4.Elus Dada

169 25 5
                                    

***

"Percayalah, orang sabar pahalanya besar" -abang Kafka yang ternistakan

***

"Indahnya pemandangannnnn...."

"Banyak lontong sayurrrrrr..."

"Yuhuuu lontong sayyur kayaknya wuuueeennaaakkk deh,"

"Lontong, lontong, lontong sayur...."

Krik..krik..

"Ihhh.. Kaka!!!" Pekiknya tertahan

"Apaaa???!!!" Geramnya

"Peka atuhhh, pekaaaa!!!" Ngegas gengs :v

"Huh!! Nyusahin banget sih lo anak ayam!! Udah nyusahin, cerewet, jelek lagi!"

"Ihhh!! Kaka nyebelinnn... bilangin mama nih," ancam Rica yang tiba-tiba
menghentikan larinya di tengah jalan sambil mencebik lucu tapi menjengkelkan bagi Kafka.

Yuupppss!!! Sekarang Rica dan Kafka tengah jogging pagi sesuai keinginan Rica yang yahhh... terlalu memaksa menurut Kafka. Melihat Rica yang mulai kumat, membuat stok kesabaran Kafka perlu diisi ulang.

"Sekarang apalagi hah??!! Mau lontong sayur?" Seru Kafka ketus karena masih kesal dengan kejadian tadi pagi.

"Hu'um" jawab Rica sambil menganggukkan kepala sok imut.

"Lo tuh ya, punya mata doyanan banget sih. Baru juga lari gada sekilo, liat tukang lontong sayur pinggir jalan aja langsung kepengen," omel Kafka sambil melangkah ke gerobak lontong sayur yang mangkal di pinggir jalan diikuti Rica yang mengekor di belakangnya.

"Kan Rica laperrr" cicitnya sambil menundukkan kepala takut kena omel lagi dari si 'Kaka terkecteehhh'-nya.

"Padahal tadi lo dah sarapan," omelnya lagi. Si-empu yang tengah diomelin hanya diam tak bersuara dan masih menundukkan kepala layaknya mendengar lagu Mengheningkan Cipta.

"Mau berapa?!" Tanya Kafka sesampainya mereka tiba di depan gerobak lontong sayur itu.

"Gajadi" cicitnya lagi kehilangan jati diri 'merengek-rengek'. Mendengar jawaban yang dilontarkan si Rica-Rica yang ginjalnya minta disentil itu, seketika membuat Kafka menghela napas panjang dan berbalik menghadap Rica yang berada di belakang tubuh tegapnya.

"Kenapa?"

"Kaka marah sama Rica"

"Gue ga marah" tapi bo'ong batinnya.

"Tapi Kaka omelin Ricaaa.."

"Haaaahhh..." Hanya helaan napas panjang ke seribu tujuh ratus lima puluh tiga yang bisa Kafka lakukan saat ini. Sulit! Benar-benar sulit mengikuti alur pikiran gadis di depannya ini. Hingga membuat Kafka ingin sekali menenggelamkannya di Laut Cina.

"Yaudah, sekarang jadi beli apa enggak?" Tanya Kafka lagi sambil mengorek-ngorek stok kesabarannya yang semakin menipis. Terlebih sekarang si bapak penjual lontong sayurnya tengah memandangi mereka berdua yang tak kunjung memesan makanan, tetapi berdiri di hadapan gerobaknya. Benar-benar merusak pemandangan.

"Tapi Kaka jangan omelin Rica lagi," katanya lalu menberanikan diri mengangkat wajah lalu menatap Kafka di depannya.

"Iya" pasrah Kafka.

"Yaudah. Rica mau kalo Kaka maksa" what the ...????!!!! Ahhhhkkkk!!! Ingin sekali Kafka mencabik-cabik mulut comel bin chili nya itu. Siapa juga yang MAKSA-MAKSA tuh anak. Simak baik-baik ya gengs, MAKSA!!! Sudahlah, biarkan saja si Rica-Rica itu membual sesuka hatinya. Kafka sudah lelah mengajaknya berbicara yang sukses memeras otak dan keringatnya hingga bercucuran tiada habisnya.

"Lontong sayur pak satu gak pedes" pesannya sambil menelan rasa geram dan kesalnya hingga sampai empedu. Si bapak penjual lontong sayur hanya menganggukkan kepala sambil menyiapkan pesanannya.

"Kaka, Rica mau lontong pedes," request Rica tanpa beban padahal di hadapannya ada si bapak penjual, kenapa harus laporan dulu ke Kafka? Kenapa gak langsung bilang sama penjualnya? Sabar..sabarrr.. dewa batin Kafka.

"Lontong nya pake cabe pak biar pedes sekalian sama rawit-rawitnya!!"

***

"Kok cepet joggingnya?" Tanya Ratih-mama Kafka yang tengah menyiram bunga di halaman rumah saat melihat kedatangan putra semata wayangnya bersama anak tetangga tersayangnya pulang dengan selamat sentausa.

"Tanya aja sama ANAK TETANGGA KESAYANGAN MAMA itu" ucapnya meradang sambil menekankan kata 'ANAK TETANGGA KESAYANGAN MAMA' lalu hengkang dari hadapan sang mama yang bertanya-tanya.

"Kenapa lagi sayang?" Tanya mama lagi, kali ini pertanyaannya ditujukan pada Rica yang pulang-pulang menenteng plastik hitam disertai wajah lesunya. Rica hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban lalu melangkah melewati mama.

"Capek mah, Rica numpang tidur yah," ucapnya disela-sela langkah kecilnya.

"Mereka kenapa?" Gumam mama masih bertanya-tanya pada angin yang berhembus, semut yang berjalan dan rumput yang bergoyang. Lelah bertanya-tanya yang akhirnya tak kunjung mendapatkan jawaban, ia pun melanjutkan aktivitasnya kembali tanpa peduli.

***

Hiyahiyahiyahiya:v gimana cemans-cemans part ini??? Hoho, syuuddahhh lama ya "Tetangga Rica-Rica" tydakk up. Dan akhirnya di bulan yang suci ini baru bisa up.

Alhamdulillah...🤗 mumpung bulan Ramadhan bulan yang penuh keberkahan, yuk vote, komen dan share cerita inces ini yakkk biar dapat pahala yang insyaallah dilipat gandakan. Aamin.

Ocayy, selamat berpuasa dan semangat💪 cemans kuhhhh😘

Salam,

Inces__yang tak kunjung mendapat kepastian😟













TETANGGA RICA-RICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang