Reva Point Of View

35 2 4
                                    

Rasa kantuk masih menyerangku, tapi cahaya yang masuk dari tirai jendela, membuatku terpaksa membuka mata. Ku lirik jam dinding yang tidak jauh dari lemari pakaian. Pukul 10:25. Aku mengucek mataku berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat. Masih tidak percaya pada jam dinding, aku pun membuka ponsel. Ternyata jam di ponselku pun menunjukkan waktu yang sama.

Aku tidak menyangka mama atau papa tidak membangunkan ku hingga sesiang ini. Biasanya, bangun jam 6 saja mama sudah mengomel. Bahkan hari libur pun aku tetap harus bangun pagi. Tapi kenapa sekarang aku bisa tidur sampai jam sepuluh lewat?

Selesai mandi dan mengganti baju, aku turun ke lantai bawah untuk menemui kedua orang tuaku. Tapi aku baru menyadari bahwa ini sudah jam sepuluh lewat. Mama dan papa pasti sudah berangkat kerja.

Aku melangkahkan kakiku ke dapur dan mengambil dua lembar roti tawar. Setelah mengolesinya dengan mentega dan menaburi gula pasir diatasnya, aku membawa sarapanku itu ke ruang TV.

Sudah berkali-kali aku mengganti saluran TV, tapi tidak ada yang menarik. Lalu pilihanku jatuh pada acara musik yang cukup terkenal di salah satu stasiun televisi. Aku pun melahap roti, sambil menikmati lagu yang diputar.

Ternyata tidak masuk kuliah semembosankan ini. Padahal sewaktu masuk kuliah, aku sangat mendambakan libur.

Aku menghembuskan nafas kasar. "Bosen banget astaga... Gak boleh keluar rumah lagi. Jadi tahanan dua hari gue"

Iya. mama bilang, aku tidak boleh keluar rumah dua hari ini. Ini bukan dipingit, ya. Tapi supaya aku tidak kelayapan. Apalagi aku tidak kuliah. Untuk mempersiapkan diri juga.

Walaupun aku menikah nanti menggunakan pakaian adat, tapi tidak menerapkan prosesi adat sebelum acara pernikahan.

Karena dilanda kebosanan, akhirnya pikiranku melayang kesana kemari. Tiba-tiba saja otakku mengingat kejadian kemarin. Saat Gavin mengajakku melihat apartemennya dan rumah yang dia bilang rumah kita, aku tersenyum mengingatnya.

Kondisi apartemen Gavin seperti laki-laki bujangan pada umumnya. Rapi karena tidak terlalu banyak barang. Hanya barang yang diperlukannya yang ada. Aku tidak tahu pasti berapa ukuran apartemennya. Tapi, di apartemen itu ada ruang tamu yang cukup luas, lengkap dengan satu set sofa dan meja serta televisi.

Lalu ada dapur kecil yang terdapat satu meja makan bundar cukup untuk empat orang. Ada satu kamar yang dilengkapi kamar mandi dan toilet di dalamnya, serta satu toilet dan kamar mandi lagi yang berada di luar dekat tempat jemuran.

Untuk furnitur dan alat-alat rumah tangga yang ada cukup lengkap. Seperti sofa, meja makan, kompor, tempat cuci piring, piring, sendok, panci, wajan, microwave, kulkas, rice cooker, mesin cuci, lemari dan meja etalase, dan yang lainnya semua ada.

Tapi isi lemari yang ada di dapur hanya mie instan, teh, kopi, dan gula. Bumbu-bumbu dapur tidak ada. Saat aku membuka kulkasnya, yang ada hanya telur, lauk siap goreng, dan air.

Peralatan rumah dan lain-lain itu tidak jadi masalah. Semua cukup, kurasa. Yang membuatku pusing adalah kamar. Kamar yang ada hanya satu. Dengan satu ranjang king size, satu lemari pakaian, satu meja kerja, dan satu meja multifungsi.

"Nanti kalo udah pindah kesini, gue beli lemari baju lagi buat naruh baju lo," ujar Gavin.

Aku kaget saat itu. "Kenapa gak beli ranjang baru aja? Yang ada kasurnya dibawah. Yang bisa di tarik itu," aku jelas lebih mengusulkan untuk membeli ranjang.

Sudah sekamar, masa seranjang pula? Aku tentu belum siap. Aku tidak sepolos itu, kawan. Umurku sudah lebih 18 tahun. Aku tahu apa yang dilakukan suami istri setelah menikah, yang tidak boleh dilakukan sebelum menikah itu. Aku tahu.

Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak ada hubungan darah, tinggal berdua bahkan satu kamar dan satu ranjang, tentu bisa khilaf dan melakukan hubungan badan. Apalagi status kami nanti suami istri. Tentu nafsu akan sulit dibendung. Sebagai laki-laki normal, Gavin pasti akan meminta kepadaku untuk berhubungan suami istri cepat atau lambat.

Saat aku memberi usul untuk membeli ranjang, Gavin menjawab. "Ranjang ini gede. Muat buat berdua. Buat apa beli?"

Dengan santainya dia berkata seperti  itu. Apa dia tidak memikirkanku? Memang betul aku sudah lebih 18 tahun. Tapi pernikahan kami itu sangat mendadak. Setidaknya dia memberiku waktu untuk mempersiapkan diri.

Selain menyiapkan mengurus rumah tangga, aku sedikit mengerti tentang apa kewajiban seorang istri. Dari yang aku dengar dari ustad yang beberapa kali ceramah di televisi, jika suami meminta itu maka berdosa jika istri tidak menurutinya.

Lagian, kenapa pernikahannya tidak ditunda saja? Seharusnya sampai kami sama-sama memiliki perasaan lebih baru menikah. Ini baru sebulan kenal, eh menikah. Gimana gak pusing?

AH! Aku benar-benar bisa gila memikirkan itu.

Lalu untuk rumah yang lagi dibangun, aku juga sempat kesitu. Namanya rumah lagi dibangun ya bentuknya belum jelas terlihat. Tapi Gavin bilang baru selesai 50% dan baru bisa ditempati dua atau tiga bulan ke depan.

Ditengah-tengah segala kekacauan pikiranku, tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Ku lihat, Mbak Tati (asisten rumah tangga) berlari kecil dari arah taman samping rumah lalu beliau membukakan pintu.

"Dek Reva, ada yang mau ketemu"

Aku melihat ke arah sumber suara. Disana ada Mbak Tati dan seorang perempuan mengenakan kaos kerah berwarna biru muda.

"Duduk, Mbak," ujarku pada perempuan itu. Mbak Tati sudah pamit ke dapur setelah memberi tahu bahwa ada yang ingin bertemu denganku.

Diapun duduk disampingku. "Saya dari Salon Ananta. Diperintahkan oleh atasan saya untuk membantu kamu perawatan. Katanya, mamamu yang memintanya. Untuk persiapan acara pernikahan bukan?"

Aku berpikir sejenak. "Oh iya, mbak. Di kamar saya aja," ujarku setelah ingat bahwa mama tadi malam mengatakan ada pegawai salon yang akan datang.

***

Sudah empat jam lebih aku melakukan segala macam perawatan tubuh. Mulai dari luluran, cukuran, mandi susu, keramas, pakai masker wajah, pakai masker rambut, sampai manicure dan pedicure.

Setelah pegawai salon itu pulang, aku menatap pantulan diriku di cermin meja rias. Dari ujung rambut sampai ujung kakiku benar-benar terlihat segar. Aku melihat tangan kiriku, lalu menyentuhnya. Tidak ada satupun rambut halus yang tersisa di lenganku. Hasil waxing memang sebagus itu ketimbang mencukur. Walaupun sakitnya setengah mati, tapi hasilnya sangat memuaskan.

Aku melangkahkan kakiku menuju ranjang. Setelah melepas cepolan pada rambut, aku membaringkan tubuhku dan mulai memejamkan mata. Sembari menikmati sisa-sisa waktu sendiri.

Bersambung...

Sebentar lagiiii, REVA DAN GAVIN AKAN MENIKAH.

Why Should I Get Married?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang