1.

4.5K 106 8
                                    

"Kau akan pergi ke mana?" Suara lembut dari seorang wanita menyapa pendengaran Luca.

Pria itu menoleh, menatap wanita yang sudah hidup bersamanya hampir tujuh tahun tanpa status itu. "Kau masuklah ke dalam, cuaca di luar sangat dingin," katanya mengalihkan pembicaraan membuat Isla menghela napasnya berusaha tersenyum.

"Hati-hati," kata Isla sebelum melangkahkan kakinya memasuki mansion mewah itu.

Luca diam, matanya menatap punggung Isla hingga wanita itu menghilang dari pandangannya. Setelah benar-benar tidak terlihat, Luca langsung masuk ke dalam mobil dan mulai melanjukannya keluar dari pekarangan mansion.

Di sisi lain, Isla merasa sikap Luca semakin berbeda dengannya. Pria itu tidak lagi sehangat dulu. Apa Luca sudah mulai bosan padanya? Hampir tujuh tahun mereka hidup bersama tanpa ikatan resmi bukanlah waktu yang singkat. Jika pun Luca sudah bosan dengannya yang harus Isla siapkan adalah hatinya ketika sewaktu-waktu Luca menemukan sosok penggantinya, akan dipastikan pria itu mencampakkannya begitu saja. Tubuhnya meluruh, Isla bersandar pada pintu kamar.

Ia sudah benar-benar lelah. Apalagi, selalu melihat berita tentang Luca yang selalu datang ke hotel bersama seorang wanita membuat hatinya sakit. Sejak satu tahun lalu Luca sudah memulainya. Isla hanya bisa menutup telinga dan mata seakan Luca tidak pernah melakukannya. Ingin protes pun percuma, karena mereka hanya dua orang yang saling mencintai tanpa status atau komitmen.

Isla merasa ia tidak memiliki hak untuk melarang Luca dekat atau bahkan melakukan hal seperti itu dengan wanita lain. Jika Luca datang padanya, dan membutuhkannya Isla akan senang hati menerimanya. Katakan Isla bodoh, karena memang itu benar adanya. Ia terlalu mencintai pria itu. Asalkan Luca selalu berada di sampingnya Isla sudah sangat bersyukur. Meskipun yang diterimanya hanyalah pengabaian dan kekecewaan.

Apalagi sekarang, di dalam perutnya ada kehidupan. Luca pun belum mengetahuinya karena pria itu selalu pulang larut. Isla meremas gaunnya, ia hanya takut. Sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi. Bahkan Isla baru mengetahui jika dirinya hamil satu minggu yang lalu dan usia kandungannya sudah dua bulan.

Entah kenapa Isla begitu merasakan pening di kepalanya. Ia juga merasakan sesuatu akan keluar dari tenggorokannya, dan dengan langkah cepat Isla berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan semua makanan dari dalam perutnya.

Sudah sejak beberapa hari terakhir ia selalu merasakan mual di pagi hari dan selalu memuntahkan makanannya, lalu setelah itu tubuhnya akan melemas.

Isla membasuh mulutnya dan mulai berjalan perlahan dengan tembok yang menjadi pegangannya menuju ranjang. Ia mendudukkan tubuhnya seraya memijat pelipisnya perlahan. Lalu pandangannya menangkap kalender kecil yang berada di atas nakas.

Seketika tubuhnya menegang, ketika Isla menyadari jika sudah lama ia tidak datang bulan. Tidak mungkin. Batinnya. Isla menggeleng, ia berharap semua pikiran negatifnya tidak benar-benar terjadi.

Namun, ketika ia menyadari lagi jika gejala-gejala yang ia alami beberapa hari terakhir ini benar-benar membuatnya semakin yakin jika dugaan negatifnya benar. Dirinya hamil. Tanpa pikir panjang, Isla meraih tas jinjingnya dan mulai keluar kamar.

Tujuannya hanya satu. Dokter kandungan!

Selama perjalanan, Isla tidak henti-hentinya bergerak gelisah. Hingga suara sang sopir menyadarkannya dari kegelisahaan. Ia baru tersadar jika sudah sampai di salah satu rumah sakit dengan perlahan Isla turun, dan mulai melangkahkan kakinya memasuki rumah sakit menuju dokter kandungan.

Ternyata ada beberapa wanita hamil yang juga sedang menunggu giliran. Setelah mendaftar, Isla duduk di kursi tunggu. "Kau juga mau periksa kandungan?" tanya seorang wanita berambut coklat sebahu itu dengan ramah.

Isla menoleh, tersenyum. "Ah iya, aku hanya akan memastikan saja."

"Berapa usia kandunganmu?" tanya Isla mengalihkan.

Wanita itu menunduk, mengusap perutnya yang membuncit. "Tujuh bulan. Aku tidak sabar melihatnya," katanya tersenyum menatap Isla.

Isla balas tersenyum. "Semoga kau dan bayimu sehat."

Lalu suara panggilan membuat wanita yang berada di sampingnya berdiri, beranjak dari duduknya. "Aku masuk dulu," katanya pada Isla sebelum pergi. Isla mengangguk tersenyum menanggapinya.

Sedangkan Isla diam, menunggu giliran. Dalam hati ia tersenyum kecut, takut jika memang dirinya benar-benar hamil. Selama kurang lebih lima belas menit Isla menunggu giliran, hingga suara seorang wanita membuatnya beranjak dari duduknya. "Isla Carolina Hudson."

Isla melangkahkan kakinya, lalu memasuki ruangan. Di sana, seorang dokter wanita sedang duduk. "Anda Isla Carolina Hudson?" tanyanya ramah, memastikan.

Isla mengangguk tersenyum.

Dokter itu balas tersenyum, lalu mempersilahkan Isla berbaring. "Silakan berbaring, Nona."

Setelah mempersilahkan Isla untuk berbaring, dokter itu mengoleskan sebuah gel pada perut Isla.

"Jika dilihat, usia kandungannya sudah berjalan dua bulan," kata dokter itu menerangkan.

Lalu menunjuk monitornya. "Untuk jenis kelamin belum bisa terlihat karena masih membentuk gumpalan darah."

Selesai melakukan pemeriksaan, Isla memutuskan untuk segera pulang. Selama perjalanan pun ia masih merasa tidak percaya jika dirinya hamil dan usia kandungannya baru dua bulan. Sungguh, Isla tidak menyangkanya.

Dokter juga berpesan padanya untuk menjaga kesehatan bayi dan memperhatikan makanannya. Karena usia kandungannya yang juga masih rawan membuat Isla khawatir. Dokter juga mengatakan, ia tidak boleh terlalu banyak pikiran yang akan membuatnya stres karena itu akan mengganggu janinnya.

Namun, sekarang yang harus dipikirkannya adalah bagaimana caranya untuk menjelaskan dan memberi tau Luca masalah kehamilannya yang sudah berjalan dua bulan ini.

Karena Isla menebak, Luca akan tidak terima. Tanpa mengatakannya pun sudah terlihat jelas bagi Isla, bagaimana pria itu memperlakukannya selama hampir tujuh tahun ini.

Tanpa status.

Tanpa komitmen.

Tanpa kepastian.

Semua semu, abu-abu.





8 Juni 2019

Sexy DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang