16

15 0 0
                                    

Dodo memang tidak ingat kapan tepatnya Elis berubah, tapi dia ingat jelas kapan pertama kalinya dia
menyadarinya. Hari itu hari pertama masa orientasi SMA. Para kakak kelas dengan kejamnya memaksa seluruh
murid tahun pertama untuk memakai  baju kaos putih polos dan celana trening berwarna  navi lengkap dengan rangkaian petai terkalung di leher. Yang perempuan harus mengepang rambut jadi tiga puluh bagian tidak peduli seberapa berantakan yang penting ada tiga puluh set per kepala. Yang laki-laki harus pakai bando perempuan, plus jepitan rambut warna-warni.

Pagi itu, Elis muncul sambil merengut. Ia tampil heboh dengan tatanan rambut dikepang rapi kecil-kecil, juga untaian petai yang semerbak.

Dodo tidak sadar betapa cepat Elis berkembang selama dua bulan libur sekolah kemarin. Padahal, dari dulu Wlis kan pendek, kecil, dan pakai kawat gigi. Pokoknya tomboi abis. Rambutnya juga biasa dibiarkan
pendek dan menjuntai hingga leher, lebih banyak terkena matahari sehingga ujungnya pecah-pecah.

"Aneh, ya?" Elis bertanya dengan gemas, menarik-narik rambutnya.

"Mana petainya bau banget lagi."
Dodo ingin tertawa, tapi dia malah tercengang.

Elis masih tetap Elis, tapi Elis bukan lagi Elis. Masuk akal gak sih? Maksud Dodo sekarang Elis kelihatan berbeda.

Entah sejak kapan kedua tungkai kakinya mulai memanjang, diikuti dengan lekuk pinggang yang
sempurna. Kulitnya terasa lembut ketika menyentuh Dodo. Rambutnya mulai dipanjangkan hingga menyentuh bahu, bersih dan berkilau di bawah terik matahari. Dodo jadi ingin menyentuhnya, ingin tahu
karena kelihatannya halus sekali.

Matanya bulat, bibirnya kemerahan, lehernya jenjang. Elis... cantik.
Kalimat  terakhir itu terdengar aneh di mulut Dodo. Karena dia tidak pernah menganggap sahabatnya itu
sebagai perempuan sungguhan.

Lalu, ada lagi kejadian ketika cowok-cowok kelasnya berkumpul, topiknya tentu saja tidak jauh-jauh dari cewek.

"Cewek-cewek disini cantik-cantik, ya." Aldo,  buka suara.

"Gak nyesel masuk sini."

Waktu itu, Dodo diam saja, tanpa komentar menonton anak-anak kelas dua main basket di lapangan dari
tempatnya bergelayut di pagar lantai dua. Dia paling malas ikut nimbrung masalah cewek dan penaklukan yang kesannya macho tapi norak.

"Iya," timpal Aldo, salah satu teman sekelas Nata sejak SMP.

"Cakep-cakep. Liat sih Dek Ayu, mulus banget. Atau si Nanda."Lalu, murid-murid pun ikut berdiskusi dengan seru.

"Kalau gue sih lebih suka sama Sri. Seksi." Yang lain sibuk menggoda dan bersiul nakal.

"Kalo gue milih Anggik. Gue demen cewek yang mungil kayak dia."

"Anggik biasa aja. Kalo Elis gimana?"
Kuping Dodo jadi super sensitif setelah mendengar nama itu disebut.

"Elis? Elisia Gelisya ya...?" tanya Jefri yang mulai memperhatikan gerak-gerik Elis yang sedang mengobrol seru dengan teman-temannya di tepi lapangan.
"Manis. Ceria, kayaknya orangnya asyik."

"Tipe gue banget tuh!"

"Elis, kan, teman dekatnya Dodo dari jaman SD." Seth, yang memang sudah mengenal Dodo dan Elis sejak SD
berkomentar. "Gimana menurut lo Do?"

Dodi mengangkat bahu dengan cuek, tapi hatinya sedikit berdebar. "Biasa aja. Gue udah terlalu lama sahabatan sama dia."

"Jadi boleh di gebet, nih?" Dodo tidak terlalu mendengarkan lagi. Dia tidak ingin mengakui bahwa dia juga merasa Elis menarik.

Kenapa, ya? Padahal, dari dulu Dodo biasa aja di dekat Elis. Cewek itu yang berubah... atau Dodo yang berubah?

***

"OUWO UWO!" Jerit Elis tiba - tiba tepat di telinga Dodo. Jeritannya nyaris membuat Dodo terkena serangan jantung. "Ya ampun, lo ngapain ngelamun mulu!"

"Biasa aja dong," gerutu Dodo. "Telinga gue sakit, nih!"

Elis seolah tidak mendengar gerutuan Dodo. "PR gue, udah lo kerjain belum?"

Dodo menghembuskan nafasnya. Seperti biasa dia harus extra sabar dalam menghadapi Elis. "Udah kok."

"Yeiii, makasi Dodo.... Lo emang sahabat terbaik gue," kata Elis yang kemudian langsung memeluk Dodo dari samping.

Deg!

Dodo merasa detak jantungnya seakan lari maraton. Dodo jadi ingin senyum, tapi sebisa mungkin dia tahan. "Udah-udah peluknya, entar malah sesak nafas gue."

Elis malah tertawa, "yaelah palingan juga lo seneng gue peluk, kan?" Goda Elis. "Ngaku lo!"

"Siapa juga yang senang dipeluk sama lo! Badan lo tuh bau banget," Dodo berusaha menyangkal. Padahal dalam hati senangnya minta ampun.

"Enak aja, gini - gini gue rajin mandi. Rajin pake parfum pula."

"Iya deh, Elisia Gelisya yang paling wangi. Puas lo!"

Elis hanya nyengir.

"Nyengir doang," kata Dodo. Entah kenapa kehadiran Elis selalu membawa hal positif.

Melihat Elis tertawa. Tanpa sadar Dodo juga tersenyum kecil. "Cie yang senang tuh."

"Biasa aja"

"Enggak biasa"

"Biasa."

Dodo mendengus. "Oke, terserah."

Lagi - lagi Elis tersenyum.

"Dasar bocah!" Dodo menggeleng - geleng kepala saraya masuk ke dalam rumahnya dan seperti biasa Elis selalu mengikutinya.

Kebetulan rumah Dodo dan Elis saling bersebelahan. Jadi kalau mereka ingin main ke rumah satu sama lain. Tinggal jalan aja.

***

"Harusnya lo gerak cepat," tukas Seth malam itu. Cowok itu kembali ke rumah Dodo hanya untuk nongkrong. Biasa di rumah Dodo selalu ada banyak stok makanan. Jadi teman - temannya dan juga Elis selalu datang ke rumahnya hanya sekedar numpang makan. Pernah Dodo marah, tapi ujung - ujungnya dia juga yang harus minta maaf. Apalagi kalau itu Elis. Sudah pasti cewek itu akan ngambek parah sama Dodo. Yang pastinya Dodo tidak suka itu.

"Apaan?" Kata Dodo sambil menonton film. Seth sibuk memainkan ponselnya di sofa.

"Serius nih, lo harus gerak cepet. Supaya gak keduluan orang lain," Kata Seth. Kalau Seth yang sudah berceramah, pasti susah untuk menyuruhnya berhenti.

Dodo mendengus, "Gue gak lagi nargetin siapa - siapa."

"Lo suka Elis, gue tahu itu" kata Dodo. Memang sangat susah kalau berurusan dengan Seth. Apalagi soal hati. Seth adalah sang ahli cinta dari sekian temannya yang dia tahu.

"Ehm," Dodo pura - pura tidak mendengar apa yang dikatakan Seth.

Perkataan Seth seolah terulang dikepalanya seperti kaset rusak saja.

Lo suka Elis, lo suka Elis, lo suka Elis
Elis... Elis... Elis...

"Woi! Ditanya pake pura - pura gak denger lagi," gerutu Seth. Dia malah sendiri.

Mata Dodo yang mengarah ke layar televisi sambil menyahut. "Cinta gak perlu ditunjukin." Kini matanya menoleh ke arah Seth. "Kayak lo udah aja. Lo juga gak nunjukin cinta lo ke Intan."

"Astaga! lo tahu darimana?" Seth terkejut mendengar nama Intan.

Senyum licik terukir di wajah Dodo. "Lo lupa? Intan sama Elis kan satu kelas." Katanya. "Gue tahu semuanya."

"Kenapa nggak bilang?"

Dodo terdiam sejenak,kemudian tersenyum kecil sebelum menyahut. "Mendingan gue diam daripada bilang sesuatu yang belum tentu bener."

Sesaat Seth terdiam, Dodo memang bukan orang yang senang bergosip. Lain halnya seperti Jefri dan Aldo.  Diamnya Dodo bukan berarti tidak tahu, melainkan dia tidak ingin bertindak hal yang salah apalagi kalau sampai mengganggu privasi orang.

G: Dia, Cinta & Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang