Aku terlalu enggan
Berbicara dengan mereka hanyalah menyakitkan
Bersama mereka hanyalah luka
Ragaku tak terluka
Dia hanya lemah
Tapi jiwa,dia seperti mati
Hati? Jangan tanya lagi
Dia mengenaskan
Rasanya entah seperti apa
Tak tergambar
Pilunya tak terperi
Tangisnya tak terdengar lagi
Keluhnya tersimpan
Hanya dalam ruang hitam legam seperti memori
Sebegitu pintarnya aku bersandiwara didepan mereka
Mereka yang tak punya hati
Yang mulutnya terbuka tanpa terjagaIni tentang aku,aku yang mereka anggap sampah lapuk tak berbentuk. Ini tentang rasaku,menahannya belasan tahun mungkin sampai maut nanti.
Ini aku,yang lahir dan dibesarkan dengan keluarga yang berbeda. Masa kecil indah hanyalah bersama Papa,Mama,dan nenek. Selebihnya mereka hanyalah tokoh antagonis dengan mulut pedas. Ini sepenggal rasa sakitku yang tak bisa kuungkap keseluruhan nya,karna dia terlalu sakit.
Flashback on
Aku duduk dikursi kelas 2,mengenakan rok merah Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah Syafiiyah
"Putri,piket kelas kan?" Namanya Icha,temen dari TK.
"Iya,kenapa Cha?"
"Kita piket bareng hari ini,sama Anin juga"
"Oke,nanti pulang bareng juga ya? Kamu jalan kalian jalan kaki kan?"
"Iya"
Setelah bel pulang berdering kami bertiga melaksanakan piket,diperjalanan kami bercanda dan tertawa lepas karna Anin hampir saja dipatok ayam karna mencoba menangkap itik.
"Eh,kita beli minuman dingin dulu ya. Haus banget" ajak Icha
Icha mengambil teh kotak,aku susu kotak,dan Anin air mineral dingin.
"Baru pulang dek?" Tanya abang penjaga toko
"Iya bang,piket kelas dulu" sahut Anin.
"Kamu anaknya siapa?"
"Bu Dinarsih" jawab Anin
"Kalo kamu?"
"Bu Oliv" jawab Icha
"Yang ini?"
Aku dengan santai meminum susu dan menjawab
"Bu Rahmawati"
"Oh,kamu tu bukan anaknya bu Rahmawati. Ibu kamu uda meninggal"
Anin dan Icha menatapku iba,sedangkan aku hanya tersenyum kecut.
Flashback off
Tanpa mereka bilang,aku pun tau aku bukan anak kandung Mama. Tapi apa salah? Aku sayang sama Mama Papa,mereka juga. Dimana letak kesalahannya? Kenapa harus mereka yang mempermasalahkan sesuatu yang sama sekali bukan masalah? Dan kejadian ini entah sudah yang ke berapa kali sejak aku 3 tahun dan bisa merespon mereka.
Hanya amarah,karna menangis menunjukkan kelemahan. Aku benci. Tapi entah siapa yang bisa ku benci.
Belasan tahun setiap luka lebam bahkan berdarah dan bernanah dalam hati membusuk. Mengukir secara otomatis siapa saja mereka yang manjatuhkan. Tidak memandang tua muda kerabat keluarga. Semuanya sama,menjijikkan. Aku tau,api tidak diboleh dibalas api. Tapi kediamanku tak pernah mengetuk hati mereka,tangisku tak melelehkan bongkahan es dihati mereka.
Dimana salahku? Adakah anak kecil yang mampu menuliskan takdirnya sendiri? Adakah seorang istri mampu melahirkan bayi dari rahimnya tanpa kehendak Allah? TIDAK BISA. Hidup ga sesimpel itu,dimana kemauan terpenuhi,dimana yang ada hanya tawa bahagia.
Dimana salah Mamaku? Jika beliau tidak punya anak lalu disebut apa aku?! Mau anak pungut,anak angkat,atau anak sampah sekalipun aku tetap anaknya. Darimana pun aku lahir aku tetap anaknya,Ibuku di pemakaman sudah mengandung dan melahirkan,Mamaku di dunia nyata sudah merawat membesarkan. Impas kan? Kenapa mereka sibuk mengoak ngoak status keluarga kami?! Toh,kalo aku nikah juga Ayah kandung tetap jadi Wali.
Aku tidak melupakan mereka yang tulus.
Cukup sampai disini saja,aku tidak lagi sudi berinteraksi dengan mereka yang ga punya hati.
"Kamu kenapa ngelamun Put?" Mama menyentuh ujung kepalaku yang tertunduk bertumpu diranjang. Aku izin 2 hari buat jagain Mama di rumah sakit.
"Gapapa ko, Ma"
"Istirahat aja sana,kamu keliatan ga bersemangat gitu"
"Putri gapapa ma"
"Yauda,cerita sama Mama. Apa yang kamu pikirin"
"Hmmmn,Mama malu ga punya anak seperti Putri?"
"Lhoh,ko kamu tanya gitu. Ya Mama ga malu lah,Mama seneng punya anak rajin,pinter,semangat kaya Putri. Apalagi dari kelas 6 sampe kemaren tetep di peringkat pertama pararel. Mama bangga,padahal kamu sering ga masuk,pernah bolos sama Ani juga. Tetep aja jadi yang pertama,bener bener genius"
"Tapi,Putri bukan anak kandung Mama"
Aku menunduk ketika mengucapkan hal yang begitu sulit itu."Apa masalahnya? Kamu tahu Habib Luthfi dari Pekalongan itu?"
Aku mengangguk,siapa yang gatau beliau? Seluruh dunia saja mungkin tau.
"Beliau pernah menyampaikan dalam sebuah acara bahwa semua anak itu sama. Anak tiri,anak angkat,anak pungut,itu sama. Itu yang jadi pegangan Mama. Anak haram sekalipun sebenarnya tidak haram,yang melakukan dosa orangtuanya bukan si Anak itu. Paham"
"Tetap saja status Putri di masyarakat tidak lebih dari anak angkat. Ya kan Ma? Putri pengen ngerasain jadi anak kandung"
"Sama aja Putri,apa Mama pernah bersikap kurang sama kamu sampe kamu ga percaya Mama? Engga kan? Mama nganggep kamu anak Mama. Tanpa ada embel embel Angkat. Kamu anak Mama,tugas Mama mendidik kamu. Sudah. Jangan diperpanjang,ga akan ada ujungnya kalo kamu memikirkan orang lain"
"Iya Ma,makasih"
"Mama sering ditanyain tetangga,katanya kalo Putri di rumah ga pernah keluar. Sekali keluar langsung pergi entah kemana. Mama gamau ya kamu tertutup sama lingkungan,ga baik lho sayang"
"Putri males sama mereka Ma. Putri rasa dunia Putri emang diluar komplek"
"Kenapa gitu?"
"Mama tau lah,Putri cuma trauma,sakit hati banget sama mereka. Putri gamau berinteraksi sama mereka. Mereka aja jahat sama Putri,mereka ga pukulin fisik tapi nusuk hati. Berat Ma"
"Nanti Mama bawa kamu ke psikolog ya"
"Putri gamau,abis lulus Putri mau kuliah di jogja aja. Kalo uda nikah mau ikut suami,pokonya harus keluar dari Bogor"
"Terus Mama Papa kamu tinggal?"
"Engga lah,Mama sama Papa ikut Putri sama suami Putri aja. Beli rumah diluar kota,rumah itu dijual"
"Haha,kamu mikirnya gitu banget. Ga boleh gitu dong,nanti ke psikolog dulu biar kamu bisa lupain gelapnya masalalu kamu. Pelan pelan put. Gausa takut atau malu,temen Mama banyak ko yang psikolog. Kamu gausa canggung,Tante Ririn yang dulu biasa liburan bareng kita itu psikolog"
"Yauda terserah Mama aja"
"Nah gitu dong,uda sana istirahat. Gausa mikir hal hal buruk"
Sebut saja aku pecundang,sebut saja aku terbelenggu
Terserah
Aku tak lagi mampu
Menutup luka menganga yang harus siap ketika mereka menyiramnya dengan air garam
Aku bukan orang yang paling susah di dunia ini
Tapi aku dan hatiku terlalu lemah
Dan mereka tertawa kejam diatasku
Menginjak harga diri dan kelemahanku
Lakukan saja
Biar aku yang kalah
Karna aku terlalu lemah untuk menang
Ini bukan pertandingan
Tapi tentang kesabaran
Juga kerinduan
Sejuta kata pun tak akan cukup untuk mengungkapkan
Aku hanya ingin terlihat kuat,disaat jiwaku begitu rapuh***
KAMU SEDANG MEMBACA
Uhibbuka Fillah
SpiritualTentang takdir dan pilihan hidup perempuan yang selalu berjuang melawan arus deras hidupnya