#BIP (Bukan Istri Pilihan)
Part 8
Detik ini juga, aku membawa Shakeela ke UGD. Sakit yang ia rasa semakin tak tertahankan. Sebentar hilang, lalu timbul lagi. Memiliki ibu yang terserang tumor otak, membuat rasa khawatirku kian membuncah. Aku takut jika Shakeela mengalami hal yang sama serupa ibu.
Tubuh mungil ini kugendong mesra, sembari melangkah ke mobil. Kedua tangan putihnya melingkar di leherku, pun dengan sepasang mata kami yang terus bertatapan. Getar cinta terus menggelora. Aku tak mampu menampik lagi, Shakeela telah merenggut hati tempat Sonia bertahta sebelumnya.
Mobil kami melaju dengan cepat. Melewati jalanan yang lengang, sebab kami berangkat di saat manusia belum beraktivitas. Shakeela terus mengaduh, menahan sakit kepala yang tengah ia rasa.
"Mas, kenapa makin sakit, ya?" Shakeela masih mengaduh sambil memegangi kepalanya.
"Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai."
Akhirnya, tibalah aku di depan UGD Rumah Sakit Cemara. Segera kugendong tubuh Shakeela memasuki UGD yang terletak tepat di depan rumah sakit, menghadap persis ke arah jalan raya.
Sementara dokter jaga menindak Shakeela, aku pun mengurus administrasinya. Tak butuh waktu lama, tidak ada antrean sebab rumah sakit pun memang masih sepi. Aku kembali ke UGD, melihat perawat sedang memeriksa tekanan darah dan laju pernapasan Shakeela yang meninggi. Tensi darahnya naik dengan nilai acuan 140/80 dan laju pernapasan tiga puluh kali per menitnya. Jelas itu nilai yang tidak baik.
Atas kondisi klinis yang dialami Shakeela, dokter menyarankan Shakeela dirawat di rumah sakit, dengan tujuan akan dilakukan observasi lanjutan dan pemberian obat.
Kini pikiranku bercabang, ibu yang sakit, keluarga Sonia yang terus menelepon, dan ... Shakeela—istri yang baru kucintai belum lama ini.
"Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok." Dengan yakin aku berbicara pada dokter jaga yang menangani Shakeela. Shakeela memandangku haru, tangan kami saling meremas. Lagi ... getar cinta amat terasa setiap kami bersentuhan.
Shakeela meringis kecil saat jarum tersebut menembus pembuluh baliknya. Aku berusaha menenangkannya dengan memberikan usapan di kening. Ia nampak senang, matanya ikut terpejam.
"Mas, aku pernah membayangkan hal ini, tapi ...." Ia menghentikan ucapannya.
"Tapi apa, Sayang?" tanyaku seraya terus meremas jemarinya.
"Aku berharap pergi ke rumah sakit, lalu dirawat, bukan karena sakit. Melainkan ... karena melahirkan bayi kita." Wajah Shakeela yang pucat pasi semakin terlihat tak bersemangat. Aku tahu hatinya sedang kecewa saat ini.
"Kita akan punya bayi, Sayang. Dan saat ini, kamu hanya kelelahan dan banyak pikiran. Percayalah padaku, nggak akan terjadi sesuatu yang buruk."
Ponsel di atas nakas terus berdering. Nama Sonia tertera di layar. Ada rasa malas untuk mengangkatnya, entah apa yang diinginkan wanita itu saat ini.
"Angkat, Mas. Sonia, kan?"
"Iya."
"Angkat, Mas. Aku pun ingin tau dia bicara apa?"
Aku mengiyakan dengan pasrah permintaan Shakeela. Ponsel di nakas yang telah berhenti berdering tersebut segera kuraih. Lalu menelepon balik dirinya.
[Ya, Son.]
[Mas, bisa ke sini? Perutku sakit sekali.] Sonia berucap di telepon. Suaranya memang terdengar pelan dan sedikit merintih.
[Kamu kenapa? Belum makan mungkin.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Istri Pilihan
RomanceEntah, bagaimana kondisi rumah tangga jika harus menikah dengan wanita yang sama sekali tidak kucinta. Berbekal hormat pada orang tua, aku meninggalkan Sonia--wanita cantik yang telah kupacari tujuh tahun lamanya. Akankah hati ini terbuka untuk seor...