18; gerbong penghubung luka

527 80 0
                                    

"Wan, kapan-kapan ajak aku naik kereta ya," ujar Rain dengan suara yang keras.

Awan dan Rain menatap ke bawah. Melihat jalanan yang sudah ramai. Dengan klakson yang saling bersaut-sautan, "Nanti kalau lulus sekolah kuajak ke Jogja. Naik kereta biar kamu senang."

"Beneran ya! Janji."

"Iya Janji."

Stasiun kota sudah ramai di pagi hari. Rain sampai tengelam dalam lautan manusia. Mungkin sebagian tergesa-gesa berangkat kerja. Begitu juga Rain, tergesa-gesa mengejar harapnya.

Rain menelusuri gerbong kereta. Mencocokkan nomor duduknya. Di sebelahnya sudah ada perempuan yang mungkin berumur sama dengannya. Rain tersenyum ramah yang dibalas perempuan yang sedang sibuk dengan novel bacaannya.

Sepertinya Rain tidak asing dengan buku yang perempuan itu baca. Merasa yakin Rain tersenyum. Masih ada juga yang mau membaca karyanya.

"Dua kali aku membaca novel karya kamu. Dua kali juga aku sakit hati lagi. Sebegitu berharapnya kamu sama seseorang itu?" ujar perempuan yang berada di samping Rain.

Mata Rain menatapnya. Rain tidak punya jawaban. Pada kenyataannya memang benar. Rain berharap dengan Awan.

"Berharap itu boleh. Tapi, jangan terlalu sering nanti malah sakit hati." ujarnya lagi.

"Namanya juga manusia. Hidupnya hanya ada dua, berharap sama memberi harapan. Jadi, siklus hidup nggak bisa dirubah, "jawab Rain.

Perempuan itu tersenyum, menambah cantik raut wajahnya, "Beruntung aku jadi naik kereta hari ini. Kalau enggak, enggak bakal aku bisa sebelahan sama kamu, Rain."

"Namaku Febi," ujar Febi.

Keduanya kembali diam. Rain mengamati jalan yang di lalui kereta api itu. Jalan yang mungkin juga Awan lalui dulu. Sayangnya keduanya tidak bisa melaluinya bersama.

"Rain, aku mau minta maaf belum bisa ngajak kamu naik kereta. Uangku belum cukup," ujar Awan membuat Rain mengerucutkan bibirnya.

Rain melihat botol plastik yang bertuliskan 'kereta untuk Rain', "Wan, maaf buat kamu susah terus. Nanti kalau aku udah punya kedai kopi, kamu aku teaktir kopi sepuasmu."

"Kirain kamu yang bayarin kereta."

"Itu sih tugasmu," keduanya tertawa. Sampai-sampai mereka ditegur satpam akibat menghalangi jalan keluar.

Di sebelah Rain ada Febi yang dari tadi mengamati raut wajah Rain. Rain sendiri sampai lupa kalau ia tengah berada di tempat umum di temukan dengan keadaan melamun.

"Kamu punya tempat tinggal di Jogja?" tanya Febi yang membuat Rain sadar.

Rain mengelengkan kepala. Ia tidak punya kenalan di sana. Rain hanya ingin mencari Awan, menanyai kabarnya lalu kembali pulang. Hanya itu, Rain terlalu rindu dengan lelaki itu.

"Nekat juga ya kamu Rain. Nanti nginap saja di kosku, aku nggak keberatan kok sama kamu."

"Kenapa kamu baik banget sama aku?" tanya Rain yang penasaran dengan Febi.

Febi menghela nafas, "Sejak kapan baik sama orang ada alasan? Anggap aja aku temanmu sekarang."

"Makasih."

Masih ada sekitar lima jam perjalanan yang harus Rain tempuh. Rain membuka buku kecilnya. Menulis beberapa kata untuk melegakan hatinya.

Jalanan sepi akibat kamu pergi
Kususuri lagi berharap kamu kembali
Inginku temu, harapmu berlalu
Mauku kamu, maumu perempuan itu
Intinya jagatraya tak merestui kamu milikku

-dalam perjalanan menjemputmu

"Dari dulu aku pengen banget jadi penulis. Sayangnya aku udah nyerah dulu," Febi kembali membuka percakapan.

Maklum saja Rain jarang berkenalan dengan orang baru. Sehari-harinya saja hanya dengan Awan kalau tidak Arjuna.

"Hebat kamu, udah punya dua buku. Kudoakan semoga kamu punya tiga buku. Oiya, kamu pernah nggak diperjuangkan seorang?" lagi-lagi Febi bicara.

Rain diam. Perkataan Febi seperti menampar hati Rain. Ia ingat Arjuna. Lelaki yang memperjuangkannya. Lelaki yang terlalu peduli dengannya. Lelaki yang rela melakukan apa saja agar Rain bahagia, "Pernah."

"Aku juga pernah. Dua tahun yang lalu dia perjuangi aku. Masalahnya satu, aku terlanjur suka sama sahabatku." Rain tertarik dengan cerita Febi. Cerita yang sama dengan apa yang ia alami, "Berkali-kali aku nolak dia. Berkali-kali dia yakinin aku. Sampai aku sadar ternyata dia yang aku butuhkan."

"Kalian jadian?"

Raut wajah Febi berubah murung. Melihat itu Rain jadi tidak enak senidri, "Sayangnya semua terlambat."

"Maksud kamu?" tanya Rain.

Febi berusaha membuat raut wajahnya bahagia. Namun justru ia meneteskan air mata. Segera saja Febi menghapusnya sebelum Rain melihatnya, "Jam tiga sore aku sama lelaki itu janjian di kedai kopi langananku. Aku terlambat dua menit dari perjanjian awal. Ternyata dia belum datang."

"Satu jam aku nunggu dan dia enggak datang juga. Akhirnya aku pulang enggak jadi ketemuan. Tepat setelah aku buka pintu kedai kopi lelaki itu ada."

Rain mengusap punggung Febi. Mencoba menenagkannya, "Apa yang terjadi selanjutnya?"

"Dari arah berlawanan ada mobil melaju kencang. Dia celaka. Tepat sebelum aku sempat mengucapakan aku mencintainya," Febi mengkahiri ceritanya. Ia memeluk Rain erat. Mengigit bibir bawaknya. Menahan suara isakannya.

"Turut berduka atas dia yang pergi," ujar Rain.

Percakapan tadi rupanya menguras banyak waktu. Mereka sudah sampai di stasiun terakhir. Baik Rain atau pun Febi sama-sama membereskan barang bawaan mereka. Febi memimpin di depan. Sedang Rain berada di belakang.

Febi mengisyaratkan Rain untuk segera naik ke atas motor. Beruntung Febi menitipkan sepeda motonya tidak jauh dadi stasiun. Rain pun menuruti ucapan Febi.

"Selamat datang di Jogja. Besok kamu kuajak keliling."

Rain mengangguk senang mendengar ucapan Febi. Besok ia akan bertanya tempat pameran foto yang ada di Jogja. Satu lagi Rain ingin pergi ke malioboro. Siapa tahu Awan ada di sana.

"Ini kosku, sempit sih. Tapi cukup kalau tambah satu orang lagi. Aku juga nggak keberatan kok, aku malah seneng punya temen ngobrol."

"Sekali lagi makasih ya. Maaf jadi ngrepotin kamu," ujar Rain.

Febi membantu Rain membereskan barang bawaannya. Rain beruntung ada Febi. Kalau saja ia tidak bertemu Febi mungkin Rain akan tidur saja di stasiun tadi. Menunggu sampai pagi lalu kembali melanjutkan mencari Awan.

Jarum jam mengarah ke angka satu. Febi dan Rain sama-sama memejamkan mata. Rain menghela nafas. Berdoa semoga esok bisa berjumpa dengan Awan.

PETRICHOR [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang