2

304 5 0
                                    

Jangan lupa Vomment

Happy Reading ^_^

___________________________________
 

Malam Bersama Bapak

Delapan tahun lalu Dara hanyalah gadis kecil berusia sepuluh tahun yang begitu dekat dengan sang ayah. Baginya, bapak adalah segalanya. Bukannya ia tak menyayangi ibunya. Hanya saja eksistensi sang ayah dihatinya sedikit lebih besar dari ibu.

Kemudian saat bulan purnama bersinar dan langit bersih dari awan, Dara dan sang ayah duduk diteras rumah. Diatas sofa tua yang busanya sudah tercecer dimana-mana. Sejujurnya, keduanya sering seperti ini. Dara yang memeluk sang ayah sembari bercerita di ketenangan malam yang damai dan sang ayah yang dengan sabar mendengarkan dan sesekali menanggapi.  Terkadang suara derik jangkrik atau bangkong mengisi suara untuk memecah hening.

Dara ingat, saat itu pertengahan Maret dengan bulan purnama yang menggantung di langit serta bintang-bintang kecil mengelilingi, ayahnya berpamitan untuk pergi sangat jauh.

Gadis itu menanggapi dengan santai layaknya sang ayah hanya akan pergi selama beberapa jam untuk bekerja kemudian kembali lagi kerumah dengan permen manis ditangannya. Hanya sebatas itu.

Tapi kemudian permintaan sang ayah membuatnya tersadar jika ada sesuatu yang janggal.

"Nanti kalau bapak pergi, Dara bantu ibu jaga Bima sama Gea, ya. Dara harus jadi kakak yang baik. Juga harus nurut apa kata ibu. Kasihan ibu kalau jaga Bima sama Gea sendirian." Tutur sang ayah.

Dara dengan wajah polosnya mendongak menghadap sang ayah, "Iya. Dara nanti jadi kakak yang baik untuk Bima sama Gea."

Sebuah pujian dan usapan ia dapatkan dari sang ayah. Sederhana, tapi membahagiakan. Memang apalagi yang lebih membahagiakan dari pujian orang tua.

"Bapak perginya sebentar 'kan?. Gak lama seperti dulu lagi." Tanyanya polos. Dipikirnya sang ayah hanya akan pergi paling lama seminggu. Dulu ayahnya pernah berpamitan untuk pergi jauh juga. Seminggu penuh ayahnya pergi tanpa ada kabar sama sekali. Dara sempat menangis berhari-hari karena ayahnya tak kunjung pulang. Kemudian saat mentari terbenam dan presensi sang ayah tak juga hadir, Dara hampir kembali menangis. Hampir, karena sebelum itu terjadi, Dara mendengar ketukan pintu. Wajah sendunya berubah bahagia ketika melihat sang ayah berdiri di depan pintu dengan tas ransel yang cukup besar menggantung dipunggungnya.

Mendengar itu, Bapak kembali mengusap kepala sang anak. Kurva tipis terbentuk diwajah letihnya. "Bapak juga gak tau. Tempatnya jauh. Lebih jauh dari yang dulu. Jadi pasti akan lama."

Dara merengut. Itu bukan jawaban yang ingin ia dengar.

"Sejauh apa?."

"Sebrang pulau."

"Itu jauh sekali ya, Pak?."

Ayahnya mengangguk, "Iya. Jauhhhh sekali. Dara belum tahu itu dimana."

Dara mendongak, "Memang Bapak sudah tau?."

"Ya belum juga." Jawabnya sembari terkekeh kecil.

"Tapi Dara mau tahu kemana Bapak pergi."

"Dara tidak perlu tahu bapak pergi kemana. Yang Dara harus tahu, bapak pergi jauh untuk Dara, Ibu, Bima, dan Gea. Sejauh apapun bapak pergi, bapak pasti pulang untuk kalian. Nanti kita makan ketupat bareng-bareng lagi." Jelas sang ayah.

"Dara gak boleh ikut Bapak aja?." Wajahnya memelas. Berharap sang ayah mau menurutinya.

Ayah tersenyum teduh. Senyum yang selalu menjadi hal yang paling dirindukan oleh Dara ketika sang ayah pergi.

"Kalo Dara ikut Bapak, trus yang jaga Ibu dan adik-adik siapa?."

Mata Dara memerah. Bibirnya mencebik. "Tapi Bapak nanti yang jaga siapa?."

"Bapak sudah besar. Bisa jaga diri. Dara juga sudah besar 'kan?." Gadis kecil itu mengangguk. "Nah, karena itu Dara harus jaga adik-adik. Dara bisa 'kan?."

Kembali gadis itu mengangguk. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Sungguh, ia masih belum sanggup jika harus jauh dalam waktu tak tentu dengan sang ayah.

Kemudian, percakapan malam itu berakhir dengan kalimat semangat serta usapan lembut dari sang ayah. Sesekali ayahnya mengecup kening untuk memberikan tanda betapa sayangnya ia pada sang sulung.

Dan percakapan panjang malam itu, adalah sebuah memori indah yang harus ia simpan jika saja ia rindu pada sosok sang ayah. Karena percakapan itu merupakan percakapan hangat terakhir selama delapan tahun belakangan.

Jadi dengan alasan itu, Dara selalu tersenyum manis dan miris secara bersamaan dikala menatap pantulan purnama. Karena saat purnama lah kenangan terakhir bersama sang ayah tercipta dengan begitu manis.

Re-up

Kra, 11- 05 -2020

Lebaran Bersama BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang