Alfred kembali ke mansion dengan wajah pucat. Ia belum makan dari pagi, bahkan menyentuh air saja sepertinya belum. Astaga, ia memang benar-benar ingin bunuh diri.
Sempat ditanya beberapa kali oleh para maid tentang kondisinya, tapi Alfred memilih diam. Ia sedang tidak mau bicara, ia hanya ingin berdiam diri dikamar, merenung. Hanya itu yang ingin ia lakukan. Meski ia tau, kondisinya sedang tidak memungkinkan.
"Tuan, saya ambilkan makanan, ya? Sepertinya Tuan belum makan," Ucap bibi Jun.
Alfred menggeleng tanpa bersuara. Ia tidak selera untuk makan. Biarlah perutnya meronta sendiri. Alfred masih bisa menahannya sedikit.
"Bagaimana dengan minum, Tuan?"
Baik, untuk minum Alfred tidak bisa berpuasa, maka ia mengangguk. Selepas bibi Jun membawa air minum padanya, ia segera beranjak ke kamar.
Sesampainya dikamar pun ia hanya bisa berbaring, lalu melamun lagi. Baginya, melamun kini sudah menjadi teman baiknya. Ia memejamkan mata, lelah, letih, ingin keluar rasanya dari rintangan ini.
Karena ia bingung ingin berbuat apa, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kamar Hira. Mencoba menghidupkan imajinasi bahwa Hira berada disana, menunggunya untuk ditemani tidur, atau bercerita hal-hal yang tidak terlalu penting.
Aroma wangi tubuh Hira memasuki indra penciumannya kala membuka pintu. Membuat seluruh tubuhnya merasakan denyut yang tak biasa, seolah dari denyut itu bisa terdengar bisikan rindu pada gadisnya.
Tatapan mata Alfred beralih ke arah nakas, disana, dipajang foto yang Alfred yakini adalah Hira dimasa lampau, dan mungkin bersama keluarganya. Lagi-lagi, potret itu membawanya pada sebuah cerita dimana Hira sangat asyik saat menceritakan tentang masa lalunya di desa.
Tidak seperti disini, rasanya tempat ini seperti sebuah penjara bagi Hira. Apalagi, tempat ini adalah saksi bisu atas perlakuan dinginnya Alfred pada Hira. Meski kini es itu mulai mencair juga.
Alfred menarik sudut bibirnya, tersirat kata rindu yang banyak sekali dimatanya. Tentang banyak hal yang membuat dirinya kaku juga menyesal dengan perbuatannya dulu. Tapi, itu sudah menjadi kenangan bukan?
Setengah jam berada disana membuat dada Alfred semakin sesak. Bukan ini tempat yang membuat hatinya ringan ternyata. Alfred bangkit lalu turun kebawah menuju halaman belakang. Spot favorit Hira untuk bersantai sambil memandangi ikan yang berenang dikolam.
Para maid menunduk saat Alfred melewatinya. Tibalah ia disana dan disambut dengan hangatnya lembayung senja yang hangat. Warna jingganya yang menusuk hati dan membuatnya kembali mengingat gadis itu.
Terdiam sejenak. Hari ini adalah hari terlelah bagi Alfred. Bukan hanya soal Hira, tapi semua, tentang dirinya, hidupnya. Seperti ember yang tiba-tiba bocor dan menumpahkan semua air yang tadinya ada didalamnya. Hidupnya seperti itu sekarang, kosong dan hampa. Butuh banyak perbaikan yang sudah dirusaknya.
"Al?"
Sebuah suara membangunkannya dari lamunan panjang. Oh, itu Daniel.
Daniel duduk disamping Alfred. "Kau masih memikirkannya?"
Sejenak hening. Hanya ada suara air mancur yang terletak dipinggir kolam. Lalu Alfred bersuara, "Apa kau sedang menanyakan suatu hal yang kau sudah tahu jawabannya?"
"Bukan begitu," Kelahnya. "Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu. Tentang Hira."
Kalimat itu seolah menghantam dada Alfred. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah Daniel, menunggu pria itu berbicara lagi. Tapi yang ada hanya helaan nafas yang terdengar. Daniel diam, dan Alfred yang cemas.
"Ada apa dengan gadisku? Dia baik-baik saja, kan?"
"Sebaiknya kau cepat pergi kesana, aku tidak bisa mengatakannya secara langsung."
Tanpa diberi aba-aba, Alfred bergegas pergi meninggalkan Daniel. Mencari kunci mobil dan melaju meninggalkan mansion.
***
Langkahnya tergesa-gesa dengan keringat yang terus bergulir dari pelipisnya. Yang Alfred pikirkan saat ini adalah gadisnya. Ucapan Daniel tadi membuat dirinya cemas, sangat cemas. Ada kemungkinan buruk dan baik dalam satu waktu. Yang pasti, seharusnya yang diterimanya adalah kemungkinan terbaik.
Ia sudah sampai di pintu kamar tempat Hira tidur panjang. Namun, Hira sudah tak ada disana. Astaga!
"Apa kau tahu dimana pasien bernama Hira berada?" Tanyanya kepada perawat yang sedang lewat.
"Yang sempat koma?" Alfred mengangguk. "Oh, dia sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, Tuan. Pasien sudah sadar."
Sadar?
SADAR?
Alfred tidak salah dengar, kan?
"Sadar?"
"Iya, pasien sudah sadar dari komanya. Tuan."
Alfred tersenyum lebar sambil bernafas lega. Dirinya seperti sedang bermimpi saat ini.
Setelah diberi tahu letak kamar yang baru, Alfred segera bergegas kesana. Berlari menuju masa depannya. Dirinya berhenti disebuah kamar VIP, ia membuka pintu dengan hati-hati. Lalu, seketika air matanya tumpah.
"Hira..."
Kaki jenjangnya berjalan dengan perlahan. Disertai dengan air mata yang masih menderu deras. "Kau bangun, sayang?"
Tangan Alfred gemetar saat ingin menyentuh pipi Hira. "Aku merindukanmu, sangat merindukanmu." Bisiknya.Hira tersenyum meski tubuhnya sedikit lemah. Dia belum bisa bersuara saat ini. Namun dari senyumannya, Alfred bisa mengartikan bahwa Hira akan baik-baik saja.
***
Dua jam kemudian, Hira sudah bisa berbicara seperti biasanya.
Dunia Alfred yang tadinya kelam, berubah menjadi hangat ketika sudah bertemu dengan gadisnya. Gadis yang selama ini dirindukannya.
"Aku selalu membawakanmu bunga mawar, namun hari ini aku lupa karena terburu-buru." Katanya.
Hira terkekeh, "Aku tahu."
"Kau tahu?" Tanya Alfred tidak percaya.
"Katanya, seseorang yang sedang koma itu sebenarnya tidak tertidur. Ia hanya memejamkan mata tapi sadar. Al, aku tahu kau selalu datang kesini. Aku tahu kau selalu telat makan sebab omelan Daniel selalu membuatku ingin membuka mata dan memberitahumu agar jangan lupa makan. Mungkin mataku memang tertutup, tapi jiwaku terbangun. Aku bisa dengan jelas mendengarkan semua ceritamu."
Alfred tersenyuh. Benar, selama ini ia menakuti dirinya sendiri dengan pernyataan bahwa Hira tidak akan bangun kembali. Semua yang ia takutkan sia-sia, dan beruntungnya semuanya tidak terjadi.
Semesta menginginkan kebahagiaan.
"Aku selalu rindu dengan semuanya."
Semesta tahu mana yang terbaik. Kedua senja itu sudah bersatu. Hanya menunggu waktu terbaik untuk sama-sama tenggelam.
"Kau tahu? Meski banyak ribuan bintang yang menemaniku tiap malam, tapi mereka tidak pernah bisa membuatku hangat seperti ketika aku memelukmu untuk pertama kali."
Hira tertawa. "Kau jadi pandai berkata-kata ya sekarang?"
Mereka berdua tertawa. Takdir dibawah semesta tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories at the end of dusk
RomanceSenja adalah ilusi Aku dan kamu adalah bayangannya Kita pernah dipertemukan untuk dipersatukan. Namun tidak untuk selamanya. Kita yang terjebak pada jaring-jaring pembunuh rasa. Kita yang seharusnya lari dari dunia. Malah saling memeluk rapuh senj...