6

126 2 0
                                    

Jangan lupa Vomment

Happy Reading ^_^

_________________________________

Bantuan Untuk Mbak Dara

Setiap malam sebelum tidur, Bima selalu berpikir, bagaimana caranya untuk membantu sang kakak?. Dia laki-laki, harusnya dialah yang mencari penghidupan. Dan bukan kakaknya.

Bima itu lebih sering diam untuk berpikir. Bagaimana caranya untuk membuat kakaknya bahagia. Dia tahu jika kakaknya lelah. Tapi setiap kali ia berkata untuk berhenti sekolah dan ingin membantu sang kakak, anak itu justru akan mendapat sahutan datar.

"Biar Mbak yang kerja. Kamu sekolah yang bener. Jangan berpikir macam-macam. Kamu gak mau 'kan lihat Mbak sedih karena melihat kerja keras Mbak dan ibu selama ini untuk menyekolahkan kamu sia-sia?. Suatu saat, kamu dan Gea harus jadi orang yang berguna. Itu sudah cukup untuk Mbak."

Dan setelah itu Bima terbungkam.

Dengan alasan itu, setiap pulang sekolah Bima diam-diam pergi ke pasar dekat sekolah untuk bekerja menjadi kuli panggul. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi setidaknya bisa sedikit membatu untuk membeli peralatan sekolahnya. Sejauh ini kakaknya tidak mengetahuinya. Masih belum untuk sekarang.

Meskipun sekolah telah memasuki waktu liburan, itu tidak menjadi alasan Bima untuk tidak bekerja.

Setelah memastikan kakaknya telah pergi untuk bekerja, tak lama kemudian Bima menyusul.

Bukan hanya Dara, Gea pun tidak tahu tentang pekerjaan yang dilakukan Bima. Karena setiap akan pergi, pamit Bima adalah ingin belajar di rumah temannya. Gea itu masih polos, jadi ia percaya saja.

Hari ini pekerjaannya cukup berat. Banyak orang yang menggunakan jasanya. Mungkin karena sebentar lagi lebaran jadi semua orang sedang gencarnya untuk memborong.

Uang yang didapat lebih dari biasanya. Mudah-mudahan ini bisa membantu kakaknya.

Mentari sudah semakin meninggi. Pengunjung pasar juga mulai menyusut. Dengan senyum lebar Bima duduk di salah satu emperan toko yang sudah tutup. Tangan bergerak menghitung uang  yang ia dapat hari ini. Ini lebih banyak dari biasanya.

Saat akan beranjak pergi, tiba-tiba tiga orang laki-laki yang kira-kira berumur dua atau tiga tahun diatasnya datang menghadang. Sepertinya mereka pemalak. Wajahnya menyeramkan.

"Siniin duit lo." Seru seorang anak berbadan tambun yang Bima pikir adalah sang pemimpin.

"Gak mau. Ini uang aku." Tolak Bima sambil menyembunyikan uangnya dibalik tubuh.

Anak bertubuh cungkring menyahut, "Alah, kita gak peduli. Kasihiin gak!. Atau lo mau kita hajar sampai mampus?!."

Bima ketakutan. Tubuhnya beringsut mundur. Biar bagaimana pun Bima tidak bisa berkelahi. Kakaknya tak pernah  mengajarkan untuk itu. Lagi kalau ia bisa, ia pasti akan tetap kalah. Mereka bertiga sedangkan dia sendirian.

"Gak mau!." Setelah itu Bima berlari secepat yang ia bisa.

Hari ini terik. Ditambah ia puasa dan kelelahan. Tubuhnya tidak sanggup.

Kemudian saat sampai di jembatan penyebrangan, kaki Bima memilih menyerah. Tubuhnya tersungkur.

Ketiga anak itu masih mengejar ternyata.

Sontak saja ketiga anak itu senang bukan main saat melihat lawannya jatuh tak berdaya. Dengan senyum remeh mereka berdiri mengelilingi Bima yang masih terduduk. Kakinya lemas.

"Mau kabur kemana lo, ha?. Lo gak bisa lari lagi." Ucap si anak cungkring.

"Kesiniin duitnya." Perintah si ketua.

Bima menggeleng sambil menyembunyikan uangnya. Itu untuk kakaknya. Ia bekerja sampai kepayahan itu untuk sang kakak. Jadi ia tak akan membiarkan anak berandal itu mengambilnya begitu saja.

Karena geram, anak-anak itu langsung memukuli tubuh Bima secara membabi buta. Dengan kedua tangannya, Bima berusaha melindungi kepalanya. Tapi tetap saja, mereka bertiga dan ia sendiri. Jadi mau bagaimana pun ia melindungi diri pasti ujungnya tetap nyaris sia-sia.

Disisi lain, Dara yang sedang beristirahat di tangga penyebrangan mendengar suara gaduh dari atas. Biasanya jembatan ini memang sepi saat jam-jam siang seperti sekarang. Apalagi ini puasa.

Jadi dengan mengikuti rasa penasarannya, Dara melangkahkan kakinya ke atas.

Matanya membola saat melihat tiga orang anak memukuli seseorang yang tersungkur. Dengan mengumpulkan keberanian, Dara berteriak.

"Hei, ngapain kalian?!."

Mendengar teriakan itu ketiganya menoleh. Si badan gembul menyahut, "Gak usah ikut campur lo. Jangan sok jadi pahlawan."

Dara tak menggubris. "Pergi gak. Kalo gak gue teriak, nih."

Saat akan berteriak ketiga anak itu memilih untuk pergi.

"Ck. Pergi aja, yuk. Ribet ntar urusannya." Kata anak yang paling hitam diantara ketiganya.

Melihat kepergian si anak berandal, Dara langsung berlari menghampiri orang yang tadi dipukuli.

Dara tersentak. Itu Bima, adiknya. Wajahnya lebam, hidungnya berdarah, dan air matanya menetes deras. Tangannya masih erat menggenggam uang hasil jerih payahnya.

Dengan kepayahan, Dara membopong tubuh lemah adiknya sampai di rumah. Untung Bima tidak sampai pingsan. Jika sampai seperti itu pasti Dara akan semakin kalang kabut.

Setelah sampai di rumah, Dara langsung membaringkan tubuh sang adik. Meminta Gea untuk menyiapkan air hangat dan kain bersih sementara dirinya berlari tunggang langgang ke apotek terdekat.

Beberapa menit kemudian Dara sampai di rumah dengan napas tersenggal. Dengan perlahan ia membersihkan darah dan kotoran yang melekat di wajah dan tubuh sang adik kemudian baru ia olesi dengan obat merah dan perban. Setelah itu Dara memerintahkan Bima untuk beristirahat.

Sebenarnya Bima ingin menjelaskan pada kakaknya. Ia takut kakaknya marah. Karena tanpa bertanya pun, uang yang Bima genggam sudah dapat menjadi jawaban mutlak. Tapi sayangnya ia tidak bisa. Tubuhnya lemas.

Gea pun tidak bertanya apa-apa. Anak itu hanya berdiri di ambang pintu dengan raut wajah sedih.

Ketika malam menjelang, keadaan Bima sudah lebih baik. Tubuhnya masih sakit, tapi tidak selemah tadi siang.

Dengan langkah ragu Bima menghampiri sang kakak di teras rumah. Ia berdiri dengan wajah menunduk. Tangannya yang gemetar terarah untuk memberikan uang yang tadi siang ia jaga mati-matian.

Melihat itu Dara berdiri menghadap sang adik. Wajahnya datar tak berekspresi. Tangannya terulur untuk mengambil uang yang disodorkan sang adik.

"Maaf." Desis Bima dengan suara parau. Adiknya pasti menangis.

"Terimakasih. Sekarang kamu istirahat." Dara mengusak kepala Bima lalu setelah itu masuk kedalam rumah.

Bima menangis. Inginnya hanya meringankan beban sang kakak, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Bima tahu kakaknya marah dan kecewa. Dara jarang, bahkan tidak pernah marah. Marahnya Dara itu diam. Dan itu justru membuat Bima takut setengah mati.

Bima cuma mau bantu Mbak Dara. Maaf kalau Bima buat Mbak Dara sedih.

Re-up
Kra, 20-05-2020

Lebaran Bersama BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang