Sepucuk Surat

104 22 11
                                    

Bibir itu tersenyum manis. Menampakan gigi-gigi putihnya yang tersusun rapi. Kulit sawo matangnya mengkilap akibat sinar matahari. Tampan? Tentu saja tidak. Dia tidak tampan namun, memiliki senyum yang manis. Senyum yang membuatku nyaman. Tidak seperti kebanyakan lelaki di luaran sana.

"Jam."

Kutatap Taufik tajam. Namun dia hanya menyunggingkan senyuman manisnya.

"Mila," tekan ku

Taufik hanya tersenyum dengan mengacak rambut ku. Satu kebiasaannya sejak kami bersahabat.

"Jam sama Mila sama aja, kok. Jamila kan nama kamu. Jadi, nggak salah dong," sahutnya santai

"Taufik!"

"PMS, ya? Galak amat."

Kualihkan pandanganku kearah taman sekolah. Mataku menangkap dua sosok manusia yang tengah mengobrol. Iri? Tentu saja aku iri. Di usiaku yang ke-lima belas tahun tidak sekalipun aku merasakan yang namanya pacaran. Yang nembak? Tentu banyak. Bahkan saat baru pertama kali menginjakkan kakiku di SMP Ashabul Kahfi, sudah ada dua anak lelaki menyatakan cinta padaku. Kakak kelas dan teman seangkatan denganku. Mereka tampan? Biasa-biasa saja. Tidak jelek dan tidak tampan. Tapi, entah kenapa aku tidak menerima. Bukannya aku sok cantik tapi, aku masih takut untuk pacaran waktu itu. Kalau ditanya sekarang ingin pacaran tentu aku akan menganggukan kepalaku. Namun sayang, pria yang membuatku nyaman sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia menyukaiku. Sedih rasanya. Seharusnya aku tidak membangun persahabatan dengan lawan jenis. Karena tidak memungkinkan untuk memiliki perasaan. Aku terjebak. Sungguh. Persahabatan dengan Taufik membuatku menginginkan lebih. Lebih hanya sekedar sahabat.

"Jam."

Kutatap Taufik kesal. Dia selalu memanggilku dengan panggilan 'Jam'. Ketika aku bertanya kenapa dia selalu memanggilku dengan panggilan itu jawabannya selalu sama. Ingin berbeda dari yang lain. Baiklah, aku menganggap itu sebagai panggilan sayang dia padaku.

"Hmmmmmm. Liatin orang pacaran, ya?" ejeknya

Selalu seperti itu. Dia pasti akan mengejekku karena aku jomblo. Padahal dia juga jomblo.

"Bilang aja kamu cemburu sama Firdaus," ejekku

Satu fakta mengejutkan. Taufik pernah menyimpan perasaan kepada Fauziyah, yang kini menjadi kekasih Firdaus. Itu sebelum kami dekat.

"Cemburu?" ejeknya

Satu fakta lagi tentang Taufik. Dia paling suka mengejekku. Kesal? Tentu tapi, kadang membuatku tersenyum. Entah apa yang ia perbuat padaku. Semua yang menyangkut Taufik aku pasti menyukainya.

"Jam," panggilnya lagi

Aku hanya mendehem sebagai respon.

"Nanti malam ikut, yuk," ajaknya

"Nggak!" jawabku cepat

"Yahhh."

"Emang mau kemana?"

"Jalan-jalan aja. Aku beliin bakso, deh."

"Nanti malam aku sibuk," tolak ku

Mulut munafik. Bohong aku tidak mau jalan bersamanya. Sungguh hatiku bersorak mengiyakan ajakannya. Terlanjur. Tapi, aku yakin dia akan membujukku.

"Ya udah."

Kutatap wajah Taufik tidak percaya. 'Ya udah' beneren itu perkataan yang keluar dari mulut Taufik? Kok nggak bujuk aku, sih. Kan ngeselin.

"Ya udah?" beo ku

Ingin rasanya aku menampar mulut bodohku. Seakan aku tidak percaya dia tidak membujukku. Baiklah aku mengaku. Aku memang tidak percaya dia tidak membujukku.

Kumpulan Cerpen Lentera Aksara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang