BAB 10 : Kata

20 4 12
                                    

Dua orang itu saling menatap dengan tatapan yang berbeda jika diartikan. Yang satu menatap dengan amarah, yang satunya lagi menatap dengan senyum bahagia yang pernah ia lontarkan.

"Tidak ada gunanya kau tersenyum! Buka topeng kebahagianmu itu!"

Dengan senyum paling bahagianya, ia menatap lawannya dengan tatapan membunuhkan. Seakan yang didepannya hanyalah sebuah semut kecil yang mudah dimusnahkan.

"Juga tidak ada gunanya kau membalas dendam. Karena hasil akhir yang akan kau terima tidak sama dengan bayangan yang telah kau buat."

Gera makin tersulut amarah. "Hira akan tetap jadi milikku. Dan selamanya akan tetap begitu." Telaknya.

Sedangkan lawannya hanya diam tak bereaksi. Diam bukan berarti tidak berpikir.

"Terkadang, membunuh seseorang itu tidak perlu memakai pedang atau pistol," Alfred menurunkan pistolnya yang sedari tadi ia sampirkan dibahu. Lalu menaruhnya dibawah tanah. "Kata. Sebuah usaha paling mudah untuk membunuh seseorang."

Gera mengernyit bingung, namun sebisa mungkin ia datarkan mimik wajahnya.

"Aku tahu kau pasti bingung dengan ucapanku. Tenang saja, akan kubuat mudah agar orang berotak dangkal sepertimu lebih cepat mengerti."

Gera sudah geram. Ia melayangkan pistolnya ke arah Alfred. Alfred yang melihat itu dengan sigap mundur, "Jangan terlalu bersemangat bermain. Karena untuk berolahraga saja butuh pemanasan dulu. Jadi tenang, biar ku mulai ceritaku dulu."

Alfred berdeham untuk memulai ceritanya.
"Gera, aku tau, kau lebih mengenal Hira lebih dulu daripadaku. Kau sudah lebih dulu membangun cerita bersamanya. Kau lebih tau karakter Hira yang sesungguhnya. Tapi, yang kau rasakan hanyalah sebuah obsesi. Tolong bedakan obsesi dengan cinta karena itu sama sekali tidak sama,"

Kau yang membuat Hira senang dengan senja. Senja yang selalu berhimpitan dengan awan. Namun sekarang, Hira sudah tak lagi suka senja sejak kau pergi. Katanya, senja sekarang itu menyeramkan. Kalau dia melihat senja, dia langsung ketakutan. Dia bilang dia tidak mau mengingatmu lagi,"

Gera diam. Dalam lubuk hatinya, ia sedikit teriris oleh kata-kata yang dilontarkan Alfred. Gera menyadari, ia telah membuat janji pada Hira sekitar beberapa tahun yang lalu. Janjinya pada senja, bahwa tiap kali Hira membutuhkannya, ia akan segera hadir. Namun ia melanggar janji yang ia buat sendiri. Senja murka, ia berubah menyeramkan saat Gera sudah melanggar janjinya. Gera tau itu sebuah kesalahan. Maka dari itu, ia kembali dengan harap bahwa ia, Hira dan senja akan kembali bersatu.

Alfred melihat keterdiaman Gera, timbul sebuah senyum simpul. "Sekarang beralih ke akar permasalahan. Tentang siapa? Ibuku, ya?"

Gera membeku ditempat. Alfred semakin tersenyum lebar dan siap untuk membacakan ceritanya.

"Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari sebelum hari ini aku menceritakannya padamu. Satu hari itu, ibuku menikah dengan ayahmu, salah satu orang yang dibenci oleh ayah kandungku. Ayah kita saling bermusuhan, seperti kita. Tapi selepas ayah pergi, ibu tidak punya siapa-siapa lagi. Lalu ayahmu datang, memberi sejuta kebahagiaan untukku, dan tentunya ibuku. Aku tidak tau kalau ternyata dia sudah memiliki anak, yaitu kau."

Setelah tahu bahwa ayah tiriku mempunyai anak, aku senang. Karena kita masih sangat kecil waktu itu. Aku sudah lama mendambakan seorang saudara yang bisa kuajak main. Tapi ternyata.. kau tidak menyukaiku.." Alfred masih tetap melontarkann senyumannya. Entah sudah berapa kali ia tersenyum.

"Sejak hari itu, duniaku menjadi lebih indah. Mempunyai keluarga lengkap adalah keinginanku sejak kecil. Tuhan mengabulkannya kala itu, tapi mungkin tidak denganmu,"

"Ya, aku sangat membencimu kala itu." Ucapan Gera itu tidak memberikan reaksi apa-apa bagi Alfred. Karena ia sudah tau itu sejak lama. Bahkan sejak pertama kali bertemu.

"Aku bukan bermaksud untuk mengambil kasih sayang ayahmu, hanya saja, aku terlalu senang mempunyai Ayah baru yang menyayangiku. Ayahmu yang juga ayahku memberi sebuah kehangatan yang tidak pernah aku rasakan dari Ayah kandungku sebelumnya. Semuanya baru, bahkan kebencian dirimu pun kujadikan sebuah tantangan baru."

"Kau terlalu banyak bicara, langsung saja ke intinya!"

"Kamu membunuh ibuku. Dan seharusnya aku yang menjadi pendendam. Bukan dirimu, Gera." Alfred merasakan sesak yang menggerogoti dadanya. Bayangan kala ibunya tekulai lemas dengan darah di perutnya membuatnya memejamkan mata. Menghalau beberapa hal yang mungkin akan terjadi jika ia tak pandai menahannya.
"Ayahmu kembali menjadi penjahat seutuhnya. Kau berhasil membohonginya dengan berkata bahwa aku yang menusuk perut ibuku sendiri. Tidak apa-apa sekarang, karena hatiku sudah terlalu membaik sejak kehadiran perempuan yang sudah mengisi beberapa kekosongan hati."

"Hira itu milikku!" Tegasnya. Sorot matanya selalu menatapnya dengan penuh kebencian.

"Tidak lagi, senja tidak berpihak padamu lagi. Ia telah murka, kau selalu berdusta."

"Kau pembunuh ayahku! Kau yang melakukannya!!"

"Tidak. Bayanganmu yang telah membunuhnya. Pun seperti kau membunuh ibuku, ibumu juga. Bayanganmu yang membunuhnya. Bukan jiwa atau ragamu."

Gera terduduk dan terisak. Baru pertama kali ia menangis dihadapan orang yang sangat ia benci setengah mati itu. "Tidak, kau yang membunuh. KAU YANG MEMBUNUHNYA!!" Ia masih tetap pada tekadnya.

Alfred menghela nafas mendengarnya. Ia mengepalkan jari-jarinya guna menahan amarah yang juga membuncah dalam dadanya, "Gera, semua yang sudah terjadi, entah kau yang kehilangan Hira, kehilangan janji dengan senja, kehilangan ayah dan ibu. Semua tidak bisa diputar oleh waktu. Hanya kau sendiri yang bisa merubahnya. Kau harus berubah, aku harus berubah. Kita sama-sama berubah. Menjadi pendendam bukan rencana paling baik dalam membunuh seseorang."

"Ayah dan ibu, korban dari kebencianmu padaku. Jadi sekarang jika kamu memang ingin membunuhku, ayo lakukan." Tantang Alfred.

Gera diam.

"Tidak mau?"

Gera bangkit. Ia menatap ke langit senja yang seketika membawanya pada kenangan saat dulu. Benar, senja benar-benar murka padanya.

"Kau tahu? Dari sekian banyak musuh yang harus kuhadapi, kenapa harus dirimu? Kenapa kita harus bersaudara meski tidak sedarah? Kenapa juga kita harus mencintai perempuan yang sama?"

Tanpa semua tau. Alfred pun rapuh. Ia ingin sekali menonjok berulang-ulang wajah orang dihadapannya ini. Membuatnya sekarat, lalu ia masukkan kedalam jurang. Seperti yang ia lakukan pada orang-orang yang gemar mencari masalah dengannya.

Namun kini, ia tahu. Membunuh Gera, akan membuat langit kembali membencinya. Ia sudah menyadari kesalahan kesalahan dimasa lalu yang seharusnya bisa menjadikan pelajaran.

Alfred menatap Gera lekat-lekat. "Kenapa aku tidak mau membunuhmu? Karena aku tau konsekuensi yang akan kudapatkan ketika aku membunuhmu. Aku bisa saja dihindari oleh Hira, dan aku tidak mau itu terjadi. Cukup padamu, tidak denganku."

"Padahal, jika kau membunuhku, masalah selesai. Tidak ada lagi yang akan mengganggumu, tidak ada lagi yang akan merebut Hira darimu. Kau aman, dan tinggal aku yang kelam." Kata Gera disaat dirinya sudah merasa musnah.

Kaki panjang Alfred mendekatinya, sampai saat ujung sepatu kulit mereka beradu.
"Oh tentu saja. Aku akan aman saat dunia tidak ada dirimu lagi. Tapi, apa aku akan aman saat seseorang yang 'pernah' menjadi saudara tiriku itu mati ditanganku? Depresilah yang akan menghantuiku."

Jika Alfred membunuh Gera, dunianya memang benar aman. Tapi, Hira juga yang akan menjauhinya.

"Al, kenapa? Kenapa dunia kejam padaku?"

"Bukan dunia yang kejam padamu, tapi perasaanmu sendiri yang menanamkan kebencian pada seseorang, mengapa kau membenciku?"

"Karena kau selalu punya apa saja yang kau inginkan. Hira mencintaimu, dan kau pun mencintainya, apa lagi? Kekayaan yang kau punya, semuanya menjadi sebab mengapa aku membencimu! Termasuk kasih sayang ayahku yang sempat kau rebut."

"Terserah, aku sudah mengatakannya tadi kalau aku tidak merebut kasih sayang ayahmu. Dan Gera, masalah ini selesai."

Memories at the end of duskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang