SHINKANSEN || Lee Minho ✔

vi

Kalau sudah mengenal dan memahami Lino dengan baik, maka langit sore adalah hal yang sungguh membuatnya sangat senang lebih dari apapun.

Hari ini langit sore terlalu cerah dan terlalu indah untuk sekedar digunakan tidur. Tidak ada jadwal kuliah bukan berarti bersantai. Lino sibuk sekali membuat gantungan kunci akrilik sedari pagi tadi.

"Sungguh aku manis sekali membuat seperti ini," katanya setelah benda itu nampak seperti gantungan kunci.

Lino segera bergegas mengambil jaket dan tas lalu menikmati perjalanan sorenya menuju tempat biasa. Stasiun kereta, tempat pujaan hatinya duduk di sana.

Lino jadi bertanya-tanya, sepertinya setiap hari dia di sana. Oke, itu bisa ditanyakan nanti sebagai bahan obrolan.

Sesekali Lino bersenandung, sedikit berlari kalau rasa bahagianya terlalu membuncah.

Kedua mata Lino langsung berbinar ketika keringat masih memenuhi pelipisnya. Dia hanya terlalu bahagia sampai rela berlari dan menolak tawaran teman untuk mengantarnya tadi. Jatuh cinta dan bodoh versi Lino itu beda tipis.

Ia melihat perempuan pujaan hatinya di sana. Sedang duduk sendiri, seperti biasa.

"Hai, sendiri saja. Boleh aku duduk?"

"Tentu, biasanya kamu langsung saja duduk."

Astaga, manis sekali, pikirnya. Lino menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.

"Oh iya, aku punya sesuatu untukmu."

Tanpa menunggu jawaban, Lino merogoh saku jaket dan mengeluarkan gantungan kunci akrilik yang dia buat tadi.

"Untukmu."

"Indah sekali. Terima kasih, aku benar-benar menyukainya. Terlebih, bunga indah yang berada di dalam sana."

Lino terharu, tentu saja. Respon yang sangat bagus.

"Terima kasih, si Tampan Lino."

Hari ini telinganya merah, jantungnya maraton. Sungguh, Lino sangat suka dengan panggilan yang terdengar menggelikan itu.