2. Sepasang Sepatu

3 0 0
                                    


APA yang kau tahu tentang sepatu? Alas kaki? Hmm... tak sekedar itu menurutku. Tapi tak juga seperti kisah Cinderella karena ini bukan tentang sepatu kaca. Ini lebih mirip dengan apa yang coba digambarkan Tulus dalam lagunya―Sepatu. Bagaimana ia menganalogikan hubungannya dan seorang yang dicintainya―entah siapa―sebagai sepasang sepatu yang selalu bersama namun tak bisa menyatu. Melangkahpun mereka tak bersamaan. Harus ada yang berada di depan pun di belakang. Dan saat kaki-kaki itu diam, mereka hanya bisa saling sentuh. Berseberangan. Tak akan pernah benar-benar menjadi satu.

Nah, dari sanalah aku coba menerangkan kisahku tentang sepasang sepatu. Sampai jika aku mengingatnya lagi. Saat aku menyadarinya, aku akan tersenyum geli.

Begini―kemarin waktu Masa Orientasi Siswa (MOS), sebagai siwa baru yang harus melewati masa perpeloncohan―ajang pelampiasan dendam kakak-kakak senior, kami diminta menyediakan berbagai atribut. Mulai dari tas karung, topi caping, papan nama dari karton, kaus kaki berbeda warna―kuning kanan kiri merah, sampai sepatu yang juga tak boleh sama. Sebagaimana talinya yang diganti dengan tali rafia. Jadilah kami seperti petani di rumah sakit jiwa. Sebentar-sebentar ada warga yang berdecak sambil geleng-geleng melihat penampilan kami.

“Hmm... zaman memang sudah edan!”
“Betul... anak sekolah sudah kayak orang gendeng saja!”
“Memang sudah begitu penampilannya anak-anak sekolah yang masih dalam Masa Orientasi!” terang seseorang yang lebih paham.
“Nah, justru karena orientasi itulah mereka sudah pada sableng seperti sekarang ini!” tamannya tak mau kalah.
“Betul... makanya, tidak heran kalau banyak orang yang bependidikan malah jadi pegawai Korup. Gara-garanya, sistem pendidikan kita yang membuat moral generasi jadi bobrok!” tambah salah seorang lagi, “Orang mau nuntut ilmu kok, malah di bodoh-bodohin....”

Dari sini aku sudah mulai tersenyum.

Lantas pada pertengahan MOS, di suatu pagi, aku gelagapan. Hampir kesiangan. Buru-buru ku pakai semua perlengkapan MOS ku. Tak ingin mendapat bentak atau hukuman dari senior. Cepat aku berjalan, setengah berlari, menuju sekolah yang jaraknya antara 1 Kilometer dari tempat kosku.

Sudah barang tentu aku terengah ketika sampai di depan gerbang sekolah. Betapa, malang tak dapat di tolak. Aku terlambat satu sepertiga menit―serinci itu memang. Membuat senior-senior itu nyalang menatapku. Aku tahu dalam hati ia tersenyum, sambil bilang; Hmm... satu lagi mangsa empuk pagi ini! Aku bisa mendengarnya dari sini meski ia tak mengungkapkannya.

Karena kegugupanku, aku baru sadar kalau ada seorang siswi baru juga yang terlambat sepertiku. Dia, dalam balutan jilbab putihnya, tertunduk lesu dan takut. Ya, jelas sekali ia ketakutan. Aku bisa melirik gerakan tangannya yang gelisah. Basah.

“Sudah, santai saja... belum pernah ku dengar ada senior yang makan orang!” bisikku saat mendekatinya. Dan dia hanya menatapku, heran.
“Hey kalian... cepat ke sini!” seorang senior bertubuh―Hmm aku tak tahu harus mengibaratkannya dengan apa―pokoknya besar. Gempal. Gendut. Dengan segudang lemak bertumpuk di kantong-kantong kulitnya. Interval tubuhnya bisa menutupi Black Hole yang ada di film Ultraman. Lubang hitam yang kian menelan apa saja, siapa saja. Seperti sepasang mata yang mempelototi kami sekarang.

Penuh selidik ia menatap sekujur tubuh kami dari atas kepala sampai bawah. Dan ketika sampai di titik paling bawah. Tatapannya tertambat. Sepintas ia kemudian tersenyum.

“Kalian, kenapa sepatu kalian warnanya sama?” bentaknya.
Aku diam. Begitupun Dia yang berdiri di sampingku saat ini.
“Apa kalian bengak? Kenapa sepatu kalian warnanya sama?”
Aku melirik ke bawah. Kulihat sepatuku memang berwarna sama, hitam. Sedangkan dia, memakai sepasang sepatu yang sama putih.
“Ini karena terburu-buru Kak!” ucapku, membela diri.
“Kamu? kenapa sepatumu warnanya sama?” senior itu beralih menatap dia.
“Aku rasa alasannya juga sama denganku, Kak!” Potongku.
Karena sepatu yang warnanya sama itulah kami harus bertukar sebelah sepatu oleh kakak senior.
“Pokoknya, sepatu ini sudah menjadi hak milik kalian masing-masing sampai kalian lulus, Okey?!”

Siapa dia? Tuhan? Bagaimana mungkin ia mematenkan hak milik seseorang. Meski ingin protes, bagaimanapun aku hapal dengan peraturan MOS ini―Senior selalu benar.

“Siap Kak!” aku mengiyakan. Dia mengangguk, sama mengiyakan.

Tak berhenti sampai di situ kemalangan kami, tugas selanjutnya, kami harus membersihkan tiga belas WC. Dan itu menguras tenaga dan batin kami. Bagaimana tidak, selain harus mengepel berjam-jam, kami juga harus bertahan dalam bekapan bau yang menyengat. Aku percaya, kalau bau bisa menjadi senjata biologis paling mematikan.

Setelah ketiga belas ruangan itu selesai kami bersihkan, aku yang sejak tadi penasaran oleh gadis yang mungkin percaya ‘diam itu emas’ memberanikan diri untuk duduk di sampingnya di bangku teras perpustakaan. Menanyakan namanya.

“Maryam―anggap saja begitu....” jawabnya lembut dan singkat. Membalas menjabat tanganku.
“Sepatumu, pulang sekolah nanti aku kembalikan!”
“Tidak usah. Anggap saja, kenang-kenangan!” begitu katanya, kemudian berlalu meninggalkanku tanpa melirik lagi ke belakang. Bahkan ia tak menanyakan namaku. Apalah arti sebuah nama....

Dan aku. Aku tak habis-habisnya menahan malu saat sampai di ruangan gugusku. Teman-teman seruanganku tertawa melihat sepatuku yang lain sebelah. Bukan hanya karena warnanya, tapi karena modelnya. Sebelah sepatuku adalah sepatu wanita. Garis-garis merah mudanya sudah cukup membuat mereka yakin kalau itu sepatu wanita. Bukan laki-laki.

“Mulai hari ini, sampai MOS berakhir, kamu harus mengenakan sepasang sepatu yang kamu pakai hari ini! Jika kamu tidak memakainya, kamu akan mendapat hukuman!” tegas senior gugusku. Sekalipun malu, entah kenapa aku merasa senang. Dengan sepatu ini, dia bisa mengenaliku. Maryam namanya. Aku akan mengingatnya.

Maka, sampai waktu MOS berakhir, aku tak pernah lagi bertemu dengan Maryam. Kucari-cari ke setiap gugus kala waktu istirahat, tapi aku tak pernah lagi menemukannya. Entitas dirinya seakan tertelan bersama sepasang sepatu yang berbeda. Sengaja kubawa sebelah sepatunya dalam ranselku setiap hari, hanya untuk bisa menemuinya. Atau dia bisa mengenaliku, namun, aku benar-benar tidak lagi menemukannya.

Akhirnya kuberanikan diriku untuk bertanya ke petugas administrasi sekolah. di sanalah kudapatkan keterangan, kalau Maryam pindah sekolah sehari setelah MOS berakhir.

“SMA Negeri 1 Persada!”
“Terima kasih Bu!”
Puas aku mendengar penjelasan itu.

Begitulah kisahku tentang sepatu. Meski mereka diciptakan untuk saling melengkapi, tak berarti mereka dapat saling menggenapi. Sebab, terkadang ruang dan waktu mampu menciptakan jarak sebagai partisi. Jauh mengangkangi harapan. Meninggalkan rasa yang tak terjawab untuk sementara. Sebab, ia memang sangat mencintai misteri.

Sampai di sini, aku masih menyimpan rasa penasaranku terhadap Maryam. Bersama sepasang sepatu hitam-putih dengan garis-garis merah muda. Bersama diamnya di depan gerbang. Bersama delik manisnya sesaat sebelum ia memunggungiku. Bersama rasa yang diam-diam bertumbuh dalam ruang hatiku yang masih perjaka―begitu mereka menganalogikan hati yang belum pernah merasakan cinta. Tak pernah terjamah.

§§§


CERITA CINTA 1 DEKADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang