PUTUS ASA

8.5K 1K 27
                                    

"Sayang? Sudahlah."

Dari tadi Azka tak tahan melihat istrinya terus-terusan menangis di sebelahnya.

Sepekan yang lalu Herlambang di kabarkan jatuh di kamarnya dan dilarikan ke rumah sakit.

Sejak saat itu Aira tak henti-hentinya menangis, berhenti, menangis, berhenti dan kembali... menangis.

"Bagaimana aku bisa tenang, Mas? Hiks... orang tua..."

Abeng ajudan Jenderal yang sedang menyupiri mereka juga tak berani melirik istri panglima TNI itu.

Aira kalau sedih mengerikan sekali, pikirnya.

Tangan Azka terulur merangkul pundak istrinya sambil mengusap lembut. "Tidak apa-apa. Semua manusia akan mati..."

"Kok Mas bilang soal mati sih? Hiks..." potong Aira bertambah menangis tak karuan.

Azka cengo untuk sesaat sebelum membenarkan ekspresinya. "Oh, salah ya?" Gumam Azka dengan suara pelan.

Abeng sudah mau ngakak saja.

Pikiran Azka memang sedang kacau sekarang. Antara memikirkan anak yang sedang dalam misi dan mertua.

Tiba-tiba ponselnya berdering dan diangkatnya dengan sigap. Dari mertua perempuannya.

"Wa'alaikumussalam Mah."

"..."

"Alhamdulillah ini sedang bersama Aira."

"..."

Sedetik kemudian Azka menghela napas lega. "Alhamdulillah."

Sontak Aira langsung melirik suaminya itu.

"Ada apa, Mas?" Tanya cepat begitu Azka mengakhiri panggilan.

Bibir suaminya itu tersenyum tipis. "Alhamdulillah Papah sudah sembuh." 

Dan detik itu juga Abeng ingin tutup telinga karena Aira makin histeris.

"Hiks...hiks...hiks..."

Azka makin bingung dibuatnya. "Sayang? Papah sudah sembuh. Papah sembuh, okay?"

Aira tetap geleng-geleng. "Ini...air...mata...bahagia...Mas..."

Pada akhirnya Azka hanya tersenyum getir. Hidup bersama Aira membuatnya harus memaklumi segala tentang perempuan yang dulunya tidak dipahaminya sama sekali. Seperti... sedih juga menangis dan bahagia juga menangis.

👊👊👊

"Papah..."

Herlambang memberi isyarat dengan tangan agar Azka tak membantunya bangun dari ranjang rumah sakit.

"Hahahaha..." Pria beruban itu malah tertawa pelan walaupun langkahnya sudah sedikit bergetar.

Kulitnya pun sudah keriput, posturnya sudah tak segagah waktu muda walaupun pundaknya tetap tegap. Seperti mengenang perjalanan panjang yang sudah dilaluinya sebagai purnawirawan Jenderal.

"Ananda duduk saja di sofa."

Azka belum bergerak karena khawatir tapi Herlambang lagi-lagi mengisyaratkan kepala lagi ke arah sofa.

"Papah bisa sendiri." Senyumnya merekah seolah menenangkan Azka yang akhirnya menurut juga menuju sofa.

Baretnya sudah dilepas dan disisip di bawah pundak.

Setelah bertemu Aira selaku putri bungsunya, Herlambang memang meminta waktu khusus untuk berbicang berdua dengan menantunya itu.

Dengan langkah lemah dia mendorong tiang infus mendekat ke arah sofa lalu duduk disamping menantunya itu. Menatap manik hitam itu agak lama dengan pandangan bangga.

MISSION (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang