#BIP ( Bukan Istri Pilihan )
Part 4🍀🍀🍀
"Wa'alaikumussalaam ... sebentar."
Aku melangkah cepat menuju ruang tamu dan segera membukakan pintu. Terlihat Naura, adik bungsuku tengah berdiri memucat. Bibirnya gemetar, kedua tangannya saling meremas. Segera kupersilakan masuk dan bertanya, mengapa ia bertamu sepagi ini hingga menggedor pintu begitu keras.
"Ibu, Kak ... ibu." Suaranya parau. Gagap ia berusaha menjelaskan tentang keadaan ibu yang sudah sebulan ini sakit keras.
"Ibu kenapa?" Nadaku melengking, hingga membuat Naura semakin gemetaran.
"Aku dan Kak Risma baru aja membawa ibu ke rumah sakit. Kritis, kemungkinan akan dipindah ke ICU. Kakak kuhubungi dari shubuh nggak jawab juga, maka aku ke sini. Dari shubuh ibu sudah kejang sebanyak sepuluh kali."
Aku mengucap istighfar beberapa kali saat mendengar penjelasan Naura. Ya, sudah sebulan ini ibu terdeteksi mengalami tumor otak. Ada semacam sel ganas yang tumbuh di otak kanannya. Sejauh ini, pengobatan yang kami lakukan hanya alternatif. Sebab, di usia ibu yang telah lanjut, ia amat ketakutan dengan pengobatan medis.
"Ada apa, Mas? Lirih suara Shakeela yang ternyata telah berada di belakangku, tangannya masih juga bergetar tanpa henti.
"Tangan Kak Keela kenapa?" tanya Naura penuh khawatir.
"Entah, sudah dua kali seperti ini. Ibu sakit, ya? Ayo kita ke rumah sakit, Mas.".
Aku mendesah pasrah saat Shakeela ngotot mengajakku ke rumah sakit. Baginya, ibuku sudah seperti ibu kandungnya. Kasih di antara mereka amat terlihat jelas, tak heran bila Keela kadang lebih mengkhawatirkan ibu daripada aku, anak kandungnya sendiri.
Kami bertiga berangkat ke rumah sakit dengan menggunakan mobilku, menerobos jalan yang cukup padat meski masih pagi. Sepanjang jalan, Keela masih memegangi tangannya yang terus bergetar tiada henti.
"Keela, tanganmu masih bergetar sendiri?"
"Iya, Mas. Tapi sepertinya sebentar lagi berhenti. Getarannya mulai melamban."
"Sering begitu Kak Keela?" tanya Naura heran memperhatikan telapak tangan Keela yang bergetar.
"Baru tiga kali, sih, Naura. Kenapa, ya?
"Tremor itu, konsul ke dokter saraf aja."
🍀🍀🍀
Ada sesuatu yang hendak meledak di dalam dada saat melihat kondisi ibu yang menurun drastis dari balik kaca pembatas yang menghubungkan ruang tunggu dengan ICU. Hasil CT Scan pagi tadi baru bisa diberikan nanti siang.
Aku dapat melihat gurat kekhawatiran dari wajah Shakeela, tangannya saling meremas dengan bibir yang terus melafal doa. Shakeela memang betul-betul wanita yang ikhlas, bahkan di tengah kondisinya yang juga sedang tak sehat, ia masih mementingkan kesehatan ibuku.
Terenyuh aku melihat keikhlasannya, tanpa terasa sejuk di hati mengalir tiba-tiba saat terus memandangi wajahnya. Shakeela memiliki alis lebat serupa semut hitam yang berbaris rapi, bulu matanya melengkung panjang, bibir kecil tapi penuh dengan rona serupa buah delima.
"Keela ... kamu lapar?"
"Nggak, Mas."
"Keel ...." Ia terkesiap, saat wajah ranumnya kubingkai dengan kedua tangan, lalu perlahan membelainya dengan lembut.
"Aku ngga lapar, Mas."
"Kamu kan belum sarapan. Yuk, kita ke kantin sebentar, cari makan. Lagi pula, jam besuk belum tiba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Istri Pilihan
RomanceEntah, bagaimana kondisi rumah tangga jika harus menikah dengan wanita yang sama sekali tidak kucinta. Berbekal hormat pada orang tua, aku meninggalkan Sonia--wanita cantik yang telah kupacari tujuh tahun lamanya. Akankah hati ini terbuka untuk seor...