TL | Chapter 4

19 3 1
                                    

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan untuk saatnya makan siang. Bila menghentikan pekerjaannya yang sebentar lagi akan selesai. Lalu beranjak menangambil paper bag yang tadi pagi disiapkan oleh ibunya. Makan siang.

Karena Bila bosan di ruangannya sendiri, ia berencana untuk makan bersama Bunga, Silva, Deno dan Rivan.

Sesaat setelah menutup pintu, Bila mencari kira kira dimana letak meja mereka berempat? Dan meja mereka ternyata berdekatan. Untunglah.

Bila berjalan menghampiri mereka dengan tersenyum kala melihat Bunga melihatnya lalu tersenyum. Bila duduk dikursi divisi yang tidak terlalu jauh dari mereka, atau bahkan bersampingan dengan kursi mereka. Mungkin pemiliki kursi yang Bila duduki sedang makan siang diluar.

"Kalian gak makan?" Bila melihat mereka berempat yang saat ini juga sedang memandangnya.

"Gak. Kita selalu bawa bekal dari rumah. Itu lebih menghemat uang dari pada makan diluar. Lo tau kan, kebutuhan di kota ini semakin meningkat, begitu pula dengan harganya yang melonjak" Bunga mengeluarkan tempat makannya.

Bila mengangguk, "Oh iya, yang tadi pagi kemana?" Bila melihat sekelilingnya yang kosong.

Silva seperti sedang berpikir, lalu menjawab, "Yang tadi pagi? Oh si Mona sama Kina? Ngapain lo nanyain dia?"

"Engga kok, cuman nanyain aja"

"Eh, tadi pagi, gue sebel banget sumpah sama si cabe dua. Di hari pertama lo masuk sebagai ketua, dia nyambut lo kaya gitu? Gak etis banget. Basi" Bunga makan dengan sedikit hentakan, mungkin masih kesal sama Mona dan Kina.

"Gue pengen banget, tuh duo cabe keluar dari kantor ini. Bosen gue kalo harus ngadepin cabe mulu tiap hari. Ucapan pedesnya terlalu pedes buat didengerin. Mereka makan cabe berapa ton ya sehari?" lanjut Bunga.

"Seratus kali?" Rivan menjawab asal.

"Lebih dari itu, Van. Seribu ton sehari" Silva meralat ucapan Rivan.

"Pantesa aja itu mulutnya panas dan pedes. Bawaannya hawa langsung panas kalo kita ada disekitaran mereka, panas kaya di neraka" Bunga mengibaskan tangannya didepan muka.

"Lo pernah ngerasain panas neraka? Berarti pernah kesana dong? Gimana rasanya di neraka? Enak gak? Enak neraka apa surga? Kalo enak neraka gue pengen ke surga, tapi kalo enak surga gue tetep pengen ke surga" Deno memandang Bunga dengan tatapan berbinar.

Bunga memukul kepala Deno, "Bego lo. Lo kira gue apaan? Iblis? Mana gue tau lah di neraka itu gimana. Kalo lo mau tau enakan surga apa neraka lo tanya sama temen lo sono"

"Siapa?"

"Setan!"

"Lo kan temen gue, berarti lo setan dong?"

Bunga tidak mengubris ucapan Deno, karena dia yakin, kalo dia jawab masalahnya gak bakalan kelar kelar. Yang ada waktu istirahat dihabiskan hanya dengan debat unfaedah.

"Yaudahlah jangan dipikirin, mendingan makan. Isi tuh perut kalian, daripada ngisi pikiran kalian sama topik yang gak penting" Rivan berbicara disela sela menguyahnya.

Mereka makan dengan tenang. Tanpa adanya orang lain diruang divisi mereka. Apakah semua orang makan di kantin? Atau cafe bahkan restoran di daerah sini? Terserahlah.

Setelah makanan mereka selesai, mereka membereskan bekas makan mereka masing masing dan kembali menyimpan paper bag itu di laci meja kerja.

"Eh, ada yang mau gak? Aku bawa kue buatan ibu" Bila mengeluarkan tempat kue tersebut dan menyimpannya di atas meja.

Trust LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang