3. Jawaban Seorang Wanita Yang Menyebalkan

1 0 0
                                    

PONGAH, Kau terpaku pada 12 angka di lembar tengah bukumu. Kau memperhatikannya sekali lagi mulai dari kepala; 08, sampai ekor; 07. Itu nomornya yang kau dapat tadi. Kau tak memintanya secara langsung. Malu. Maka, kau godalah si Udin, teman sebangkunya―segelas Pop Ice sudah cukup. Untuk mendapatkan nomor itu

Pagi tadi, kau berbincang ringan dengan Tiara. Teman sebangkumu yang paling mengerti soal laki-laki. Tak kau ragukan itu, kualitas dan penampilan karismatik Tiara mampu menjatuhkan hati segudang kaum Adam hanya dengan satu kali kedipan mata. Atau dengan sapaan manjanya. Untuk itulah kau sebagai wanita yang awam akan sifat dan serba-serbi lelaki, bertanya padanya.

“Kalau kamu suka sama cowok, apa yang kamu lakukan pertama kali?”
“Ya, kalau aku sih langsung mengajaknya kenalan!”
“Kalau sebenarnya kamu sudah kenal?”
“Tinggal PDKT saja!”
“Caranya?”
“Hmm... minta nomor Ha-Penya....”
“Cukup!”

Karena alasan itulah kau memberanikan diri untuk meminta nomor ponsel Yoda ke Udin, dengan mengembel-embelinya segelas Pop Ice.

Lantas sekarang, benakmu tertambat antara ragu dan mau. Satu per-satu kau tekan angka angka itu. Jempolmu bergerak lambat seakan ruang dan waktu memelar. Seakan jarak antara jempol dan tombol angka ponselmu terlalu jauh. Kau terengah. Berusaha melawan kekuatan yang menahan dirimu. Jempol dan tuts ponselmu seakan dua kutub maghnet yang berlawanan. Saling tolak. Kau mendesah, membanting tubuhmu di atas kasur. Terlentang, membiarkan ponselmu teronggok di sampingmu. Maka kau hapus lagi angka-angka itu.

“Tidak mungkin aku tiba-tiba menelponnya tanpa alasan. Itu sangat mencurigakan!” kau geleng-gelengkan kepalamu.

Gelisah. Ya, meski kau tak tahu pasti apa sebabnya, jelas kau gelisah. Lihat saja tubuhmu yang tak berhenti bergerak. Menghadap ke kiri, kanan, terlentang, tengkurap, sampai berguling-guling. Tak pernah kau rasakan yang seperti sebelumnya. Setidaknya sebelum hari itu, pertama kali kekaguman tumbuh.

Kau angkat badanmu, posisimu kembali duduk di tepi ranjang. Menatap lagi angka-angka itu, kemudian mengetiknya. Memikirkan alasan yang mengena.

“Tugas dari Pak Ahmad....
“Akh, tidak. itu tidak masuk akal....
“Bagaimana kalau menanyakan Modul?
“Akh, dia tahu aku sudah punya semua....
“Untuk apa aku mencari alasan? Tanyakan saja kabarnya!”

Cepat kau mulai mengetik lagi angka-angka itu. Nomor ponselnya, dan ketika pada angka terakhir, jempolmu tercekat, mengambang antara menekan tombol hijau itu atau tidak.

“Kalau aku langsung menanyakan kabarnya tanpa alasan yang pasti, dia akan mencurigaiku. Lagipula, kami tidak terlalu dekat selama ini. Dan, kalau dia... Akh... aku tidak mau malu!”

Kau hapus lagi deretan angka-angka itu. Kau banting lagi tubuhmu ke atas kasur. Ada ketakutan yang menjalar pelan di batinmu. Kau takut, suara dari balik ponsel itu kembali membuat luka lamamu terbuka. Seperti yang pernah terjadi padamu dua tahun yang lalu.

Entah apa yang memicunya, pikiranmu sampai pada kenangan di dua tahun kemarin. Kejadian yang hampir sama dengan yang kau alami beberapa bulan terakhir ini. Waktu itu kau baru duduk di bangku kelas Delapan.

Namanya Fatur. Kau menaruh kagum padanya karena alasan kepandaiannya. Dia juga termasuk anak yang baik menurut ukuran dirimu. Terbaik malah. Lama kau terkatung-katung oleh perasaanmu sendiri. Seperti gurun sahara, kau butuhkan setitik oase. Menenangkan dahaga yang kau kandung. Dan, hanya dia yang dapat. Dialah oasemu waktu itu. Bahkan jika kau adalah bulan, maka Fatur lah cahyanya. Cahaya yang menerangi remang. Cahaya yang bertiup dingin, membuai setiap jiwa sampai akhirnya mereka larut dalam mimpi rembulan.

Kian kemari, saat semua kebenaran hendak mencapai puncaknya, kau lantas puas dengan ibarat metaforistis tentang cinta. Kau harus percaya bahwa hati tak pernah benar-benar sama. Masing-masing berbeda. Tidak juga Fatur. Meski dalam hati kau menyimpan namanya, dalam hatinya ia telah menjadi milik yang lain. Sandra―gadis yang juga sekelas denganmu.

“Hay, Tur....”
“Hay, Yan. Tumben Nelpon!”
“Iya nih.”
“Ada apa, Yan. Mungkin ada yang bisa aku bantu!”
“Cuman mau nanyain soal hubungan kamu dengan Sandra!”
“Oh itu... Aku sama dia memang sudah lama pacaran. Sudah Tiga bulan tepatnya!”
Kau tercekat. Cepat kau tutup percakapan itu.

Sejak percakapan singkatmu melalui telepon itu, kau gamang dan ringkih dalam sedu-sedan keakuanmu. Berminggu-minggu kau menyumpahi ponselmu. Tak ingin menyentuhnya lagi. Tak ingin melihatnya lagi. sebab, karena jasanyalah kau mendengar semua kebenaran itu. Kebenaran yang mesti pahit. Terlalu pahit, sampai-sampai kau membenci dirimu sendiri.

Kau mengerang, mengusir segala ketakutan itu. ketakutan yang seakan mengejekmu dari dalam. Ketakutan yang akan terulang kedua kali. sama, menggunakan jasa telepon. Maka bertempurlah batinmu, antara menyuarakan percakapanmu dengan Tiara pagi tadi, atau tentang Fatur dan telepon malangmu.

Sampai akhirnya kau himpunkan keberanianmu. Kau tegarkan hatimu, atas segala probabilitas tersakit yang kau gambar sendiri dalam benakmu. Lalu kau tegakkan kembali badanmu. Duduk siap. Mengusir jejalan sesak dalam dadamu. Meyakinkan dirimu untuk menerima relaitas yang akan kau temui.

Kau bisikkan lagi angka-angka di kertas bergaris bukumu. Menekan pasti angka-angka itu di badan ponselmu. Tidak seperti tadi, kali ini kau sedikit lebih ringan dan santai. Maka, setelah desah lirihmu yang terakhir, kau tekan tombol hijau ponselmu. Menghubungi nomor itu.

Tuuuttss... Tuuutss... Tuuuuttsss... Maaf nomor yang anda tuju sedang sibuk, silahkan hubungi beberapa saat lagi....

Kau coba sekali lagi menghubunginya.

Tuuuttss... Tuuutss... Tuuuuttsss... Maaf nomor yang anda tuju sedang sibuk, silahkan hubungi beberapa saat lagi....

Meski mendapat jawaban yang sama untuk kedua kali, kau terus mencoba. Sampai akhirnya kau mengalah. Mengalah pada wanita yang selalu berucap lembut dan ramah meski kau merutuk-rutuk sebal. Wanita yang menjawabmu sistemis, meski kau merasa ter-acak-acak. Wanita yang menjawabmu santun, meski kau mengumpat sedemikian rupa.

“Sial... bukan suaramu yang ingin aku dengarkan!”

Kau lemparkan ponselmu ke atas ranjang. Wajahmu masih tertekuk kesal. Sampai akhirnya ponselmu berdering. Sebuah pesan singkat singgah menjemputmu. Malas kau menggapai-gapai ponselmu di sisi kanan tubuhmu. Layarnya terang-redup berkali-kali―akan berlaku sampai ponselmu meledak jika kau tidak cepat membaca pesannya.

“Maaf, ini siapa ya?”

Dan kau tersenyum, melihat dua angka terakhir yang melintang apik di atas kotak pesanmu. 07.

§§§

CERITA CINTA 1 DEKADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang