Tepat di tahun ke sembilan. Saat hujan tak kunjung menemui titik terang. Saat senja tak lagi ranum. Saat sunyi yang ku tangkap kian abu.
Aku diam, memandang ujung ranting yang rapuh. Tak ubahnya aku. Sebisa mungkin ranting tak tergoda bujuk rayu angin untuk meninggalkan dahan. Tak ubahnya aku. Sebisa mungkin dahan menguatkan batang agar tetap kokoh. Tak ubahnya aku.
Musim berganti sampai di tahun ke sembilan. Aku melihat raut yang letih, yang enggan untuk lagi berusaha agar ditahun berikutnya kami tetap ada. Aku melihat hati yang sunyi, yang tak lagi kudengar bisikan semangat untuk kami tetap ada.
Oh sebeginikah hidup. Yang ku tahu dulu saat aku lapar aku berlari menuju ibu untuk meminta sepiring nasi beserta lauk kesukaan. Tak pernah terpikir bagaimana mereka mencari, mengkais rejeki detik demi detiknya. Hanya untuk aku tetap ada dan bahagia.
Oh sebeginikah rasa durhaka yang ku ciptakan pada mereka yang dengan kasih sayang tulus membantuku hidup.
Oh sebeginikah mereka yang bertahun tahun menjadi ujung ranting yang siap terbang kapanpun mereka mau.
Hanya karena aku alasan untuk mereka tetap berusaha. Sama seperti tahun ke sembilan yang ku alami. Hanya ada nyawa yang harus tetap hidup, tersenyum, kenyang, tanpa harus tahu bagaimana letihnya menjadi ujung ranting.
Fitrul Unfiana