Menghitung Hari

44 1 0
                                    

Pagi-pagi sekali, Dhika sudah membangunkan anak gadis satu-satunya itu. Hari ini hari terakhir Reva kuliah dengan status belum menikah. Perlu diingat, ini adalah H-4, dan rencananya Reva akan memberikan undangan pernikahannya kepada teman-temannya. Walaupun dengan keterpaksaan.

Setelah selesai mematut diri di depan cermin, Reva keluar kamar sambil membawa tas ransel hitam dan menjinjing satu paper bag besar.

"pagi, pa" sesampainya di meja makan, Reva langsung menyapa papanya sambil mengecup pipi papanya. Dhika sekarang sudah berangkat ke kantornya setelah menyiapkan sarapan karena ada keperluan mendesak di kantor.

Reva melihat seorang laki-laki yang duduk di samping kiri papanya. Dia mengenakan setelan jas yang terlihat sangat pas di tubuhnya. Reva pun tersenyum kecil pada laki-laki itu.

Sejak langkah Reva turun dari tangga terdengar, Gavin sudah memandangi Reva. Dari situ juga dia sadar bahwa mata Reva tampak sayu, tidak seperti biasa. Kelopak matanya sedikit bengkak, Gavin curiga Reva habis menangis tadi malam. Sewaktu dia menelepon pun suara Reva seperti orang yang sedang menangis. Mungkin nanti dia akan menanyakan penyebabnya.

Ibra menyadari arah pandangan Gavin. Dia pun ikut menatap mata Reva yang masih ditatap Gavin hingga sekarang. Setelah itu Ibra langsung mengerti.

"habis nangis semaleman dia, Vin" ujar Ibra. Dia tahu bahwa anaknya itu menangis tadi malam. Dia juga tahu apa penyebabnya.

Reva langsung melotot. Dia tidak menyangka ternyata papanya seorang pengadu. Saat ini, yang Reva harapkan hanya semoga papa gak bilang penyebabnya.

"alasannya tanya aja sama dia" lanjut Ibra lagi.

Gavin diam. Dia hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan usul dari calon ayah mertuanya itu. Sepertinya Gavin memang harus bicara dengan Reva. Apalagi kalau di sangkut pautkan dengan cara Reva menjawab telepon darinya semalam, sepertinya salah satu penyebabnya adalah Gavin sendiri.

Setelah menyelesaikan makanannya, Reva, Gavin, dan Ibra pun berangkat ke tempat tujuan masing-masing.

Di mobil

Reva melirik Gavin yang sedang fokus menyetir. Ada rasa takut jika nanti Gavin mengungkit masalah tadi pagi. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Masa iya dia jujur bahwa tadi malam dia menangisi Jhony? Tidak mungkin! Biar bagaimanapun tidak terimanya Reva terhadap pernikahan yang sebentar lagi akan diselenggarakan, Gavin tetaplah calon suaminya. Tidak mungkin dia jujur bahwa dia masih menangisi Jhony yang notabenenya adalah gebetannya. Eh mungkin sekarang mantan gebetan.

"kenapa?" sambar Gavin. Sejak tadi, dia melihat Reva memperhatikannya dari sudut matanya.

"hah?"

"kalo gak mau jelasin alasan lo nangis-nangis tadi malam, diem aja. Duduk yang tenang" jadi, dari masuk mobil tadi, Reva duduk seakan gelisah. Seperti tidak menemukan posisi yang nyaman.

Reva kaget. Ucapan Gavin benar-benar tepat sasaran. Bidikan panahnya seakan tepat mengenai hatinya. Lah panah asmara dong?

Setelah itu tidak ada yang buka suara d antara mereka. Mobil yang mereka tumpangi sunyi senyap. Reva semakin gelisah di keadaan seperti ini. Di satu sisi dua ingin menjelaskan semuanya kepada Gavin, tapi di sisi lain, sopan tidak membicarakan mantan gebetan di depan calon suami? Apalagi sekarang posisinya Reva belum move on.

Bosan. Itu yang dirasakan Gavin dan Reva sekarang. Gavin terus memperhatikan jalan yang sekarang malah macet. Otaknya juga terus berpikir apakah kampus Reva masih jauh dan nyatanya memang masih jauh. Dia ingin berbicara dengan Reva, tapi rasanya terlalu malas untuk saat ini. Moodnya tidak mendukung.

Gavin mengulurkan tangannya untuk menghidupkan radio. Setelah menyesuaikan volumenya, akhirnya terdengarlah lagu yang sedang di putar oleh salah satu radio yang cukup populer.

Menghitung hari,

Detik demi detik

Suara Krisdayanti mengalun merasuki telinga dua insan yang akan menjadi suami istri dalam jangka waktu 4 hari lagi.

Masa kunanti apakan ada

Jalan cerita kisah yang panjang

Menghitung hari...

Tangan kanan Reva langsung terulur mematikan radio, dan lagu menghitung hari menemani mereka hanya sampai disitu.

Karena radio yang dimatikan oleh Reva, Gavin menoleh dan menatap Reva tajam. Untungnya sekarang mereka berada di lampu merah.

"lo itu kenapa sih, Re" Gavin kesal. Sikap Reva sangat tidak jelas. Sejak tadi malam dia menelepon lalu dimatikan tiba-tiba. Selain itu, Gavin tahu Reva sedang bad mood, tapi Gavin inginnya kalau bad mood ya diam saja, jangan ganggu.

Reva masih diam. Bahkan dia bersikap seolah tidak mendengar perkataan Gavin. Dia malah memalingkan wajahnya kearah jendela. Hal itu tentu membuat Gavin semakin kesal.

Gavin mendengus, "kebiasaan"

Hening...

Tidak ada respon apapun dari Reva. Dia tetap diam pada posisinya.

Sesampainya di depan gerbang kampus Reva, saat dia ingin keluar dari mobil, Gavin menahan lengannya.

"Re, pernikahan kita tinggal menghitung hari, gue ingetin lagi kalo aja lo lupa" Reva tentu tahu maksud ucapan Gavin. Pasti yang dimaksud Gavin adalah pernikahan tinggal menghitung hari dan sikap Reva tidak kunjung berubah.

"Ya karena tinggal menghitung hari makanya gue kesal! Dan gue nangis pun karena itu! Kalo lo masih bertanya-tanya alasan gue nangis tadi malem" Reva membuka pintu mobil lalu menutupnya dengan keras.

Gavin hanya bisa mengelus dadanya sambil berucap istighfar berkali-kali. Dia tidak menyangka Reva bisa sekeras itu. Lebih tepatnya sekasar itu. Bohong jika Gavin tidak tersinggung. Reva secara terang-terangan menentang keras pernikahan ini. Yang lebih parah, mungkin Reva membencinya.

Niat awal ingin ke kantor, dia terpaksa menelepon sekretarisnya untuk mengatur jadwal paginya menjadi besok hari. Dan sekarang dia memutar balik mobilnya dan pergi ke rumahnya. Rumah maminya.

"mami!" suara Gavin menggema di segala penjuru rumah mewahnya. Dia mengedarkan pandangan mencari keberadaan maminya.

"loh ngapain pagi-pagi disini? Gak kerja?" tanya Jen. Dia baru saja masuk dari arah pintu samping rumah.

Gavin berjalan menuju sofa ruang keluarga diikuti Jen yang bertanya-tanya maksud kedatangan anaknya yang jarang pulang ini.

"Kenapa sih, Vin?"

"Mi, sebaiknya batalin aja rencana pernikahan aku sama Reva." kalian semua tahu kalau Gavin tidak suka berbasa-basi.

"Jangan ngaco!" Jen memukul lengan Gavin cukup keras.

"Reva gak setuju, mi. Reva terpaksa nerima. Kalau Gavin terpaksa, Reva sangat terpaksa. Kalau Gavin menentang, Reva menentang keras. Dia benar-benar gak mau. Dia bahkan gak menginginkan adanya pernikahan ini sampai sekarang" Gavin menghembuskan nafas kasar.

"Yang jalanin pernikahan itu kami, mi. Oke kalo cinta bisa datang kapan aja. Tapi cinta ada karena adanya persetujuan. Kalo dari awal udah gak setuju ya mau digimanain pun tetap gak bisa"

"Mami ngajarin aku bahwa memaksakan kehendak itu tidak baik. Tapi sekarang mami yang maksa."

"Mungkin Gavin udah berpikir jauh untuk menerima. Tapi Reva? Dia masih 19 tahun. Gavin gak mau dihantui rasa bersalah karena menghancurkan masa depan orang."

"Reva masih labil, mi. Bahkan sampai sekarang dia belum sepenuhnya bersikap baik sama aku."

Setelah itu, hal paling tidak sopan Gavin lakukan. Dia pergi setelah mengeluarkan keluh kesahnya.

Bersambung

Why Should I Get Married?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang