Bab 2: Usaha

124 20 99
                                    

"Kabar apa yang kamu bawa sampai nabrak?"

Mawar tersenyum, awalnya simpul, lalu kemudian sedikit melebar dan lama-lama sangat lebar hingga gigi-gigi putihnya terlihat.

"Mawar berhasil dapat bea siswa."

"Alhamdulillah." Terlihat binar kebahagiaan di mata tua itu. Tuhan sudah menjawab doa-doanya selama ini. Ia sangat bersyukur.

"Makasih buat doa-doa Ibu, ya."

"Kamu harus rajin belajar, jangan mengecewakan!"

Mawar mengangguk mengerti.

"Bu, mangkuknya." Mawar sedikit berjengit dan seketika memutar badan ke arah suara. Pemuda tampan yang tadi ditabraknya terlihat berdiri di samping gerobak. Sekilas Mawar mengagumi penampilannya.

"Harusnya nggak usah diantar ke sini, Kak."

"Nggak apa," jawabnya.

"Nak Dilan memang selalu mengantar bekas makannya sendiri," kata Bu Asih kepada Mawar. "Makasih dan sekali lagi maafin yang tadi, ya, Nak Dilan." Perempuan setengah baya itu terlihat masih tidak enak pada Dilan.

Dilan tertawa pelan. "Iya, Bu. Nggak apa. Ini anak Ibu?" Dilan menunjuk Mawar dengan ibu jarinya. Mawar dan Dilan bertukar pandang.

"Iya, anak saya."

"Halo, kenalin aku Dilan." Dilan mengulurkan tangannya. Tidak seperti biasa, ia mengajak seorang gadis berkenalan dalam waktu singkat.

"Wah ada yang udah bosen ngejomblo."

Belum lagi tangan Dilan bersambut, datang sekumpulan pemuda yang membuatnya menarik kembali uluran tangan itu.

"Kak Wira, aku berhasil dapatin beasiswa."

Wira dan kawan-kawan adalah sekelompok mahasiswa yang sangat suka mengolok-olok Dilan. Mengatai jomlo lumutan, cupu, dan yang paling menyakitkan adalah ucapan mereka yang mengatakan Dilan tidak suka cewek. Namun, selama ini Dilan hanya diam. Ia bukan tidak ingin melawan, tapi Dilan berpikir dengan mendiamkan mereka akan membuat olok-olokan itu berhenti dengan sendirinya. Hanya saja pada kenyataannya itu sungguh tidak berhasil. Seperti kali ini contohnya.

"Wah selamat, ya, Dek."

Mawar keluar dari balik gerobak bakso ibunya dan mendekat ke arah Wira yang terlihat mengulurkan tangan.

"Makasih, aku seneng banget bisa berhasil dapat bea siswa." Mawar menyambut tangan Wira dengan gembira. Senyum di bibir keduanya terbit.

Melihat dan mendengar interaksi kedua manusia itu membuat Dilan pelan-pelan mundur dan bermaksud pergi. Namun, telinga Dilan seolah ditusuk oleh sebuah kalimat yang Wira ucapkan secara jelas di hadapannya, "Hati-hati, jangan mau dimodusin sama jomlo lumutan itu!"

"Wira, sebenarnya masalah lo apa?"

Kali ini entah mengapa kemarahan Dilan terpantik. Ia merasa sudah saatnya buka suara. "Oh, udah berani bersuara rupanya."

"Gue bingung sama otak-otak pem-bully macam lo ini. Apa, sih, yang lo cari? Lo puas gitu dengan mengatai gue seenak jidat?"

Dilan maju selangkah dan menunjuk dahi Wira. Wira mengkerut karena terlalu kaget dengan reaksi Dilan yang di luar kebiasaan. Biasanya ia hanya menunduk.

"Udah, Kak. Maafin Kak Wira," ucap Mawar pada Dilan, "Kak Wira jangan gitu lagi, ya," lanjutnya ke arah Wira. Gadis itu sedikit bingung dengan suasana panas yang tiba-tiba muncul. Dilan kali ini benar-benar melangkah pergi. Ada sedikit rasa tidak enak di hati Mawar.

***

Sedangkan di sudut kantin yang lain, Mona sedang mengawasi gerak-gerik Dilan.

Hatinya sedikit nyeri melihat Dilan yang sepertinya tertarik pada Mawar. Saat Dilan pergi dari hadapan Mawar, Mona segera membuntuti cowok itu. Mona memang nekat, ia tidak mundur untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Dilan!"

Dilan menghentikan langkah, menoleh ke arah suara. Senyum manis Mona pasang demikian indah di bibir. Siapa tahu kali ini Dilan berbaik hati menyukai senyumnya. "Kenapa, Mon?"

"Pulang bareng, yuk!"

"Sorry gue masih ada kuliah."

Hanya itu. Dilan meneruskan langkah. Dengan sigap, Mona menyusul cowok itu.

"Minggu besok jadi nonton, kan?"

"Gue nggak suka nonton."

Selalu begitu. Mona sebenarnya sudah kehabisan cara untuk mencuri perhatian Dilan. Namun gadis itu enggan menyerah.

"Kalau gitu, gimana kalau kita ke toko buku?"

Dilan berhenti mendadak. Mona yang terburu-buru mengikuti langkah lebar Dilan, spontan menabrak punggung cowok itu. Kemudian ....

Bruk!

Mona kaget karena tidak menyangka Dilan akan berhenti mendadak. Ia segera menarik diri dan mundur selangkah. Dilan dan Mona saling menatap.

"Mona, gue nggak mau ke mana-mana."

"Kalau gitu gue temenin lo di rumah."

"Aduh, gue nggak habis pikir, ya, kok ada cewek modelan kayak lo gini?" kesal Dilan. Kalimat itu berhasil membungkam Mona. Gadis itu melongo.

"Oke."

Mona merasa tersakiti mendengar kalimat terakhir Dilan. Cewek model apa yang Dilan maksud? batin Mona. Tak terasa setitik embun di matanya terbit.

Mona mempercepat langkah. Berkali-kali ia berusaha untuk mencuri hati Dilan, tetapi baru kali ini ia mendengar kalimat menyakitkan semacam itu. Mona berjalan menunduk hingga tak sengaja tubuhnya kembali menabrak seseorang.

"Duh, sorry gue nggak sengaja."

"Mona? Lo kenapa?"

Itu Rio, sahabat Dilan. Rio mengamati wajah Mona yang tak seperti biasa. Mona hanya bisa menunduk, ia ragu untuk mengatakan apa yang baru saja membuatnya merasa tersakiti. "Gue nggak apa-apa."

"Mona, mata lo merah. Abis nangis? Kenapa?"

"Gue--"

"Rio, cabut, yuk!"

Mona dan Rio menoleh ke arah suara. "Gue cabut duluan, Rio. Lain kali aja ngobrolnya."

Mona pergi begitu saja membuat Rio sedikit bingung. "Oke," jawab Rio akhirnya, meski Mona sudah berlalu. Dipandanginya tubuh semampai itu hingga menghilang ke arah parkiran.

"Udah, ayo cabut!"

🏃🏃🏃

Woah siapa tuh yang datang-datang ngajak cabut? Hmmm maaf baru update di jam Cinderlla😍

Semoga masih ada yang menunggu cerita ini.

Salam
Noya

Tangsel, 6 Mei 2019

Jomlo Sampai HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang