i

13 1 3
                                    

   Aku Ka. Dia Ri. Tapi kami bukan kari. Aku baru tahu kalau Ri lebih suka indomi* rendang daripada ayam bawang.

   Sudah empat hari aku dan Ri saling diam. Ri tidak memulai obrolan seperti biasa, dan aku juga tidak berusaha memulainya. Sudah sebenarnya, tapi rasanya aneh. Seperti saling menjaga jarak, seperti terpaksa. Tidak seperti Ri yang biasa.

Hingga hari kelima, Ri tiba-tiba mengajakku ke toko buku. Aku pikir ini tanda damai darinya, jadi aku iya-iya saja.

Di toko buku pun kami hanya diam. Sibuk dengan buku masing-masing. Aku mengikuti langkah Ri dari satu rak ke rak yang lain sambil terus membaca novel yang sampul plastiknya sudah terbuka. Aku tidak sadar kalau Ri menghentikan langkah dan berbalik sehingga aku menabraknya.

"Eh, maap." Aku mendongak, melihat Ri takut-takut.

Ri mendorong dahiku dengan telunjuknya. "Kebiasaan." katanya. Aku hanya nyengir. Senang Ri akhirnya berbicara. "jangan suka gitu dah, Ka. Untung yang lo tabrak gue, kalo om-om sensi gimana?"

"Tinggal minta maaf."

Aku mencibir, melanjutkan membaca novel. Ri seperti biasa, mendengus. Hafal sifatku yang terkadang masa bodoh.

Ya memangnya harus bagaimana lagi? Kan memang tinggal bilang maaf?

Setelah berkeliling mencari buku, kami pergi ke toko donat yang ada persis di depan toko buku, kemudian pergi ke rumahku.

Ri duduk di karpet, sementara aku tiduran di sofa. Sibuk dengan buku di tangan masing-masing. Sesekali aku melirik Ri yang masih fokus pada bacaannya dan melirik kotak donat yang belum tersentuh sama sekali.

Aku meniup poniku. Ini terlalu hening. Aku menaruh buku di atas perut.

"Ri, gue mau cerita." kataku akhirnya. Cari topik. Padahal tidak ada yang ingin aku ceritakan.

"Apa?" tanya Ri tanpa melepaskan pandangan dari bukunya.

"Lo baca apaansih? Serius amat."

"Bukan buku alay kayak lo pastinya."

Dih! Alay apanya coba?! Dasar cowok! Novel teenlit saja dibilang alay!

"Dih, alay nenek lo!"

Ri melirikku sinis. "Nenek gue gak alay ya!" Aku memutar mata. "yaudeh, cerita apaan?" Katanya akhirnya. Malas berdebat denganku yang pasti tidak ada ujungnya.

"Hmm, tapi gue males bicara panjang lebar, gue juga males nulis, apalagi ngetik. Seandainya kita bisa telepati." Mendengar itu, Ri gantian memutar mata, paham sifatku yang begitu imajinatif dan pemalas, tentunya.

"Terus gimana?" Ri menatapku malas, menandai batas bacaannya dan menutup bukunya. "gue juga gak bisa baca pikiran lo, Ka."

"Yaudahlah, lupain aja."

"Yeee, apaansih lo curut!"

"Gak jadi."

Aku gak tau sampai kapan kita seperti ini, yang jelas, terima kasih sudah hadir.

🐰🐻

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EntahlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang