08 - Halusinasi

7 0 0
                                    

Tapak kaki perlahan melangkah memasukki ruangan menyekat tak karuan arah. Dimensi khusus yang mengharuskan setiap jejak memakai baju hijau dan degup kacau. Salah siapa jika semua orang berakhir ditempat ini? Bukankah menepis takdir tak semudah melawan kejamnya nadir?

Baru kali ini aku mendengar lelah bisa tak terasa karena kecemasan akan seseorang yang disayang. Sejuk angin fajar kini tidak singgah ke muara asal, mereka mengejar hirupan lain melupakan yang terbaring.

Erat ku genggam tangan yang mulai mendingin, sesekali aku usapkan kedua tangan kami bersamaan supaya nyawa yang terbaring ini merasakan kehangatan.

"Anoushka."

Aku tertidur dengan kedua tangan memegang jemari kasarnya yang dibaluti infus, kepalaku terbaring disamping bangkar. Perlahan aku membuka mata dan mengusap menggunakan kedua tanganku yang tadi menggenggam salah satu tangannya, "Aksa, kamu udah bangun." Ku gerakkan jemari menuju lembut wajahnya yang pucat.

"Hm ..." Aksa hanya mengangguk, ia mengeluskan pipinya ke tangan ku yang sudah mendarat di bagian pipi.

"Aku panggil Dokter dan semuanya, ya. Keluargaku nunggu di depan."

Sekarang Aksa menangkap tanganku, ia dekap erat dibagian jantung sampai aku merasakan denyut jantungnya yang lemah, "Jangan panggil siapa-siapa. Mau ku cuma kamu."

"Boleh aku mengungkapkan sesuatu?" Aku memajukan tubuh supaya kalimat yang terlontar terdengar jelas.

"Tidak perlu. Untuk apa diungkapkan jika akhirnya menyakitkan," Aksa menatapku dalam lalu melanjutkan kalimatnya, "Sekarang aku benci tentang persahabatan antara perempuan dan laki-laki. Pasti salah satunya ada yang terjebak dirasa nyaman. Lalu, memendam perasaan dan merasa dikhianati jika sahabatnya jatuh cinta dengan orang lain. Untuk kami yang terlanjur cinta, menimbun rasa tidak ada gunanya. Walaupun kau anggap canda belaka ungkapan rasa yang tertolak hampa."

Aku menggelengkan kepala mengartikan bahwa yang dia ucapkan itu salah. Banyak raga yang bersatu karena persahabatan, hanya saja cerita yang beredar tentang penolakkan bukan perjuangan.

"Kenapa kamu selalu nganggap aku sahabat? Sesekali pandang aku sebagai laki-laki yang mencintai kamu." Nada bicaranya melemah dan mulutnya pun bergetar. Genggaman Aksa semakin erat, aku bingung harus melepasnya atau membiarkan.

"Kasih aku kesempatan untuk ngomong, Aksa." Sedemikian rupa aku menahan air mata supaya tidak mendarat ke rona merah. Sementara, manusia didepan ku perlahan melepas genggamannya dan berbalik arah tak menatapku lagi, ia mengalihkan pandangannya ke vas bunga yang terpajang di meja.

"Rasa percaya aku hilang saat kamu pergi tanpa penjelasan. Dan pada suatu hari, kamu datang kembali membawa janji baru. Dengan mudahnya kamu kembaliin memori lama yang sudah hapus susah payah. Aku—"

"Cuma itu yang mau kamu omongin? Basi." Ekspresi wajah Aksa kali ini seperti pemeran antagonis, ia mengangkat ujung bibirnya, tidak menatap melainkan hanya melirik sinis.

"Sudah jelas. Kamu enggak mau diperjuangkan, mau kamu melihat orang yang cinta sama kamu itu pergi lagi ninggalin kamu!" Nada bicaranya tiba-tiba meninggi.

"Aksa, berhenti! Aku juga cin—"

"Maaf. Dia, orang yang pantas sama aku sekarang, Anoushka." Aksa menunjuk kearah pintu, seperti ada seseorang yang berdiri disana. Aku memutar kepala dan mendapati sosok yang tidak asing lagi di kepala ku.

Martha.

"Nou, bangun." Seseorang menepuk-nepuk bahuku, berusaha menyeru. Ternyata aku tertidur –di tempat yang sama ; bangkar Aksa–. Baru kali ini, aku terduduk tidur dengan tangan menyilang dan wajah yang melekat di persilangan tangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TwiphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang