Layaknya narapidana yang terbebas dari penjara. Ia tertawa. Merasa bahwa sudah waktunya ia bergerak. Satu persatu misinya telah terlaksana. Ia sedikit menggebrak meja untuk mengapresiasikan perasaan bahagianya.
"Mana yang harus kuajak main terlebih dahulu? Si belalang atau bunganya? Kurasa dua-duanya bukan masalah." Sebuah perumpamaan yang sangat sederhana.
"Para belalang itu sungguh bodoh! Bisa-bisanya mereka menyepelekan kemampuanku dalam segala hal?" Kemudian sorot matanya menandakan amarah. "Menghindar? Apakah bisa? Bahkan jika mereka ingin pergi ke ujung dunia pun aku bisa memantaunya!"
Mereka terjebak dalam zona tidak aman. Berbahaya. Ini berbahaya. "Lalu siapa yang seharusnya kubunuh lebih dulu? Belalang atau bunganya?"
Ia memainkan pulpen di atas meja. Kilatan matanya merah, seperti ada api yang menyala di dalamnya.
"Mereka semua akan membusuk di bawah tanah, liat saja!"***
Hira terkejut karena Daniel tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. "Mau apa kau kesini?"
"Kita bermusuhan, ya?"
"Cepat, Daniel!"
Pria itu menghela nafas, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Alfred sakit."
Mata Hira melebar. "Apa? Kalau gitu panggilkan dokter!"
"Dia tidak butuh dokter,"
"Maksudmu?"
"Dia butuh kau." Suara berat Daniel keluar.
Hira terpaku sebentar. "Kenapa harus aku?"
Daniel mengangguk, "Karena memang kau yang dia mau, nona."
"Aku harus ke kamarnya?"
Bola mata Daniel memutar malas. "Tidak. Ya iyalah!"
Hira tersenyum kecil. Entah apa yang membuatnya bahagia. Ia sedikit berlari kecil saat keluar kamar. Meninggalkan Daniel yang menatapnya miris.
"Gadis bodoh."
***
Suara pintu terketuk. "Buka saja! Aku tidak menguncinya." Dan suara serak milik Alfred terdengar.
Hira membuka pintu, dan bertemu dengan sepasang mata bermanik biru. "Kata Daniel kau sakit dan butuh aku." Ujarnya polos.
Lelaki itu mengernyit sebentar, lalu tersenyum simpul.
"Kalau begitu masuklah."Hira ingin memegang dahi pria itu. Ingin memastikan bahwa ia benar-benar sedang sakit. Namun ia tidak cukup punya nyali. "Mau kubuatkan sup? Biasanya ketika keluarga ku sedang sakit mereka akan langsung sembuh saat memakan sup buatanku."
Alfred menggeleng, "Aku tidak butuh apa-apa. Hanya kau disini."
Matanya terpejam. "Seberat itukah masalah yang ada di kepalamu?" Hira menyatukan tangannya di bawah dagu.
"Ya—" Alfred menelan ludah, "—Sangat berat." Ia membuka mata. Menatap sepasang mata coklat yang menatapnya dengan polos.
Hira terkesiap. "Aku–uhmm, bisa membantumu, mungkin?. Meskipun sedikit."
"Itu akan semakin berbahaya." Gumamnya lemah.
"Mereka akan senang jika kau terus menerus menyerah, Al."
"Lebih baik kau pergi dan tidur. Aku butuh istirahat."
"Nggak! Aku ma—"
"Ini perintah." Ucapan itu seperti menikam tentunya. "Aku sudah tidak butuh kau lagi."
Hati Hira seperti ditusuk-tusuk sekarang. Sangat perih. "aku tau kau tidak akan pernah membutuhkanku." Hira tersenyum kecil.
"maksudku–"
"Tidak, aku memang seharusnya pergi. Jaga dirimu baik-baik. Kusuruh Daniel nanti yang menjagamu."
"Hira..."
Hira mengangguk. "Aku baik-baik saja, Al. Tidak usah mengkhawatirkanku."
"Kau akan pergi?"
"Iya," Hira terdiam sebentar. "Pergi dari kamarmu," Sedetik kemudian tawa Hira pecah. "Wajahmu! Sangat lucuu!"
Alfred berusaha menghentikan Hira, namun tawa Hira belum juga berhenti. Disela-sela itu, Alfred tersenyum tipis, sangat tipis. "Hira cukup!"
Tawanya berhenti. Menyisakan gema di sudut ruangan. "Kau takut jika aku pergi?"
"Tidak"
"Tapi tadi kau seperti menahanku"
"Itu tidak sopan, Hira." Nada dinginnya seketika keluar.
"Aku lebih suka kau marah padaku daripada bersikap dingin." Hira mengusapkan kedua tangannya.
"Aku akan pergi. Selamat istirahat." Senyum mansinya timbul.
Hira menarik nafas sebelum menutup pintu, Alfred masih memperhatikannya. Hira tersenyum manis, sedetik kemudian setelah berada di depan pintu yang tertutup, tangisnya pecah. Tawa tadi adalah buaian palsu untuk menutupi air mata yang ingin keluar. Hira menutup mulutnya, menahan isakan yang sungguh menyesakkan dada. Sebisa mungkin ia bertahan. Hira berlari untuk ke kamarnya.
Ia meringkuk di dalam selimut. Dan menenggelamkan dirinya dibawah bantal. Meredam suara isakan yang terdengar sangat pilu.
Hira tau, kehadirannya disini akan menghadirkan masalah besar untuk mereka. Karena salah satu incarannya adalah, dirinya.
Berawal dari sepeninggal ibunya, Hira dijual oleh ayahnya kepada Geraldton, Keluarga Gera. Ayahnya mempunyai utang yang sangat banyak karena terus menerus melakukan judi. Akhirnya, Hira menyerah dan pasrah tentang apa yang akan terjadi.
Sudah cukup. Ia rasa persembunyiannya cukup sampai disini. Kalau tidak, mereka akan mengancam Alfred, dan juga Daniel.
Ini sungguh rumit. Semuanya berkaitan. Dan Hira akan menyelesaikan semua ini, sendiri.
***
Ruangan seluas 4 x 4 m² dengan lantai marmer itu lengang.
Hanya ada suara deru nafas dari masing-masing manusia yang saling berhadapan. Yang satu menyilangkan tangan didada, satunya lagi membaca berkas.
"Kuharap ini segera berakhir. Aku sungguh lelah untuk berfikir." Gumam Daniel. Pria itu melayangkan tatapan malas.
Alfred menengadah. Ia memutar kursi, "Hanya ada satu jawaban,"
"Apa?"
Pria itu memejamkan mata. Menikmati sentuhan angin yang sangat minimalis. "Menyerah."
Amarah itu muncul. "Tidak akan! Sampai bumi ini hancur pun aku tidak akan menyerah padanya!"
"Bukan, maksudku bukan menyerah seperti itu. Tapi—" ucapannya terpotong kala salah satu maid datang dengan wajah panik.
"Tuan, gawat!" Nafasnya sungguh tersengal-sengal.
"Ada apa? Coba tarik nafas dulu sebelum berbicara."
Sang maid mengikuti perintah. Lalu, "Nona Hira tidak ada disekeliling mansion, tuan!"
Alfred menggebrak meja. Entah apa yang sudah merasukinya. Ia berlari ke arah pintu, mendorong si maid dan lanjut berlari. Pikirannya kalut, tentang kemana perginya gadis itu.
Keringat sungguh bercucuran, "Mana mobil?!" Teriaknya pada pengawal yang berjaga di gerbang depan.
Daniel keluar gerbang dengan nafas yang tak beraturan. "Jangan gegabah, Alfred. Kau—"
Brumm!
"—Oh tidak." Bahunya merosot. Mobil itu sudah melaju cepat membelah hutan pinus.
"Manusia itu telah dibutakan oleh cinta."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories at the end of dusk
RomansaSenja adalah ilusi Aku dan kamu adalah bayangannya Kita pernah dipertemukan untuk dipersatukan. Namun tidak untuk selamanya. Kita yang terjebak pada jaring-jaring pembunuh rasa. Kita yang seharusnya lari dari dunia. Malah saling memeluk rapuh senj...