Someone from the Past

669 109 82
                                    

-Yogyakarta

Dua minggu setelah kejadian Mulyono


"Ada perkembangan soal kasus Razek?" tanya Kapolda pada Karis.

"Belum ada hal berarti. Beberapa kali ada laporan orang melihatnya di Maluku, Pontianak, dan Jakarta tapi nihil. Mereka hanya mirip," jelas Karis.

"Jangan terlalu emosional, Ris. Saya tahu masa lalu kamu tapi pekerjaan ini butuh emosi yang stabil agar bisa berpikir jernih dan memberi keputusan terbaik," ucap Kapolda.

"Saya tahu," jawab Karis sambil menunduk. Kapolda menepuk bahu Karis kemudian keluar dari ruangannya. Meninggalkan Karis yang mematung didalam ruangan ber AC berukuran 4x5 yang dipenuhi foto para Kapolda yang pernah menjabat disini.

Dia memandangi foto yang terpasang berjarak empat foto dari foto Kapolda sekarang kemudian menghela nafas. Rasanya luka itu belum sepenuhnya sembuh. Bayangan kelam masalalu masih terlihat nyata menghantui Karis. "Karis akan membayar semuanya, yah. Karis janji sama ayah, mbak Kinta, dan ibu. Karis akan ungkap semuanya,"  gumam Karis pelan pada foto bertuliskan Irjen. Pol. Mukti Widjaja, M.H. 2005-2007. Karis tertunduk. Matanya memanas tapi dia tidak mau meloloskan sebulir air mata pun.

***

-Bandung

Desember 2006

(Karis point of view)

Ajudan pribadi ayah menjemputku di sekolah setengah jam yang lalu sebelum akhirnya aku sampai di bandara dan memasuki pesawat ini. Dia tidak mengatakan apapun. Hanya menjawab "Bandung", saat aku bertanya kemana kita akan pergi. Tidak ada seorangpun yang menjelaskan padaku kenapa kita harus ke Bandung dengan mendadak bahkan sampai harus menjemputku di sekolah. Padahal belum lama ini ibu bilang kalau aku harus menjaga nilai ku agar aku bisa dengan mudah masuk Akademi Kepolisian setelah lulus SMA. Tapi kenapa mereka justru menjemputku saat aku berusaha serius belajar di sekolah.

Ibu yang biasanya menjadi tempatku bermanja-manja dan bertanya apapun, sekarang hanya sesegukan dan seseakali menyeka air matanya dengan tisu. Disampingnya, ada Bu Dini, polwan yang selama ini dekat dengan keluarga kami. Sedangkan Ayah wajahnya begitu abstrak. Dia tidak memiliki ekspresi hangat seperti biasanya. Matanya berkaca-kaca seperti menahan tangis.

Sesampainya di Bandung, semua masih tidak menjelaskan padaku tapi aku ketahui arah mobil kami menuju jalan dekat kos mbak Kinta. Aku tahu karena kami ke Bandung hampir setiap bulan untuk mengunjungi kakak perempuanku itu. Mungkin mbak Kinta sakit jadi kita sekeluarga harus menjemputnya, batinku menyimpulkan sendiri. Tapi keadaan yang aku lihat setelah sampai di kos mbak Kinta justru berbeda. Kos mewah dua lantai itu sudah dipenuhi polisi bahkan ada satu mobil ambulans disana.

Ibu menangis histeris melihat sesosok mayat wanita yang keluar dari sebuah kamar yang aku ketahui persis itu kamar mbak Kinta. Aku terhenyak berusaha berpikir segala kemungkinan yang terjadi disini. Ibu semakin histeris kemudian pingsan dipelukan ayah. Sementara aku, mematung menatap paramedis memasukkan mbak Kinta ke dalam ambulans. Mataku tidak beralih bahkan sampai ambulans itu pergi.

"Pagi ini penghuni salah satu kos mewah di Bandung, di kejutkan dengan penemuan sesosok mayat wanita berusia pertengahan dua puluh tahun dengan mulut berbusa. Mayat wanita berinisial K A W ini dikenali sebagai putri salah satu Kapolda. Diduga kuat, wanita tersebut tewas karena overdosis," sayup aku dengar seorang reporter sedang menyiarkan berita live mengenai kejadian ini.

Lututku langsung lemas tak bisa lagi menopang berat badanku. Aku terduduk didekat pohon rambutan menangis sejadi-jadinya. "Mbak Kinta!", teriakku dengan air mata yang deras mengalir. Ajudan ayah yang tadi menjemputku di sekolah memapahku.

Beyond the Mission (Sudah Terbit- Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang