PROLOG

5 3 1
                                    

KAU, dalam masa berliburmu, terus membaca tulisan-tulisan yang kau sendiri tidak tahu siapa penulisnya. Satu-satunya keterangan dari akun Blog itu adalah―YD. Dari sekian tulisan fiksi yang pernah kau baca, entah kenapa yang satu itu terasa dekat dan menyentuh kebenaran dalam dirimu. Juga Dia. Seakan memberi refleksi. Terlalu nyata untuk kau anggap sebagai sebatas fiksi.

Beberapa hari selanjutnya, kau pusatkan rasa penasaranmu pada akun itu, kau tanyakan nama sebenarnya, namun tak juga mendapat jawaban. kau bingung dan resah oleh rasa penasaranmu sendiri. Bagaimana mungkin semuanya bisa semirip ini? Tak ada yang namanya kebetulan. Begitu yang kau bisikkan daam hatimu. Sampai akhirnya suatu pagi mungkin karena desakanmu melalui puluhan pesan tak terjawab yang kau kirimkan dalam bentuk pertanyaanmu kepada pemilik akun itu, kau mendapat keterangan yang memuaskan. Poto profil yang ia sematkan kemudian akhirnya menjawab sedikit rasa penasaranmu. Tercekatlah kau memperhatikan perubahan di wajah itu. wajah yang kau kenal. Cukup dekat untuk kau kenang. Seandainya tidak ada tambahan rambut gondrong dan kumis tebalnya yang melintang, dari pertama kali kau melihat, kau sudah pasti tahu siapa orang itu. Dia

Sehingga, sudah seminggu lamanya di puncak acala yang basah ini, kau mengintip dia yang jauh di seberang sana. Mengintip dari sekuel-sekuelnya di jendela Blog pribadinya.  Mungkin jarak kalian 63 kilometer waktu itu―bisa lebih, bisa kurang. Intens kau tatap tiap kalimat yang dituliskannya di sana. Sampai akhirnya kau temukan nomor ponselnya. Ya setelah sekian lama, menurutmu ini waktunya. Sudah cukup jarak antara 2010 s/d 2019 kemarin membuatmu bodoh. Tak mengungkapkan kebenarannya. Kebenaran yang sudah seharusnya ia tahu. Semoga saja ia memahami.

Kau lirik sekali lagi angka-angka itu. mencatatnya lengkap pada layar Smartphonemu. Sampai akhirnya kau himpunkan segala kekuatanmu di sini untuk menelponnya.

“Assalamualaikum....”
“Waalaikumussalam... Maaf, ini siapa ya?”
“Dian. Kamu masih kenal?”
“Dian, yang mana, ya?”
“Hanya saya satu-satunya teman sekelasmu bernama Dian waktu SMA.” Suaramu masih terasa kaku.
“Oh... iya, aku ingat sekarang! Apa kabar?”
“Baik... Kamu?”
“Alhamdulillah. Baik!”

Akrablah perbincangan kalian sore itu. Saat dia mulai menanyakan kisahmu, kau juga menanyakan hal yang sama. Saat ia menanyakan pekerjaanmu, kau tak tahu harus menjawab apa.

“Ya begitulah!” akhirnya.
“Oh gitu... kapan-kapan reunian yuk!”
“Iya... ajak teman-teman yang lain!”
“Tentukan saja waktunya!”

Mulailah lagi kalian membahas perihal kisah klasik kalian sewaktu SMA dulu. Panjang-lebar. Sampai akhirnya kalian sama-sama tercekat. Bahkan dalam jarak waktu yang panjang, ingatan itu masih menyisakan sesak yang dalam. Menggigit, membuat sekujur tubuhmu dingin. Kau mendesah. Dia pun juga sama.

“Suatu hari, jika kita bertemu. Aku ingin memberikanmu surat yang seharusnya kau baca sejak satu dekade kemarin....” bisiknya, lirih.

Kau tersenyum, kemudian melanjutkan lagi membaca potongan-potongan kisah yang saling bertalian itu di layar notebookmu.

§§§

CERITA CINTA 1 DEKADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang