7. Malam Hening

1 0 0
                                    

UNTUNG saja bangunan kos ini dekat dengan pantai, sehingga dari kursi kayu di halaman aku bisa dengan puas menatap lepas ke siluet awan yang mengedar di atas hamparan laut yang tak lagi biru itu. Hitam. Hanya sebagian yang biru saat bias-bias menyapu lembut beberapa sisinya. Akupun tenggelam dalam teduhnya.

Sepasang kelelawar mengitari pepohon mangga yang rindang memayungiku. Mengepul hidup dari buahnya yang ranum. Berkaik-kaik, menyuarakan kebahagiaan. Seperti aku, di antara sekuel-sekuel sepi dalam senyapnya malam, menikmati kebahagiaanku.

Kesiur angin begitu merdu membisiki. Akupun hanyut dalam tembang-kembang kecapi yang kulagukan sendiri. Tembang yang pernah mengangkatku ke atas panggung kehormatan di puncak acara pagelaran seni budaya, dua tahun silam. Kubiarkan ilham itu lahir dan harmoni bersama sentuhan lengang yang terbingkai dalam satu kotak kebahagiaan. Sepertinya buih-buih rindu mulai menemukan tempatnya untuk bertumbuh. Di sini dalam atmaku yang mulai mengerti senyum. Dingin.

Entah ia sama merasakannya, kubiarkan netraku menjilat kosong siluet langit. Bersama rembulan dan tebar gemintang, dia tak gelap seperti biasa saat aku bertanya. Jauh lebih terang dan menenangkan. Apalagi di atas sana, sepasang gagak malam berkoak-koak mengabarkan pesannya, tiga kali mereka berkoak. Hitungan ganjil yang memberi pertanda baik bagi pendengarnya. Begitu kepercayaan yang kubawa dari leluhurku. Aku tersenyum. Yakin, pesan itu untuk hatiku.

Aku baru tahu, bahwa melodi dapat menjadi syarat pengguncang jiwa. Iramanya yang merdu, jauh lebih menyentak daripada seruan genderang. Seperti degup jantungku saat ini, berdegup begitu kuat, saat kugambarkan lagi cerita kami di teras malam tadi. Ketika wajahnya membias jelas di sudut bacaku. Di manapun. Kemanapun aku menoleh.

Maka, bersama melodi dari tiga dawai kecapi, kukisahkan tentang indahnya jiwa yang moksa. Bukan sekedar mantra Asmaradana. Dalam heningpun ia dapat meraup kebahagiaan. Merangkul malam sebagai potongan kekata yang merdu. Menggamit bulan sebagai bait-bait yang murni dan tahbis. Sehingga malam ini aku tak peduli. Keindahan ini terlalu nikmat untuk cepat tersudahi. Tak ingin aku melepas. Ingin selama-lamanya ada di sana, seandainya waktu dapat stagnan. Hilang-lenyap bersamanya, pun aku mau.

Dibungkus sejuk sapuan gita, ku kais-kais makna yang ada. Bermetafora bersama purnama yang bulat sempurna. Merangkai-rangkai kidung yang mendeskripsikan rindu sebagai sebuah keindahan yang tak tertakar. Meski tercatat, tak sepenggalan mampu terungkap dengan benar. Sebab, apa yang kurasakan malam ini pada balutan heningnya, adalah rahasia antara aku, dia, dan diriNya. Tak tertakar meski berulang kali ku mengungkapkannya. Tak tereja meski kutuliskan. Dan tak terlihat meski sering kulukiskan. Itulah kebahagiaanku tentang rindu.

Bicara tentang rindu. Aku mendeskripsikannya sebagai dirinya. Wajahnya, senyumnya, tutur lembutnya, dan lagi... pipinya yang selalu merona. Ah... sungguh sebuah keindahan. Meski sebenarnya aku ragu, ia akan berkata sama kepadaku. aku ragu, akan kasta yang menjadi rentang langkah antara kami berdua. Tapi... sungguh, apa yang ku nikmati malam ini tak dapat sudah walau rangkaian probabilitas itu menggertak sesekali. sungguh, aku tak ingin lepas dari lekat rinduku sendiri. Bukankah cinta hanya butuh satu hati?

Maka, pada malam yang hening, ku kabarkan rindu yang mekar bersama senyumnya di teras malam. Lalu?

§§§

CERITA CINTA 1 DEKADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang