Can't Take My Eyes Off You

21 5 3
                                    


Marissa memasuki ruang kelas, menghampiri teman sebangkunya, “Ver, kamu anaknya Om Rudi, bukan?”, kali ini mereka duduk di deretan ke dua.

“Iya.”, jawab Vera kebingungan.

“Rumah kamu di Perum Permata Indah?”

“Iya.”, Vera masih kebingungan.

“Berarti kamu beneran anaknya temen ayahku.”, balas Marissa merasa pasti.

“Oh, kirain apaan.”, cebik Vera sambil menatap teman sebangkunya itu.

“Ayah kamu pernah datang ke rumahku, ya?  Kok bisa tau rumahku?”

“Iya, katanya benerin computer papamu.”

“Oh,  Om Wijaya yang itu!”, Vera menjentikan jarinya, “Iya, iya, aku inget. Kamu kapan mau main ke rumahku?” , ajak Vera pada akhirnya.

“Hehe, gak tau lah. Tapi nanti juga pasti ke sana. Entah itu buat kerja kelompok atau sekedar main.”, balas Marissa yang diangguki Vera.

“Siappp!!! Beri salam!”, interupsi Aksa, sang ketua gugus saat pemateri memasuki ruang kelas orientasi.




















“Nah, sambil nunggu pemateri selanjutnya dateng, kalian bisa istirahat atau sekedar ngobrol-ngobrol dulu.”, kata Evan pada adik-adik bimbingannya.

Di sela-sela menikmati waktu istirahat, para peserta orientasi gugus 8 mendadak tegang karena pintu diketuk. Mereka mengira Penegak Disiplin yang terkenal galak, akan segera memasuki ruangan kelas itu. Tapi yang muncul adalah sebuah kepala.

“Assalamu’alaikum.”, salam pemuda itu menonjolkan kepala bulatnya, membuat penghuni gugus 8 merasa kesal sekaligus lega. “Lagi pada ngapain, nih?”, tanyanya sambil menunjukkan deretan giginya.

“Gak lagi ngapa-ngapain.”, jawab Evan sambil menunjukkan muka datarnya seperti biasa.

Pemuda itu tersenyum sumringah,  membuka daun pintu lebih lebar hingga menampakkan tubuh bongsor dan jangkungnya, “Nah, pas banget, nih. Sini dong, Bim!”,  ajak pemuda itu pada teman dekatnya di  balik pintu.

Marissa mendekatkan bibirnya ke kuping Vera, berbisik penasaran,  “Kakak itu siapa sih?”

“Kak Fadly?”, tanya Vera memastikan.

“Hah? Kak Fadly?”

“Iya. Yang pake topi kan?”

“Heem. Eh, kak Fadly tuh lucu ya.” tanpa sadar, Marissa memberi pendapat.

"Hah? Etjieee.", kerling Vera yang masih bisa mendengar.

Marissa salah tingkah, "Eh? Kalo yang satu lagi siapa?", tanyanya lagi berusaha mengalihkan topik.

“Gak tau. Yang pasti sih temennya.”, jawab Vera setengah becanda.

Perhatian mereka kembali teralih ke depan, pada kakak bertopi itu, yang katanya bernama Fadly, “Kakak punya  permainan. Namanya Jika Aku, Maka Aku. Pada tau, gak?”

Para peserta orientasi gugus 8 serentak menggeleng sebagai jawaban.

Fadly mendesah samar, “Contohin, Bim.”, suruh Fadly pada temannya yang dipanggil ‘Bim’.

“Ya sama lo lah! Lo yang ngajak main.”, elak si ‘Bim Bim’ itu.

“Lha iyhaaa, berduaaa.”, Fadly membuka mulutnya lebar merasa kesal dengan tingkah temannya. “Jadi gini, yang cewek nulis ‘jika aku blablabla’, yang cowok nulis ‘maka aku blablabla’. Misal nih, ya, Kakak nulis ‘jika aku sakit’, Kak Abimana nulis,”

The Art of Eye Contact (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang