TUMBAL PERAWAN Part 1

32.5K 441 21
                                    

Berada di ruangan sempit dan minim pencahayaan itu saja sudah membuat bulu kudukku meremang. Apalagi berada satu ruangan denhan seorang dukun yang sedang komat kamit membakar dupa.

"Jadi, berapa bayi lagi yang harus kubawa, Mbah?" tanyaku ketika Mbah Somo mulai membuka mata.

Bukannya menjawab, pria berpakaian serba hitam itu malah memelototiku. Gigi-gigi hitamnya gemerutuk menampakkan seringai yang mengerikan.

"Gobl*k! Kalau Mbah lagi ritual, jangan nyela-nyela!" maki pria berkumis lebat itu.

Dadaku berdebar hebat, seluruh tubuh bergetar.

"I-iya, Mbah."

Mbah Somo kembali konsentrasi di 'meja kerja'. Menaburkan kelopak bunga mawar merah ke sebuah bejana berisi air bening nyaris penuh.

Brak!

Mbah Somo menggebrak meja dengan wajah memerah. Bola matanya nyaris menggelinding keluar.

"Kenapa kalian melanggar pantangan, hah?!"

Astaga! Jantungku hampir saja copot! Bagaimana bisa Mbah Somo tahu aku tak meniduri adik iparku yang masih perawan?

"Gobl*k kamu!"

"Ma-maaf, Mbah. Maaf. Sa-saya gagal meniduri adik ipar. Dia lagi mens," jawabku dengan mulut bergetar.

"Loh? Kamu ini gimana? Wong sudah tak kasih waktu satu purnama, kenapa alasanmu dia lagi mens? Apa dia mens satu bulan, hah?!"

Aku tak tahu harus menjawab apa. Sedang kenyataannya memang Yeni, adik ipar sasaranku, mempunyai penyakit aneh --entah apa namanya-- sehingga ia mengalami mens selama berminggu-minggu, bahkan sampai sebulan. Istriku sendiri yang menceritakannya.

"Mbah kasih satu kesempatan lagi. Kalau sampai kamu ndak bisa nidurin perawan dalam satu purnama ini, kamu tahu sendiri resikonya. Nyawa kamu jadi taruhannya."

Ucapan pria berusia sekitar 60-an tahun itu benar-benar membuat nyaliku menciut. Ketakutan berkecamuk di dada. Jika sampai tak dapat menggagahi Yeni, aku pasti mati.

"I-iya, Mbah. A-akan sa-saya lakukan perintah Mbah Somo."

"Hmm ... dan satu hal lagi. Kamu harus menyerahkan satu bayi yang baru lahir. Paling lambat 35 hari dari sekarang."

Apa? Satu bulan lagi? Bayi siapa lagi yang harus kutumbalkan sedang di kampung tak sedang ada wanita hamil tua? Kepalaku berdenyut. Aku harus memutar otak agar bisa memenuhi syarat tepat waktu atau setidaknya tidak melewati batas waktu.
_______
Kulajukan motor ke arah rumah. Retno, istriku, sudah menunggu di depan rumah.

"Dari mana ta, Mas, jam segini baru pulang?" tanya wanita yang kunikahi dua tahun yang lalu itu saat aku memasukkan motor ke dapur, tempat yang paling memungkinkan untuk parkir karena ukurannya yang cukup luas dibanding ruangan lain di rumah ini.

"Nyari obyekan, Dik. Kamu belum tidur, ta?"

"Belum, Mas."

Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Biasanya, Retno sudah melayang di alam mimpi. Ia menggamit lenganku, lalu menarik ke kamar.

"Mas, aku ...." Wajah wanita berambut ikal sebahu itu memerah.

"Apa, Dik?" tanyaku sambil duduk di tepi ranjang. Retno ikut meletakkan bokongnya di sampingku. Sangat rapat.

"Nganu, Mas. Aku pengen ...," ucapnya lirih.

"Pengen apa, ta, Dik?"

"Duh, Mas ini kok ya ndak peka banget, ta? Ya, pengen bikin anak, ta!"

"Hahaha ... ha mbok, ya, bilang! Mana Mas tahu kalau kamu ndak bilang."

Tumben sekali Retno meminta 'jatah' duluan. Biasanya aku yang selalu memulai lebih dulu. Ketiban duren, mana bisa kutolak.

Saat bersiap 'menyerang'nya tiba-tiba aku teringat peringatan dari Mbah Somo. Aku dilarang meniduri istri sebelum bisa mendapatkan keperawanan gadis tumbal. Sial! Mana hasratku sudah memuncak di ubun-ubun.

Retno yang sudah siap menerima eksekusi, terlihat menungguku dengan penuh harap. Bagaimana aku bisa mengatakan kalau aku tak boleh menyentuhnya? Sedang kami sangat ingin memiliki keturunan setelah dua tahun menikah.

"Mas ...," bisik Retno di telingaku. Tersentak, lalu tanpa sadar aku mendorong tubuhnya hingga terlentang di ranjang.

Sontak aku terperanjat, lalu serta merta membangunkannya. Tapi Retno menghalau, kemudian bangkit sendiri. Berlari ke luar menuju kamar sebelah dan mengunci pintunya rapat-rapat. Sekilas kulihat wajahnya sebelum pergi, air matanya tumpah membasahi pipi dengan wajah merah menyala. Aku yakin dia marah dan kecewa. Namun, di sisi lain aku merasa lega bisa menghindari pantangan syarat dari Mbah Somo.
_______
"Dik, aku minta maaf." Kucoba mengais ampun dari wanita yang amat kucintai, tapi sepertinya sia-sia saja. Retno masih tetap diam di dalam kamar tanpa membuka pintu sejak semalam.

Ketukan di pintu berulang kali tak meluluhkan hatinya.

"Ya, sudah, Dik. Kalau ndak mau bukain pintu. Mas mau pergi dulu sebentar. Mau nyari obyekan."

Tetap tak ada sahutan. Kuputuskan untuk pergi. Satu hal tujuan yang kupikirkan sejak semalam. Aku akan pergi ke rumah mertua, mencari Yeni untuk melakukan persyaratan pesugihan. Dengan begitu aku bisa menggauli Retno lagi dan tentu saja tujuan mendapatkan kekayaan secara instan akan segera terwujud.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sesampainya di rumah mertua yang tak jauh dari rumah yang kutinggali, suasana begitu sepi. Aku sudah menduganya. Pagi-pagi seperti ini, bapak dan ibu mertua pergi ke ladang. Sedang Yeni, kutaksir sedang ada di rumah sendirian, karena belum mendapat pekerjaan usai lulus sekolah SMK.

Perlahan, kulangkahkan kaki memasuki rumah. Tak ada yang curiga, karena tetangga kanan kiri tahu aku adalah menantu di rumah ini. Lagi pula, layaknya kehidupan di desa, suasana sepi. Kebanyakan orang pergi beraktivitas di sawah atau ladang.

Pintu yang tak terkunci memudahkanku masuk. Lalu segera menyusuri ruang demi ruang. Tak terlihat Yeni di kamarnya. Satu-satunya tempat yang belum kulihat adalah dapur. Segera kulangkahkan kaki ke sana.

Dadaku berdebar-debar. Keringat mengucur deras. Gugup. Namun, aku harus melakukannya. Kubuka tirai di pintu dapur.

Glek!

Adik dari istriku itu terlihat sangat menggoda dengan daster tanpa lengan tengah duduk di kursi sembari memotong-motong sayuran. Kemolekan tubuh, bibir merekah, dan leher yang jenjang membuat napasku memburu. Memperbesar hasratku untuk menggaulinya. Setan di telinga terus berbisik menyoraki agar aku mendekat. Dan ia berhasil! Selangkah demi selangkah kaki ini mulai membawaku ke arah Yeni. Semakin dekat. Hingga tubuhku berhenti tepat di sampingnya. Gadis itu menoleh.

"Mas Bagas?"

Tbc.

TUMBAL PERAWAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang