Bumi terus berputar namun gadisnya belum juga sadar. Meski Alfred lelah dan ingin rasanya mengutuk semesta, tapi ia masih ingin melihat Hiranya kembali.
Jantungnya terhimpit saat melihat monitor yang selalu melihatnya detak jantung Hira, namun itu tidak berfungsi bagi Alfred. Hira tetap tidak terbangun.
Tatapannya beralih ke arah vas bunga yang diletakkan disudut ruangan itu. Tampak cantik dengan banyaknya bunga mawar putih yang sepertinya tengah menghiburnya.
Alfred terdiam, memikirkan sesuatu hal yang ia takutkan. Bagaimana jika Hira hilang ingatan? Atau lebih parahnya lagi, bagaimana jika Hira pergi, untuk selamanya.
Tidak. Alfred menggelengkan kepalanya untuk menghapus fikiran buruk itu.
Hira harus baik-baik saja.
Setelah cukup lama memandangi gadisnya, Alfred bangkit. Lalu menunduk dan memberi sentuhan singkat di dahi gadisnya. "Aku tau, kau gadis yang kuat. Dan coba tolong buktikan dengan membuka kedua matamu yang indah ini,"
***
"Mau kemana?"
"Pulang,"
Daniel mengernyitkan dahi, "Pulang? Secepat ini?"
Mereka berdua berjalan menyusuri koridor. "Memangnya kenapa?"
"Biasanya kau betah ingin berlama-lama disana, sekarang kau ingin pulang. Ada sesuatu yang salah?"
"Tidak. Aku hanya ingin membiarkan Hira menikmati mimpinya tanpa gangguan."
Dalam perjalanan, Alfred mendadak bisu. Ia menjadi seseorang yang sering melamun akhir-akhir ini. Lamunannya pun tidak jauh dari gadisnya.
"Malam ini ada meeting penting. Jam delapan, ku harap kau tidak meninggalkannya lagi seperti yang sudah-sudah."
Dan Alfred hanya membalasnya dengan berdeham singkat.
"Al?"
"Aku sedang tidak ingin banyak bicara,
Niel.""Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Apa Hira akan bangun?"
Dengan refleks, Daniel memukul kepala Alfred, membuat Alfred sedikit meringis.
"Kau memukulku?!"
"Bodoh. Al, bicara apa kau tadi, hah?!"
"Kenapa jadi kau yang memarahiku?!"
"Al, dengar. Dari tadi yang kau pikirkan hanya itu? Semua yang kau lamunkan setiap hari sama?"
Alfred mengangguk.
"Kalau Hira tidak akan bangun, Apa yang kau lakukan?"
"Mungkin aku ikut dengannya." Jawabnya enteng.
Daniel memijat pelipisnya. "Kau itu memang berubah, tapi berubah menjadi seseorang yang lemah! Kau dibutakan oleh cinta. Mana Alfred yang kuat itu? Aku sudah tidak melihatnya lagi. Sekarang hanya tinggal Alfred yang lemah."
Mungkin benar yang diucapkan Daniel. Alfred telah berubah, dan Hira adalah penyebabnya. Kalau bisa mengeluh, Alfred pun lelah bila terus disuruh menunggu seperti ini. Tidak ada kepastian. Yang ada hanya dua kemungkinan, Hiranya bangun, atau Hiranya pergi, dan yang Alfred mau pastinya opsi pertama. Namun apakah itu semua bisa terjadi? Semua hal yang sudah ada hari ini membuatnya bimbang. Memang benar yang dikatakan orang, manusia kalau sudah jatuh cinta pasti keras kepala dan susah dibuat mengerti. Sampai dirinya sendiri pun sulit mengerti apa yang terjadi.
Sejenak, Alfred diam, membenarkan semua argumen yang Daniel ucapkan padanya. Kemudian, ia beranjak pergi, mengunjungi suatu tempat untuk berpikir. Berpikir tentang rencana apa lagi yang semesta buat untuknya, juga takdir yang selalu membuatnya jenuh.
Bukit dekat kebun miliknya pun menjadi pilihan untuk berpikir bagi dirinya. Disini, pernah dirajut sebuah kenangan manis bersama gadisnya.
"Al, disitu ada bukit yang tidak terlalu tinggi," Kata Hira sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
"Lalu?"
"Aku mau kesana,"
"Ingin apa?"
"Melihat senja. Yuk!" Ditariknya tangan Alfred agar menghindar untuk mendengar ucapan tidak setuju yang akan Alfred lontarkan nanti.
Sesampainya diatas bukit, Hira tersenyum girang, meski senja belum juga terlihat dari matanya. "Indah sekali!"
Hira terus tersenyum hingga indahnya senja pun kalah indah dengan senyumannya. Alfred bahkan tidak tau bagaimana cara harus membalas senyuman paling indah di muka bumi ini menurutnya. Sudah Alfred katakan bukan bahwa senyuman Hira itu adalah candu baginya. Ia ingin setiap hari selalu melihat senyuman itu, bahkan setiap detik kalau bisa.
Andai ia punya mesin waktu, ia akan terus meminjamnya pada Tuhan, atau bahkan mencurinya, untuk dibawa pulang agar waktu bersama Hira tidak pernah berakhir barang sedetik pun. Alfred tidak mau waktu yang kini ada berakhir, sebab dulu waktunya hanya dihabiskan untuk meladeni musuhnya, membunuh, memasukkannya kedalam jurang, kalau disandingkan dengan film horor, pasti arwah korban yang ia bunuh sekarang sedang menggentayanginya. Tapi kan, orang yang ia bunuh itu adalah seseorang yang memang mengganggu hidupnya. Oke, kembali ke topik.
Sesaat sudah tersadar dari lamunannya tentang kenangan bersama gadisnya di tempat ini, Alfred menghela nafas sejenak. Mencoba untuk tenang dan tegar atas apa yang sedang dihadapinya. Mungkin ini adalah jawaban Tuhan atas semua pertanyaan dalam benaknya. Dulu, Alfred selalu bertanya, akankah ia punya seorang putri yang membawanya ke dalam dunia kebahagiaan? Dan kini pertanyaan itu telah terjawab.
"Tuhan, jika engkau mengizinkan kembali, bawalah Hira untuk kembali padaku. Tidak akan pernah ku sakiti lagi hatinya, atau bahkan menyakiti perasaanya, sedikit pun tidak akan pernah. Karena aku tau, gadis itu terlalu sempurna untukku yang hanya biasa. Ia telah merubahku banyak hal, sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam hidupku pun kembali ia hidupkan. Pintu yang tadinya terkunci rapat, kini bisa terbuka lebar akibat ketukan hatinya yang memabukkan. Tuhan, bila waktu masih ada, izinkan aku untuk tetap memilikinya, memiliki senyuman indahnya yang tak bisa tertandingi oleh apapun. Aku ingin ia selalu memberiku warna baru, menerbitkan sejuta mimpi yang belum kuraih, membuat suatu kenangan terindah lagi yang tak pernah bisa terlupakan. Tolong, Tuhan, izinkan aku meminta mesin waktumu, untuk membalikkan semua waktu yang pernah ku habiskan bersamanya."
Kok flat banget ya? Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories at the end of dusk
Roman d'amourSenja adalah ilusi Aku dan kamu adalah bayangannya Kita pernah dipertemukan untuk dipersatukan. Namun tidak untuk selamanya. Kita yang terjebak pada jaring-jaring pembunuh rasa. Kita yang seharusnya lari dari dunia. Malah saling memeluk rapuh senj...