12

28 2 0
                                    

Seumur hidupnya, Elis belum pernah naik mobil senyaman ini; sedan BMW biru tua dengan inte Natar yang sudah dimodifikasi sehingga kursinya lebih lebar dan nyaman. Ada satu set perlengkapan televisi dan GPS dengan voice command, juga CD player yang sekarang memutarkan lagu Lost in Japan milik Shawn Mendes.

Elis mengalihkan pandangannya dari sebuah miniatur pemain basket di atas dashboard ke arah Gino yang sedang menyetir dengan tangan kanan. Murid baru SMA Airlangga memang tampan, yang satu ini tidak perlu diragukan lagi. Tubuhnya tinggi dan ramping model atlet, berisi tapi tidak terlalu kekar seperti ahli angkat besi. Rambutnya dipotong rapi dan
tidak menyentuh telinga, ditata dengan gel seadanya sehingga memberikan kesan berantakan. Kulitnya berwarna putih halus. Sedangkan senyumnya ramah, mencerminkan kesan ramah. Pemuda ini mengingatkan Elis pada Marko yang selalu wangi, rapi, dan bersih.

Kalau boleh jujur, Elis senang bertemu dengannya lagi. Ia sempat, menganggap ajakan kenalan waktu itu tidak lebih dari candaan belaka walau sempat menyimpan secercah harapan bahwa cinta yang manis suatu hari akan datang kepadanya.

Ketika ia mulai melupakan kejadian tersebut, tiba-tiba saja Gino kembali muncul di hadapannya, menawarkan kesempatan kedua. Elis menganggapnya sebagai sebuah pertanda.

“Cowok yang tadi pacar lo, ya?”

Elis mengangkat muka, melupakan sejenak monolog senyapnya. “Yang mana? Dodo?”

“Iya, cowok yang tadi di rumah lo itu. Kayaknya, dia kurang senang ngeliat gue.”

Elis tergelak kecil. “Ah, perasaan lo aja kali. Dodo emang orangnya kayak gitu, agak galak, tapi sebenarnya
perhatian. Dia sahabat gue dari kecil.”

“Mungkin gue dikira playboy yang nggak bisa dipercaya,” canda Gino.

Elis terdiam lalu bertanya dengan lugu, "Emangnya lo gitu?”

Wajahnya begitu polos sehingga Gino tertawa. "Ya nggaklah. Gue nggak punya pacar, kok.”

”Masa cowok kayak lo nggak punya pacar sih?”

“Maksud lo, cowok kayak gimana?” Gino balas bertanya, seakan
ingin memancing reaksinya.

“Yah... orang yang populer kayak lo. Banyak lho teman-teman gue yang bilang kalau lo tipe cowok yang diinginkan cewek-cewek.”

“Menurut lo, gue kayak gitu...?”

“Nggak tahu. Gue kan, belum kenal sama lo."

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Gino memutarkan lagu- lagu dari Shawn Mendes yang juga menjadi favorit Elis. Perlahan, tetapi pasti, rasa canggung di antara mereka melumer, terganti oleh pembicaraan seru. Elis bercerita mengenai sekolahnya dan segudang aktivitas lain yang biasa diikutinya. Gino tertawa mendengar jokes-nya, juga berbagi cerita mengenai dirinya sendiri. Melalui ceritanya, Elis mengetahui kalau Gino adalah anak tunggal, dan ulang tahunnya hanya berbeda lima
hari dengan Marko, sama-sama berzodiak Capricorn walau sifat mereka berbeda jauh.

                              ***

"Kok lo bisa berangkat bareng Gino sih? Udah lama kenal ? Atau baru kemarin kenal? Minggu lalu? Bulan lalu? Tahun lalu? Atau kalian sodaraan?" Sri memberondong Elis dengan banyak pertanyaan  sekaligus, membuat yang ditanya menyerngitkan dahi karena bingung harus merespon seperti apa.

"Kok gak dijawab sih, Lis?" Sri menyimpan tas di kursinya kemudian duduk di bngkunya.

"Lo sama Gino kok bisa bareng?"

"Tadi di jemput makanya bisa bareng," jawab Elis.

"WHAT?! KOK BISA SIH?" Teriak Sri tepat di telinga Elis. Elis reflek menutup telinganya.

"Duh kebiasaan deh, kalo teriak di kuping gue!"

"Sorry. Ayo dong cerita, Lis" balas Sri sambil nyengir.

"Intinya gue berangkat bareng karna permintaan Dodo, kalo bukan karna Dodo mana mau gue berangkat bareng dia."

"Gak percaya gue, paling dalam hati lo seneng kan, dapet berangkat bareng sama cowok ganteng kayak gino?"

Ah, lo tau aja, Sri. Batin Elis.

"Ng-nggak kok." Sangkal Elis.

"Gak percaya gue," kata Sri sambil mengambil buku pelajaran karna jam pertama akan segera di mulai.

"Terserah lo deh." Balasnya, lalu Pak Wijaya tiba di kelas dan pelajaran pun dimulai.

                                   ***

"Yes! satu maret," seru Seth saat melihat kalender yang di gantung di dekat papan.

"Wah udah maret! Wah. Wah," membuat Dodo jengah.

Awal tahun ini, biasanya Dodo dan ke- empat temannya akan kembali membuat permainan semacam the rules, tapi secara bergilir yang sudah di tentukan pada bulan januari dan bulan ini adalah giliran Marko. Permainannya cukup mudah. Mari Marko jelaskan terlebih dahulu.

The rules ini berisi tiga hal, biasanya harus ada target ( yang pastinya cewek ), tembak ( bukan pakek pistol ya😀), dan putus. Permainan ini akan dilangsungkan selama seminggu. Jika salah satu pemain tidak melakukan ketentuan di atas, maka pemain itu akan di beri hukuman.

"Target pasti Elis, nih?" tanya Jefri sambil menaik - naikkan alisnya.

Dodo mendengus. "Gue nggak nargetin siapa - siapa."

"Kok gitu?" Protes Seth.

Mata Dodo berubah tajam sewaktu meneruskan, "Lupa soal tamparan dan tonjokan Desi di pipi sama di hidung Aldo?"

Semuanya berawal di bulan januari, berhubung Aldo lahir di bulan Januari, jadi Aldo lah pemain pertamanya. Dia menargetkan Desi cewek cantik namun galak dari kelas XII IPS. Aldo berpacaran dengan Desi. Begitu Aldo mengaku tentang the rules dan sebagainya, Aldo dihadiahi tamparan  dan tonjokan tepat dihidungnya oleh Desi. Gara - gara itu, hidung Aldo sampai berdarah dan nyaris patah.

Semua nyengir, termasuk Aldo. Aldo bergelitik ngeri saat mengingat masa - masa itu, seraya mengelus - ngelus hidungnya.

Dodo mendengus lagi. Kebiasaannya saat kesal. "Karena itu, gue nggak mau."

"Oke, terus?" tanya Aldo, berniat untuk mengorek rencana Dodo.

"Ya, nggak terus - terus." Dodo mulai cemberut.

"Ya, kali." Celetuk Jefri dan Seth bersamaan.

Dodo sadar semua teman - temannya  akan terus memberondonginya dengan pertanyaan menyudut. Menghela nafas, Dodo pun berdiri dan beranjak pergi dari kelas.

Jefri memprotes. "Mau kemana lo?"

"Kemana kek," jawab Dodo jengkel.

Untuk sekarang Dodo benar -benar butuh pergi. Butuh sendiri. Apalagi ini soal perasaan, Dodo kurang suka jika perasaannya didiskusikan seolah itu adalah bahan perbincangan yang menarik.

"Mending pergi aja," pikir Dodo geram.

Dodo melangkah menuju perpustakaan, tempat paling tenang di sekolah. Dia duduk di meja paling pojok lalu mengambil buku tulis dan pulpen yang entah siapa pemiliknya. Dodo lalu merobek kertas tepat di tengah - tengahnya. Kemudian menulis sesuatu disana.

G: Dia, Cinta & Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang