Extra Part

14.5K 827 70
                                    

Klontang.

Riuh suara benda-benda di dapur sedikit membuatku tertawa geli. Entah sejak kapan Mas Andre berubah sedrastis ini. Hampir setiap pagi dan malam, ia selalu memasak untukku, meski rasanya ... hmm.

"Taraaa, udang saus asam manis kesukaan Shakeeka cantik. Sebentar, aku rapihin dapur dulu. Semoga masakanku kali ini cocok di lidah kamu, ya. Kapan lagi, seumur hidup, seorang Andre Saputra yang gagah perwira mau masak. Beruntung kamu lho sayang, ibu aja belum pernah aku masakin."

Suara Mas Andre terdengar amat bersemangat. Hm, aroma masakan yang sepertinya lezat itu begitu menusuk indra penciuman. Tak lama kemudian, ia menyuapiku, telaten sekali.

"Keela kudu banyak makan, biar makin semok." Begitu ucapnya acap kali menyuapiku, sepertinya memang niat membuatku menjadi montok.

"Enak, Sayang?"

Aku mengangguk, dan seperti biasa, kecupan bertubi-tubi mendarat di sekujur wajah kala lidah ini menerima masakannya.

"Kamu kenyang? Jalan-jalan ke taman yuk."

Aku mengangguk senyum.

🏵️🏵️🏵️

Dapst kurasakan sejuknya udara di kawasan ini, aku melaju lamban di atas kursi roda. Duduk manis dan Mas Andre yang mendorongnya. Sesekali, tangannya mampir ke bahu atau pucuk kepala, membelai penuh mesra di sana. Sungguh, impianku sejak lama telah tercapai.

Adakah cara yang lebih indah untuk menggambarkan kebahagiaan ini selain raut wajah ceria serta bibir yang merekah indah? Jika ada, tolong beri tahu aku.

"Keela, kamu suka tempat ini?"

"Suka, Mas." Aku tersenyum, mengusap tangan yang singgah di bahu, memberikan kedamaian.

Sejuknya udara di sekitar villa, tempat di mana Mas Andre membawaku pergi demi menggapai kebahagiaan bersama. Jauh dari keramaian dan bisingnya ibu kota. Jauh dari masa lalu yang suram dan sengsara.

Mas Andre mengajakku keliling villa tempat kami menginap, di kawasan Cisarua, Bogor. Daerah indah nan asri yang paling tepat dijadikan tempat refreshing dari penatnya ujian yang menerpa. Meski aku hanya duduk di atas kursi roda, indahnya kebersamaan ini masih amat tertangkap oleh seluruh indraku.

"Aku bersyukur kamu sehat, Sayang. Demi Allah, aku sangat bahagia."

"Aku juga bahagia, Mas."

Kami berhenti sejenak. Tangan kokoh yang selalu kukagumi itu sekarang sedang memeluk mesra tubuh ini dari belakang. Begitu hangat, rasanya tak ingin melepasnya.

"Kamu tau nggak? Hobi aku sekarang apa, Keel?" Mas Andre bertanya lembut. Lengan kokohnya semakin erat memeluk.

"Apa memangnya, Mas?"

"Memelukmu. Ya ... hobi baruku adalah memelukmu."

Hati kecil berkata, andai kaki ini mampu berdiri tegak. Aku 'kan bangkit dan memeluk serta tubuhmu. Menahannya, dan takkan melepaskannya. Apalagi membaginya untuk siapa pun.

Pelukan itu tak kurasakan lagi. Ia berpindah posisi. Mas Andre kini berada di hadapanku. Kedua tangannya bertumpu pada lututku, lalu menggenggam erat tangan ini.

"Harum nggak mawarnya? Kamu suka?" tanyanya mesra, hingga aku terbuai.

Mawar itu aku sapukan ke bagian pipi. Begitu lembut mahkotanya. Selembut cinta suamiku sekarang.

"Keel ... kamu lelah? Kalau ya, kita ke vila sekarang.

"Nggak, Mas." Aku menggeleng.

"Perutmu semakin membesar, Sayang. Nggak sabar menanti kehadiran malaikat kecil kita."

Aku terenyuh karena tangan itu kini berpindah ke perut. Mengusapnya perlahan. Gerak halus terasa di dalam perut. Sepertinya, satu nyawa di dalam sana menggeliat bahagia, sebab mendapat sentuhan dari sang ayah.

Mas Andre masih mengusap perutku, sesekali menciumnya. Sungguh, rasa bahagia tak terkira. Jika ternyata, momen istimewa yang selama ini ada dalam angan, sekarang menjadi nyata.

Wajahnya masih ia letakkan di atas punggung tanganku. Terasa basah di sana. Mungkin air matanya yang telah jatuh entah sejak kapan.

Air mata itu yang tak mampu kulihat. Air mata yang nyatanya hanya mampu kurasakan melalui indra peraba. Mas, aku mencintaimu. Andai kamu tau segala isi hati yang tak sanggup aku utarakan lagi semenjak pita suaraku rusak.

Mungkin, saat ini ... aku tak lagi mampu memandang wajah rupawanmu. Tak lagi mampu berbicara denganmu. Bahkan, mendengar pun harus dibantu dengan alat bantuan. Akan tetapi, percayalah, cintaku tak pernah pudar.

Jika aku boleh memilih, satu di antara seribu lelaki. Maka orang itu adalah kamu. Terima kasih telah menemaniku suka dan duka. Terima kasih telah menerimaku apa adanya.

"Keela, pita suaramu mungkin sudah tidak berfungsi, tapi aku mampu mendengar suara hatimu. Keela, matamu mungkin sudah tak berguna lagi, tapi yang kamu alami sekarang lebih dari sekadar melihat, tapi merasa. Bukankah perasaan lebih dalam daripada penglihatan? Aku cukup beryukur, alat bantu pendengaran yang kamu pakai bisa memudahkan komunikasi kita. Setidaknya, kamu percaya, bahwa aku tak pernah lelah untuk berucap i love you."

Aku mampu merasakan, kala jemarinya menyentuh kedua sudut mataku, menyeka sesuatu yang basah di sana. Segala rangkaian kalimatnya begitu membuatku haru. Andai bisa teriak, aku akan berkata bahwa hati ini tak pernah menyesal memilih dan mempertahankannya.

"Kamu mendengarku, Keel?" Aku mengangguk.

"Kamu cinta sama aku?" Aku mengangguk semangat, lalu meraba tangannya. Kedua tangan itu kuletakkan di pipi, dan menciupnya bertubi-tubi, sebagai isyarat bahwa cinta ini benar-benar tulus dari hati.

"Makasih, Keel. Tapi, aku jauh lebih mencintaimu. Bidadari pilihan Allah yang tak pernah pudar kecantikannya, sebab terlahir dari hati."

Tangisku semakin jadi, meski ia tak mampu mendengarnya. Bagaimana bisa meraung? Terisak pun tak sanggup, sejak lubang di leher ini merusak pita suaraku. Biarlah air mata ini yang bicara, disambut senyum manis yang kuberikan padanya.

"Terima kasih, Mas. Sudah mencintaiku apa adanya. Meski aku tak lagi seperti dulu. Berkaki, tapi tak mampu menapak. Bermata, tapi tak mampu melihat, dan bermulut, tapi tak mampu berbicara."

Tawa Mas Andre terdengar lembut di telinga. Diberikannya sebuah buku dan pensil untuk mempermudah komunikasi kami. Pelan-pelan aku meraba, lalu menulis di kertas itu.

'Aku sayang kamu, aku rindu melihat wajahmu.'

Entah bagaimana rupa tulisanku. Meski tak lagi melihat, tapi berbagai bentuk huruf masih kuingat jelas.

Lagi, tawa kecil Mas Andre terdengar lembut. "Fokus melahirkan dulu, ya, Keela sayang. Nanti, selepas melahirkan, kita ke dokter spesialis mata."

Terima kasih, Allah. Aku semakin yakin akan janji-Mu, bahwa segala bentuk masalah yang Engkau berikan, sudahlah pasti sepaket dengan kebaikan yang menanti setelahnya. Fabiayyi 'alaa 'irobbikuma tukadzdzibaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Istri PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang