Adam masuk ke dalam rumahnya. Mencari saklar lampu lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan meja makan.
Ekspresinya datar saja.
Tidak ada keluarga yang akan menyambut apalagi istri. Dia tak pernah seberani itu membuat komitmen dengan seorang perempuan, lagipula dia tidak paham apa itu cinta yang biasa diartikannya sebagai nafsu semata.
"Harus pergi lagi." Gumamnya.
Sejujurnya dia lega jika ada misi. Kalau tidak sedang berdinas, dia akan termakan rasa kesepian. Makanya itu dia banting setir menjadi playboy beberapa tahun belakangan, tujuannya cuma satu, agar ada teman bercerita. Sesimple itu.
Ponselnya berdering tapi diabaikannya. Dia harus menghindari perempuan-perempuan yang mengaku pacarnya itu untuk saat ini.
Perlahan dia masuk ke dalam kamar dan mengganti baju Kopassus dengan baju loreng tentara pada umumnya.
Mengeluarkan ransel dari lemari lalu memasukan beberapa barang yang dibutuhkan dengan gerakan cepat sambil sesekali melihat jam tangannya.
Pandangannya berhenti melihat sesuatu yang tergantung di dinding kamar.
Sebuah topi loreng yang sudah terlihat usang dan dimasukan dalam bingkai kaca. Di bawahnya tertulis,
"Tetaplah Menjadi Tentara Kebanggaan Bangsa."
Adam mendekat melepaskan topi lorengnya dan menatap bingkai itu dengan pandangan datar.
Sayup-sayup kenangannya bersama keluarganya saat di Timor-Timur terngiang olehnya.
Saat itu dia yang masih berumur empat tahun, kakak perempuannya yang berusia sepuluh tahun, Ibunya serta tak lupa bersama Ayahnya yang berseragam tentara lengkap.
Mereka baru tiba di Dili saat hari sudah sore. Turun dari Lockheed Martin C-130 Hercules.
Dia terlalu kecil untuk tau bahwa Ayahnya yang ditugaskan sebagai Komandan Batalyon (Danyon) saat itu mengalami semacam plonco alias masa orientasi awal.
Alhasil Ayahnya disuruh berlari mengenakan ransel, helm baja lengkap dengan senjata. Berlari dengan beban 25 kg di pundak dan sejauh 15 km untuk menghadap Komandan Korem.
Dia, Ibu dan Kakaknya cuma melihat dari pinggir lapangan saat Ayahnya mendapatkan perintah dengan sedikit bentakan di tengah lapangan.
Tapi sebelum pergi, Ayahnya sempat mendekat ke arah mereka yang masih setia berdiri itu.
Dalam benak Adam cuma satu, dia bangga pada Ayahnya.
"Dinda jangan khawatir, nanti ada mobil yang siap mengantar ke rumah kita disini." Kata Ayahnya dengan nada lembut kepada Ibunya yang saat itu menahan air mata.
Mungkin sudah tau bahwa suaminya akan mengalami hal berat.
Pria itu mencium kening kedua anaknya sebelum berjongkok lalu memegang pundak kedua anaknya dengan bibir yang masih setia tersenyum.
"Kalau ada sesuatu yang aneh, ingat baik-baik pesan Ayah, tiarap dan jangan..."
Kedua anaknya langsung menaruh telunjuk di bibir. "Ssssttttt."
Refleks Ayahnya tertawa pelan. "Bagus." Dia menarik napas masih dengan senyum leganya. "Nanti rumahnya kecil, tidak sebesar rumah kita di Jakarta. Tapi rumah itu tidak penting, yang penting apa?"
"Keamanan negara." Jawab Adam dan Kakaknya kompak.
Ayahnya tersenyum. "Bagus."
Dari hari itulah semua kehidupan mereka di Timor-Timur bermula.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSION (Tamat)
Spiritual#KARYA 3 Bermula dari Israel Magazine yang mengeluarkan sebuah topik yang menggemparkan dengan judul, "THE MONSTER OF ISLAM". Topik yang membuat dunia Zionis ketakutan dan membuat sembilan tokoh iluminati membayar mahal Intelligence Israel sekelas M...