6. Dongeng Darinya; Tentang Cinta

0 0 0
                                    

SURYA sudah lebih condong ke barat, memayungi sebagian sisi langit dengan lingkar oranye. Dan kau tepikan dirimu di atas bale bambu depan rumahmu. Menggendong dalam tapak, sebuah buku yang mengisahkan tentang cinta. Kau tersenyuh, masuk tertarik pada konflik yang kau baca. Konflik yang kau gambar-gambarkan sendiri. Menyelinap, mengintip kerangka yang coba di gambarkan sang penggubah. Hatimu saru dalam alir kisahnya.

Kau lihat langit yang biru di sana. Di deret aksara bersapasi. Ada jarak yang memisahkan antara mereka berdua, bahkan sekalipun sekarang kau melihat mereka sedang berpelukan. Di altar perapian itu, bersama bara yang menghangatkan. Sekali lagi, sepasang kekasih itu meneguhkan diri. Mengukuhkan ikatan ikrar yang pernah mereka buat―Cinta.

Lari! Begitu katanya. Hanya dengan berlari bersama-sama mereka bisa saling bergandengan. Bisa saling menyentuh, walau di buru murka dan sumpah serapah dari kedua orang tua. Ya, mereka sepakat, bahwa kasta dan keadaan sosial seseorang bukanlah alasan untuk mematikan ikatan suci yang mereka jalin. Bukan aturan yang menindas sucinya kebenaran. Kemurnian tekad saling kasih. Ketulusan untuk saling menggenapi.

Dan ketika sampai di ujung kisahnya, ketika sepasang kekasih itu menobatkan diri sebagai merpati yang rindu akan kebebasan. Mereka ingin terbang. Ketika sepasang sekasih itu lebih memilih jatuh dan mati di kaki jurang bebatuan. Kau ikut jatuh. Kemalangan yang dirasakan sepasang kekasih itu mendesak merasuki jiwamu. Maka genangan perih itu membentuk parit-parit bening di pipimu. Melengkung di bawah dagumu. Menumpuk sebentar di tonjolan dagumu. Menggumpal. Kemudian jatuh di pangkuanmu. Membuatmu sadar, kalau kau telah lama hanyut dalam kisah sang penulis.

“Kamu kenapa Yan? Kok mata kamu basah?” Mamamu menghampirimu. Membelai-belai rambut penjangmu yang jatuh menutupi garis punggungmu.

“Dian terenyuh dengan kisah sepasang kekasih di dalam novel ini, Ma!” kau jatuhkan kepalamu ke pundaknya. Memang, kau selalu senang bermanja-manja dengan Mamamu. Mungkin karena jiwa kalian sama. Mungkin karena kau putri tunggalnya. Atau mungkin juga, karena kalian sama-sama wanita. Sama mengerti dan memahami.

“Waktu seumuran kamu... tepatnya waktu Mama mulai mengerti tentang cinta dari pacar pertama Mama yang tak lain adalah Papamu. Mama juga suka membaca roman-roman percintaan!” Mamamu masih membelai-belai lembut puncak kepalamu, “Hmm... apa kamu sedang jatuh cinta?”

Kau tak begitu kaget, hanya kepalamu terangkat dari pundaknya, “Bisa dibilang begitu!” jawabmu. Lirih.

“Boleh Mama tahu, siapa orangnya?”
“Nanti saja aku ceritakan ke Mama!”

Dibantu Mamamu, kau kembali ke dalam. Sebab hari semakin rindu pada malam. Lihat saja keremangan yang menjalar perlahan ini.

§

Begitu kau merasa sepi meski sejak Isya berlalu Trisna menemanimu di teras rumah. Biji-biji kacang sudah berbungkus-bungkus terpisah dari kulitnya. bertumpuk di tengah-tengah duduk kalian. Menemani dua botol soda strawberry yang sudah habis setengah. Plus satu botol yang masih tersegel.

“Kenapa dia belum datang?” kau bisiki dirimu sendiri.

Sementara Trisna sibuk sendiri dengan ponselnya―berbalas pesan dengan orang terkasih memang seperti tanaman halusinogen, saat kau larut dan tenggelam, kau akan dibawanya sampai pada titik ekstase. Hilang sadar. Seakan nirwana hanya kau dan dia yang menghuni. Entitas lain hanyalah cicak-cicak malang yang berdecak saat mereka ingin dilirik. Seperti Dian yang sampai sekarang gelisah. Merasa bodoh memperhatikanmu yang mesem-mesem sendiri saat hatimu hanyut tersentuh. Saat kau telah jauh meninggalkan realitas.

“Ce... Ce....” kau mengguncang-guncangkan betis Trisna yang melonjor di depanmu.
“Apaan sih Yan. Gangguin orang aja!” Trisna mendengus. Kesal, kau menyadarkannya dari mimpi sempit yang ia lukiskan di tepi khayalnya.
“Yoda, datang tidak ya?”
“Datang atau tidak, memangnya kita harus peduli?”

CERITA CINTA 1 DEKADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang