan baru mendarat ke sofa, astaga—empuknya.
"Baiklah, Tuan Park. Perkenalkan, saya Angelica Jeon, saya yang membuat lowongan pekerjaan tersebut." Jabarnya panjang, Jimin mengangguk sekilas tanda paham,
"Lalu pekerjaan apa yang akan saya lakukan?" Tanya Jimin,
"Anda tidak bekerja disini, tetapi di rumah anak kami, Jeon Jungkook. Pekerjaan mudah, bersihkan dan rapihkan rumahnya, kau juga akan menetap disana sesuai kontrak. Untuk gaji, tenang saja, saya sudah tetapkan dengan jumlah besar."
Jimin mengangguk sekali lagi, "Baiklah, kapan saya akan mulai bekerja, Nyonya?"
"Entahlah, dia yang akan menentukannya. Kau akan diantar oleh salah satu supir untuk kesana." Ucap Nyonya Jeon.
"Ah—ya, baiklah, Nyonya."
"Mr. Wang, silahkan masuk," seorang lelaki dengan badan tegap masuk ke dalam ruangan dan membungkuk hormat kepada Nyonya Jeon.
"Ya, Nyonya?"
"Tolong antarkan Tuan Park ke rumah Jungkook, dia akan bekerja disana." Ucap Nyonya Jeon yang disertai anggukan patuh dari Mr. Wang.
"Baiklah, Nyonya. Mari, Tuan Park, saya akan mengantar anda ke tempat Tuan muda Jeon." Mr. Wang mempersilahkan Jimin, akhirnya mereka berdua keluar dan sebelumnya memberi hormat kepada Nyonya Jeon.
"Astaga, manis sekali dia. Semoga bisa menjadi menantuku." Ucap Nyonya Jeon sambil tersenyum penuh makna saat Jimin dan Mr. Wang keluar.
Kini mereka telah sampai di depan rumah milik anak dari keluarga Jeon. Jimin keluar dari mobil sedan, sebelumnya ia berterima kasih kepada Mr. Wang yang sudah mengantarnya dan sampai dengan selamat.
"Untung aku tidak bekerja di rumah Nyonya Jeon, bisa kesasar aku." Jimin terkekeh geli dengan ucapannya sendiri.
Ding-dong!
Bell rumah sudah ditekan Jimin, menunggu sang Tuan rumah segera membukakan pintunya.
Tak lama, pintu berukuran besar itu terbuka dan memperlihatkan lelaki dengan pemandangan tidak senonoh—menurut Jimin.
Jimin langsung menutup matanya, karena lelaki di depannya itu hanya memakai handuk yang menutupi bagian bawahnya, bertelanjang dada dengan keadaan basah, rambut acak-acakan. Sudah bisa dilihat, lelaki itu baru saja selesai mandi.
"Hey, kenapa kau menutup matamu?" Tanya lelaki itu, Jimin masih menutup matanya dengan kedua tangannya, walaupun tidak rapat, ia menunjuk ke arah badan telanjang lelaki itu.
Lelaki itu mengeluarkan seringai kecil, sepintas ide jahil melintas di otak kotornya.
"Hey!"
"Kau meriakiku?"
Jimin telak membeku, posisinya sangat tidak seharusnya. Dimana lelaki itu menghempitnya di dinding, mengunci pergerakannya, tatapan intens terus dilayangkan untuk Jimin, jarak wajah mereka sangat dekat.
"Kau pasti, Park Jimin-kan?" Tanyanya dan di jawab anggukan kecil dari Jimin yang menunduk. Menggemaskan.
"Sepertinya kau belum tau siapa diriku. Biar kuberitahu, aku adalah Jeon Jungkook—Tuanmu, Jimin." Jimin merinding saat Jungkook mengubah suaranya menjadi serak saat mengatakan ‘Tuanmu, Jimin’.
"N-ne? Maaf, Tuan. Aku tidak sengaja." Jimin masih setia menunduk, Jungkook mengangkat dagu Jimin dengan jarinya membuat Jimin harus menatapnya.
Bukannya Jimin yang gugup, tetapi justru sebaliknya. Jungkooklah yang mendadak gugup dan terpaku saat matanya bertabrakan dengan mata indah Jimin.
"T-tuan?" Dirasa Tuannya menjadi melamun, Jiminpun memanggil Tuannya agar sadar.
"Hah? Ah, ya. Kau duduk dulu disana, aku akan memakai baju." Ucap Jungkook yang langsung meninggalkan Jimin. Jimin hanya mematung bingung.
"Ada apa dengannya?" Jimin mengedikan bahunya acuh, melupakan kejadian yang baru saja terjadi, memilih duduk di sofa.
Berbeda dengan Jungkook yang asik mengumpat. Padahal ia yang sengaja ingin menjahili Jimin, namun gagal telak. Ia malah terpana dengan mata indah maid barunya itu.
"Sial, apa benar itu maid baruku? Atau malaikat? Bangsat, dia cantik sekali!"
Jungkook mengerang frustasi sambil mengacak surai hitam legamnya. []

KAMU SEDANG MEMBACA
submissive maid | kookmin
FanfictionJimin yang hanya ingin bekerja, namun malah terjebak dengan majikannya, Jeon Jungkook.