1. Rindu yang hadir suatu ketika

3 1 0
                                    

KAU tersenyum seramah yang kau mampu. Meski tetap saja ada diam. Malu-malu. Ia melirikmu di sudut paling belakang ruang kelas satu. Dia yang kau lirik dalam detik waktumu setiap kali. Mencuri pandang. Dan dia hanya menunduk, lagi-lagi diam. Sepertinya ia tertarik oleh kiat lakumu. Meski kau sedang mengisyaratkan sesuatu. Padanya. Pada meja dan kursi. Pada dinding yang sama bisu. Kau ingin menyuratkan dengan tinta kertasmu. Yang kau bilang sesuatu kala itu. Sesuatu yang tumbuh dalam titik lembutmu tanpa pretensi. Sejuk, dingin, merangkak perlahan namun sebegitu pastinya, hingga kau tetap menatapnya sampai detik ini. Detik dimana kau masih tersenyum lembut tanpa kau tau.

Di waktu yang lain. Ya, anggap saja saat itu masih terlalu pagi. Di ruangan kelas yang sama. ruang kelas yang sebagian dindingnya baret oleh coretan-coretan tanda pembangkangan dari mereka yang lainnya. Kau coba memberanikan diri untuk menyapanya. Mula-mula kau himpun seluruh keberanianmu. kau kerjap-kerjapkan matamu. Berdehem sebentar, mengusir sekat yang menggantung di tenggorokanmu. Kau tepikan dulu untuk sementara segala malu. Ke-egois-an yang tanpa sadar selalu ada di tiap hati. Apalagi wanita sepertimu! Meski kau mau, kau tak berani mangkat dari bangkumu yang rapat menempel di dinding kanan ruang kelas yang perlahan sesak itu.

“Boleh pinjam pulpen?” jelas, kau ragu-ragu dalam ucapmu. Takut mungkin?!

Lantas dia hanya tersenyum seperlunya. Memberimu pulpen hitam snowman miliknya. Kau merasa benda itu berharga meski harganya tak seberapa di kios fotokopi depan sekolah. Sekitar 1000 rupiah, mungkin. kau genggam benda bermata tumpul itu lekat. Kau tersenyum simpu pada dirimu sendiri. Sebab kau tau, pesan-pesan waktu selalu memberi pola pada perjalanan seseorang. Termasuk kamu. dia. Dan rasa dalam hatimu saat ini belum bisa kau sebut apa.

Seperti partikel-partikel kosmis dalam ruang dan waktu yang melengkung. Katanya! Di dalam gugus nirwana yang menyempit sebesar kandi perasaanmu padanya. Rasanya kau tak pernah ingin melewati proses samsara seperti ini. Kondisi tumimbal yang diam dan meragu. Menyimpan aksara yang sangat ingin kau ungkapkan [Aku mencintamu!]―jika saja kau mampu. Terlukalah hatimu, tanpa pernah tahu akan jawabnya. Oleh karena keakuanmu sendiri, atau pula nasihat teman-temanmu yang berbau pongah.

“Tidak pantas seorang wanita mengungkapkan isi hatinya kepada lelaki, meskipun kau mau! Malu-maluin!” begitu kata mereka―teman-teman yang mengaku dekat denganmu.
Lalu kau larut dalam pertentangan dua sisi jiwamu.

“Aku ingin mengatakan semuanya padanya!”
“Jangan! Terlalu murahan kau dimatanya, nanti!”
“Tapi, aku tidak bisa memendam problema ini sendiri, Ce! Sakit rasanya!”
“Sabar. Daripada kau jatuh malu suatu hari nanti, ada baiknya kau sabar dan menunggu sampai ia mafhum dan peka!” Begitu percakapanmu dengan Trisna suatu sore di teras rumahmu.

§

Maka kau semakin gamang dan ringkih kian kemari. Saat dimana tegur-kenal kalian semakin banyak terlewat bersama rasa yang terpendam. 

Di tiap lima waktu yang pulang, kau sertakan namanya dalam sujud munajatmu. Kau benamkan jiwamu dalam asa untuk bersama. Dengannya. Dia yang meng-adisi ruang suci atmamu. Berharap ia tersentuh oleh lembut do’amu di atas gelar tikarmu yang basah. Kau menangis, belum pernah kau melaksanakan kewajibanmu sebagai hambaNya se-khusyuk itu. mungkin memang benar, hati selalu menjadi kotak yang menyuarakan kebenaran dalam diri setiap insan.

Dan, ketika masa kian berganti. Menyelimuti sekelumit langkah ayumu. Hari berganti minggu, minggu menjadi Bulan. Ya bulan. Seingatmu, sudah enam bulan kalian saling mengenal. Dan sudah enam bulan kurang 27 hari―hari libur―kalian duduk berjam-jam di ruang kelas yang sama. namun, tetap saja penggalan waktu itu belum bisa menumbangkan kebutaan rasa salah satu dari kalian. Kepekaan. Seakan mempartisi kebenaran yang kau pendam. Dan tembok itu terlalu kokoh untuk kau hancurkan. Terlalu tinggi untuk kau lompati. Kebodohan itu untuk sementara kau sebut malu. Atau dia menyebutnya; ke-egois-an.

CERITA CINTA 1 DEKADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang