"Yaampun, Dilan! Lo, tuh ... ah, nggak tau gue mesti komen apa," umpat Kevin. Ia geleng-geleng kepala, merasa tidak mengerti jalan pikiran sahabatnya.
"Udahlah, Vin. Jangan gitu, ah!" Rio lagi-lagi jadi penengah. Ia tentu geli dengan kelakuan sahabatnya, tetapi bukan Rio namanya kalau ikut-ikutan Kevin.
"Terus gue mesti gimana? Gue nggak mau pacaran, dosa." Kevin menepuk jidat.
"Terus ngajak cewek yang bahkan baru sekali ngobrol, kawin itu bener?" sindir Kevin.
"Nikah."
"Sama aja." Kedua sahabat Dilan tidak habis pikir, di usia yang bahkan belum 21 tahun bisa-bisanya terpikir untuk menikah. Ini zaman modern, bukan lagi zaman di mana anak belasan tahun dinikahkan. "Sekarang rencana lo apa?"
"Gue belum tahu, Vin," jawab Dilan pasrah.
"Sekarang gini aja, deh. Lo kalau memang suka sama Mawar, ajakin jadian. Abis itu mau langsung lamar atau apa terserah."
Dilan pikir apa yang dikatakan Rio benar.
***
Dilan terus memikirkan apa yang kedua sahabatnya dan Wira katakan. Membuat status dengan Mawar bukanlah harus menikah. Mereka bisa pendekatan dulu, saling mengenal satu sama lain.
Satu sisi Dilan sangat mendukung pendapat itu, tetapi di sisi lain katakutannya akan dosa begitu menyiksa. Ia terus saja memaksa otaknya untuk berpikir. Tentu saja ia tak mau nilainya anjlok hanya gara-gara itu. Dilan juga tidak ingin memaksakan diri untuk berpacaran karena itu sangat bertentangan dengan hatinya. Dilan terus berperang dalam batin sampai-sampai ia tidak menyadari ke arah mana langkahnya menuju.
"Kak, mau makan bakso?" tanya sebuah suara, "udah tutup, kan ini jam lima."
Dilan tersentak, bingung sendiri kenapa ia bisa sampai di depan gerobak bakso milik Bu Asih. Di hadapannya berdiri Mawar dengan mangkuk-mangkuk yang terlihat bersih. "Ah, ehm, anu ...."
"Kakak kenapa?"
"Eh, boleh ngobrol sama kamu sebentar?"
"Ini juga lagi ngobrol."
"Maksudku bukan di sini," jawab Dilan, "tapi di situ." Dilan menunjuk pojok kantin yang terlihat sepi. Kursi dan mejanya masih tertata rapi. Mawar mengangguk, meminta Dilan untuk menunggunya di tempat yang akan dituju.
Mawar bergegas membenahi mangkuk-mangkuk yang tadi dipegangnya ke dalam lemari penyimpanan perabot. Ia bergegas menghampiri Dilan setelah semua pekerjaannya selesai. Mereka saling melempar senyum.
"Mau ngobrol apa lagi, Kak?" tanya Mawar.
"Aku mau tahu alasan kamu nolak aku."
Mawar menatap ke dalam mata cowok di depannya. Mata itu terlihat tulus, tetapi apa yang dipegang Mawar adalah prinsip. Mawar tidak akan berhubungan spesial dengan cowok mana pun sebelum cita-citanya tercapai.
"Kita masih terlalu muda, Kak. Cita-citaku masih jauh untuk kugapai. Kak Dilan juga masih lama, kan, lulusnya?"
***
Benar kata Mawar, usia mereka masih belia.
Cita-cita masih belum terlihat ujungnya.
Mungkin gue harus kembali fokus, batin Dilan. Ya, berbincang dengan Mawar tadi membuat pikirannya mendadak terbuka. Dilan bersyukur malam ini ada seminar. Kebetulan sekali tema yang diangkat adalah 'Bagaimana Cara Memulai Usaha'.
Dilan memang sudah bercita-cita memiliki usaha sendiri. Belum tahu di bidang apa, tetapi yang jelas cita-cita itulah yang menyeretnya memilih jurusan Manajemen Bisnis. Baginya, menjadi seseorang yang mengerti ilmu manajemen adalah sebuah keuntungan. Ia akan dengan mudah menyusun rencana-rencana yang kira-kira menguntungkan bagi perusahaan.
Dilan sudah berada di sebuah hotel bintang tiga, di mana seminar itu diselenggarakan.
Memilih kursi paling depan karena kebetulan datang lebih awal adalah sebuah keuntungan. Dari posisi itu, Dilan akan sangat gampang menyerap segala informasi. Di samping itu, di barisan paling depan, biasanya akan sangat jarang terjadi obrolan antar para peserta.
Setengah jam berlalu, tetapi pembicara belum juga muncul. Panitia acara bolak-balik meminta maaf dan menganjurkan para peserta seminar untuk makan dan minum dahulu. Mendengar itu sebenarnya Dilan sedikit kesal, tetapi bayangan ilmu yang akan ia dapat nanti suksea membuatnya bertahan. Ia memutuskan untuk menuju ke belakang, tempat di mana beberapa meja berisi makanan kecil dan minuman disediakan.
Dilan ikut membaur dengan orang-orang yang berniat mengambil makanan atau minuman. Ia baru saja mengambil piring kecil dan menaruh dua potong brownies, saat seseorang terdengar mengaduh cukup keras. Spontan Dilan menoleh, di sana ia mendapati sosok yang sangat ingin dilupakannya.
"Maaf, Dek, saya nggak sengaja," ucap lelaki setengah baya yang sepertinya tadi menumpahkan minuman di blouse putih Mawar. Melihat Mawar yang seolah menahan sakit di bagian dada atas sebelah kirinya, Dilan mendekat. Cowok berambut mangkuk itu mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku kemeja flanelnya, kemudian memberikannya pada Mawar.
"Lain kali hati-hati, Pak," tegur Dilan kesal.
"Maaf, ya, Dek," ucap si lelaki itu lagi.
"Iya, nggak apa, kok, Pak," sahut Mawar.
Dilan dan Mawar beradu pandang.
☕️☕️☕️
Part ini menguras tenaga dan waktu.
Sudah berhasilkah aku mematahkan hati Dilan? Hahaha, aku jahat banget. Huhuhu.😱
Vomen masih ditunggu.
Salam,
Noya Wijaya
Tangsel, 13 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Jomlo Sampai Halal
RomanceDilan, mahasiswa biasa yang menjalani hari-hari istimewanya sebagai jomlo. Ia adalah pemuda yang aktif berkegiatan, dari bakti sosial sampai menghadiri seminar-seminar. Wajahnya yang tampan tak serta merta menjadikannya punya pasangan seperti teman...