BAB 8 : Menatap senja

17 4 1
                                    

Senja, orang-orang mengatakannya sangat indah, sangat spesifik. Namun bagi Hira, senja itu menyeramkan. Senja itu tidak indah seperti yang orang katakan. Mereka berdusta. Seolah keindahan di setiap masa hanya senja yang menjadi ratunya.

Hira terus berjalan menelusuri hutan yang cukup jauh dari mansion. Menapaki kakinya disetiap ranting-ranting yang bertaburan. Ia sedikit meringis kala kakinya tergores ranting yang cukup tajam. Darah terus mengalir di bawah. Namun ia tetap terjaga, seolah rasa sakit yang ia rasakan kini hanya transparan.

Namun ketika ia hendak bersandar di pohon besar yang baru ia temukan, Hira dikejutkan dengan kedatangan pria bertopeng dengan sebuah pistol di tangannya.

"Akhirnya, aku menemukanmu disini gadis kecil," Pria itu mendekatkan tangannya ke wajah Hira, seolah ingin menyentuhnya. Hira dengan cepat menepis tangan itu.

"Siapa kau?!"

Pria itu tertawa, "Kau tidak perlu tau siapa diriku. Ayo ikut aku, kita akan makan malam bersama dengan santapan yang luar biasa." Matanya yang berada dibalik topeng mengerling.

Hira sebisa mungkin melawan, namun pria itu lebih kuat. Tangannya sudah digenggam kuat olehnya. Hira sudah lelah, tenaga nya telah habis. Ia hanya bisa meringis dan memohon. Namun sayang, itu saja tidak cukup untuk bisa melawan.

"Jangan melawan, manis. Aku tidak segan-segan untuk menggores wajahmu yang cantik ini jika kamu tidak bisa diam." Lalu tangannya mengambil sesuatu dari kantong belakangnya. Sebuah pisau lipat terlihat.

Dan Hira langsung bisa mengetahuinya, "Kumohon, lepaskan aku." Alfred tolong aku.

Gadis itu akhirnya menangis, dan parahnya, pria itu malah senang melihatnya. "Aku senang ketika air matamu keluar. Apalagi ketika darahmu keluar," Hira langsung bergidik ketika mendengarnya.

"TOLONGGG!!!" Teriaknya. Namun nihil, hutan sedalam ini jarang ditempuh orang-orang. Mengingat hari sudah hampir malam.

"Percuma, sayang. Tidak akan ada yang mendengarmu." Sekarang, kakinya juga ikut tertahan. Pria itu telah mengikatnya.

Hira terus menangis. Kepalanya terus memikirkan hal-hal yang membuatnya ingin tetap hidup. Seperti, pergi ke makam ibu, atau lebih singkatnya, ia masih ingin bersama dengan Alfred. Hira meringis kala pisau itu mengenai bagian pipinya. Kini, wajahnya telah timbul darah.

DUARR!

Suara tembakan itu menggema. Pria itu menoleh, mencari sumber ledakannya. Hira juga ikut terkejut.

Tak selang waktu lama, beberapa orang datang mengepung si pria bertopeng tersebut, sambil menodongkan pistol.

Hira terkejut, ia masih berusaha memahami apa yang terjadi. Si pria bertopeng seperti ketakutan karena kini ia kalah dalam jumlah. Lalu kemudian, seseorang datang dengan santai dari arah barat.

Alfred.

Hira tersenyum lega.

"Berapa kalimat yang kau lontarkan padanya? Berapa kali kau lilit tali itu di tubuhnya? Mau ku coba padamu?"

Pria bertopeng mundur sedikit demi sedikit. Ia tau akan kalah jika melawan.

"Urus dia. Dan bawa ke mansion."

Alfred berjalan mendekati Hira. Gadis itu tampak lemah dimatanya. Ah, Alfred jadi merasa bersalah saat tanpa sadar ia telah mengusirnya.

Mereka saling tatap sampai akhirnya Alfred menarik gadisnya ke dalam rengkuhannya. "Maaf," Ia berbisik lirih. "Maaf Hira, maaf, maaf, maaf, maaf." Pelukan itu mengerat.

Namun merasa yang dipeluk tidak bergeming, Alfred melepas pelukannya. Hira pingsan. Ia sudah cukup lemah sedari tadi.

Alfred menatap jaket nya yang berubah warna menjadi merah, lalu menatap ke arah perut Hira.

Ia membelalakkan mata setelah melihatnya, darah. Psikopat itu telah lebih dulu menusuk gadisnya tanpa Alfred tau.

"Sialan!"

***

"Ya ampun, Nona Hira!" para maid yang biasa menjaga Hira terkejut melihat keadaan Hira sekarang. Penuh darah, juga tubuhnya yang memprihatinkan.

"Panggilkan dokter! Cepat!" Yang disuruh segera berlari ke dalam untuk menelepon dokter. Dan pengawal yang lain membantu Alfred untuk mengangkat tubuh Hira.

Darah di perut Hira sudah berhenti mengalir, namun ia belum juga terbangun. Membuat kepanikan Alfred makin menjadi-jadi. "Tuan, apa tidak sebaiknya kalau nona dibawa ke rumah sakit? Kurasa menunggu dokter akan membutuhkan waktu lama." Kata salah satu perawat Hira, Bibi Jun.

Alfred baru mengingat bahwa letak mansion nya jauh dari kota, bisa dibilang di pelosok. "Kau benar, Cepat siapkan mobil! Kita bawa dia kerumah sakit,"

Bibi Jun membantu Alfred untuk mengangkat Hira ke dalam mobil. "Beritahu Daniel aku tidak bisa menemuinya sekarang," Lalu bibi Jun mengangguk. "Baik tuan"

***

Sesampainya dirumah sakit, Hira langsung dibawa ke UGD. Melihat bahwa lukanya yang cukup parah dibagian perut, wajah dan kaki, Dokter memutuskan untuk membawanya ke UGD.

"Bantu sadarkan dia, kumohon." Mata teduh milik Alfred kini berubah menjadi mata penuh kesedihan.

"Tuan tenang saja, ia akan baik-baik saja, kami akan berusaha semaksimal mungkin agar ia bisa sadar dan pulih kembali,"

Alfred tidak akan pernah merasa lega sebelum gadisnya bisa membuka mata. Ia memejamkan mata. Lelah, Alfred lelah dengan semuanya. Kenapa harus gadisnya yang menjadi seperti ini? Kenapa bukan dirinya?

Ia mengacak rambutnya gusar. Tak lama kemudian, Daniel datang dengan wajah yang juga panik.

"Alfred!" Panggilnya, ia berlari untuk mendekatinya, "Bagaimana?"

Alfred menggeleng, "Dokter belum juga keluar," Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku... Takut,"

"Ssst! Jangan bicara seperti itu, kau harus yakin kalau Hira akan bangun secepatnya."

Alfred bukannya tak yakin, ia hanya
sedikit... Ragu? Ia percaya bahwa gadisnya akan segera bangun, namun, ada suatu hal yang membuatnya menjadi tidak yakin.


***

Dokter membuka pintu, refleks, Alfred dan Daniel berdiri lalu menghampirinya. "Bagaimana, dok?" Tanyanya tidak sabar.

"Pasien mengalami tusukan di beberapa area perutnya, dan itu hampir saja terkena jantungnya. Untuk saat ini, pasien mengalami.... koma."

"Apa?!" Tubuh Alfred melemas seketika.

"Ia akan terbangun, tapi saya tidak bisa memastikan kapan ia akan terbangun. Mari kita tunggu keajaiban datang." Dokter itu membungkuk sebentar lalu pergi.

Daniel mengusap punggung Alfred, menyadarkan bahwa bukan hanya ia yang terkejut. "Hira akan baik-baik saja."

Sampai sekarang, Alfred belum mengerti akan kata-kata 'Baik-baik saja' yang sering dikatakan orang. Karena beda dengan keadannya yang sekarang, Hira tidak baik-baik saja.


Memories at the end of duskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang