Happy Reading..
Mori tidak suka suara alarm, itu sangat menakutkan menurutnya. "Denger suara alarm itu kayak jadi Harry Potter terus dikejar-kejar dementor. Kebahagian lenyap diburu waktu," sesepele itu alasan Mori takut suara Alarm.
Sama seperti pagi-pagi biasanya, sesuai saran Ayah. Nada alarm Mori diganti dengan suara Adzan Shubuh yang sudah di setting sedemikian rupa. Mori menerjabkan matanya beberapa kali, tangannya tergerak melewati kepalanya, mengepal kuat lalu menggeliat di balik selimutnya, otot-otonya kebas karena kebiasaan Mori yang tidur tanpa merubah posisi.
Mori terlatih menjadi perempuan yang rapi berkat Mama, bahkan letak seprei setelah ia bangun dari posisi tidurnya lalu turun dari ranjang, Mori bereskan sesegera mungkin. Setelah meraih sehelai handuk yang tergantung di dekat pintu kamar mandi, Mori melakukan ritual paginya. Mandi, sikat gigi, berwudhu dan sholat. Selesai membaca Al-quran, Mori merapikan kembali mukenanya lalu bergegas membuka pintu kaca balkon yang pemandangannya langsung mengarah pada matahari terbit. Mori yang meminta Ayah membuat kamarnya di posisi ini, menurut Mori matahari terbit lebih indah dari pada matahari tenggelam.
Baru saja Mori memejamkan mata dan menghirup udara pagi yang menyegarkan, ekor matanya menangkap sebuah mobil sport memasuki pekarangan rumahnya. Mau tidak mau Mori menghentikan niat awalnya lalu beralih memusatkan perhatian pada siapa kira-kira yang keluar dari dalam mobil itu?
Matanya melebar ketika melihat Ramadhan turun dengan santainya dari pintu samping kemudi. Sebuah kaca mata hitam bertengger di pangkal hidungnya yang mancung, jangan lupakan pakaiannya yang sangat menarik padahal cuma baju kaos oblong, ditambah celana training selutut dan dilengkapi sepasang sepatu sport yang senada dengan warna celananya. Abu-abu.
Tok...tok...tok...
Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Mori tersadar dari lamunannya, sebelum berbalik Mori menyempatkan diri melihat ke bawah dan tidak lagi menemukan Ramadhan di sana.
Mori memang sudah mandi, sudah wangi cologe, tapi Mori masih pakai baju tidur. Kaos oblong kebesaran, celana katun semata kaki, dan rambut yang dicepol asal padahal sudah disisir sebelumnya. Bagaimana bisa Ayah membiarkan Ramadhan melihat Mori dalam keadaan mengenaskan seperti ini?!
"Selamat pagi, Mori?" Ramadhan berdiri tegap di depan pintu kamar Mori, memamerkan senyum yang sama seperti semalam, senyum semanis madu dan senyum itu semakin manis seiring dalamnya lesung pipi di pipi kirinya.
Mori mengatupkan bibirnya membentuk garis lurus, menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mori harus tenang, Ramadhan bukan malaikat pencabut nyawa tapi malaikat pencabut hati Mori.
"Pagi juga, Ramadhan...mau ngajak jogging ya?" tanya Mori ceria.
"Mau pergi dengan pakaian ini?"
Mori melihat penampilannya sendiri. "Kalo jogging di halaman belakang, Mori nggak ganti lagi."
"Kamu nyaman?" Mori mengangguk untuk jawab 'iya'.
"Selama pakaiannya nggak sobek-sobek, aku selalu nyaman," jawab Mori bangga.
"Kalau begitu, ayo!" baru saja Ramadhan berbalik, Mori memanggilnya.
"Ramadhan, tunggu...tunggu..." Mori bergegas masuk kembali kekamarnya, menyabet sebuah tas kecil yang langsung di cangklongkannya di bahu.
"Pagi Ayah dan Mama Mori tersayang..." sapa Mori riang, mengecup pipi keduanya bergantian.
Mori mendudukkan dirinya di kursi meja makan yang bersebelahan dengan Mama. Ramadhan duduk tepat di depannya, Mori tidak sadar kalau beberapa kali Ramadhan memperhatikannya. Ramadhan masih ragu untuk mengajak Mori, ia ingin menyuruh Mori mengganti pakaiannya tapi Mori sendiri sudah bilang kalau dia nyaman dengan pakaian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhan bersama Ramadhan [Open PO]
Novela Juvenil[CERITA SUDAH DITERBITKAN] Senin pagi bagi Maurika Hamzah selalu sama, bangun pagi, sarapan, dan kuliah. Siapa sangka, senin kali ini akan menjadi senin yang berbeda bagi Mori (Sapaan Maurika). Ketika tiba-tiba Ayah menghubunginya lalu mengabarkan b...