30; semakin takut kehilangan

621 80 0
                                    

Rain semakin mempercepat langkah kakinya. Ia berjalan tanpa arah yang pasti. Mengikuti kemana kedua kakinya pergi. Rain ingin melarikan diri dari kenyataan ini. Kenapa semesta berhianat? Katanya di bumi berisi bahagia, kenapa lagi-lagi yang menyapa Rain luka?

Tidak! Rain tidak mau pulang. Awan bisa menemukannya di rumah. Tidak! Rain juga tidak ingin pergi ke jembatan layang. Arjuna bisa menemukannya. Lalu ke mana Rain harus pergi?

"Mama," ujar Rain pelan.

Iya, Rain harus kesana. Ia harus pergi ke makam mamanya. Dengan kasar Rain mengusap air matanya. Ia berjalan dengan cepat, seolah tidak mau ada orang yang tahu keberadaannya.

Rain menghentikan langkah kakinya. Ia belum sampai di makan Rahayu. Tapi, kehadiran Samuel membuat Rain terdiam. Lelaki itu sedang mengusap nisan Rahayu dengan tangan yang mengusap tangisnya. Samuel tidak tahu kehadiran Rain di belakang. Rain pun juga tidak ingin menganggunya. Anehnya kaki Rain tidak mau menjauh pergi. Bukannya sedari tadi Rain ingin menghilang? Lalu, ada apa dengan syaraf kakinya?

"Rahayu, anak kamu tumbuh jadi gadis yang cantik. Kamu tahu? Sampai-sampai Awan suka sama dia," ucap Samuel.

"Kamu di sana tenang aja, Rain aman sama aku. Dia akan terus aku jaga."

"Mama," ujar Rain memeluk makam Rahayu.

Samuel terkejut dengan kehadiran Rain yang tiba-tiba. Ia melihat kedepan. Mengamati Rain yang terisak kencang.

"Mah! Rain kangen sama Mama,"

"Rain, mau ikut Mama. Jemput Rain sekarang Mah," ujar Rain.

Tangis Rain berangsur-angsur berhenti. Tangan Samuel mengusap kepala Rain dengan lembut. Rain segera menepisnya, menatap Samuel dengan tajam.

"Rain," ujar Samuel.

"Anda siapa?!"

"Rain dengarkan saya dulu," ujar Samuel yang dihiraukan Rain.

Rain berdiri segera melangkah pergi. Namun lagi-lagi berhenti ada Awan di depannya. Rain melangkah mundur saat Awan berusaha mendekat.

"Rain," ujar Awan dengan lembut.

"Apa?!" Mata Rain menatap Awan dan Samuel bergantian, "Apa yang kalian rencanakan?! Udah puas buat hidup saya hancur?!"

"Aku bisa jelasin," ujar Awan lagi.

Rain terseyum mengejek ke arah Awan, "Jelasin kamu bilang? Kenapa enggak dari dulu Wan?! Kenapa baru sekarang saat semuanya sudah jelas!"

"Papa yang salah Rain," jawab Samuel.

Mata Rain menatap ke arah Samuel, "Maafin Papa."

"Maaf? Apa maaf bisa merubah semuanya? Apa maaf bisa buat Mama hidup?!" Rain mencoba mengatur nafasnya, "Kenapa kalian diam?! Jawab!"

Awan semakin mendekat ke arah Rain tanpa perempuan itu sadari. Kedua tangan Awan memeluk tubuh Rain dengan erat. Rain meronta, berusaha terbebas. Namun, tenaga Awan lebih besar daripada dirinya. Rain menanangis sejadi-jadinya, ia memukuli tubuh Awan dengan tangannya. Awan masih memeluk Rain dengan kuat.

"Maaf, aku minta maaf. Rain, maafin aku," bisik Awan.

Rain mendorong tubuh Awan sampai lelaki itu terjatuh. Rain kembali berlari menjauh dari Awan. Rain belum bisa menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa dia adalah saudara kandung Awan. Jadi ini arti dari perkataan Rahayu dulu dengan Rain. Ya, Rain sadar Samuel memang menjaga Rain lewat kehadiran Awan.

"Kenapa Tuhan?!" teriak Rain.

Dari belakang Awan mengejar Rain. Memepercepat langkah kakinya agar tidak kehilangan perempuan itu. Rain tidak mau melihat ke belakang. Melihat Awan yang sedari tadi menyebut namanya tanpa henti.

Sore menyuram dengan langit yang tertutup kumpulan awan. Detik ini Rain berhenti menyukai mendung, detik ini Rain berhenti menyukai Awan. Rain kecewa, ia benci entah pada siapa.

"RAIN! BERHENTI!" teriak Awan disusul gemuruh petir bersautan.

Saraf-saraf tubuh Rain semakin melemah. Kakinya seakan tidak bisa berjalan. Jangan, jangan sekarang Rain mohon. Gemuruh petir seakan menantang Rain. Sejauh mana ia bertahan. Rain segera menutup kedua telingannya dengan tangan. Ia memejamkan mata kemudian berlari kencang. Rain takut, ia takut pada petir. Tapi Rain tidak ingin Awan berhasil mendapatkannya.

Hujan turun dengan deras. Riuh petir masih bersaut-sautan. Rain tidak peduli kehujanan, ia masih mau bertahan.

"RAIN!!!!!!!"

Rain berlari, ia harus berlari. Tidak peduli sekencang apa Awan meneriaki namanya. Tidak peduli seberapa banyak orang yang penasaran dengan keduanya.

Bruk!

"Rain!" teriakan itu tidak kencang tapi Rain mendengarnya.

Rain membalikkan badan, berharap Awan masih mengejarnya. Tapi, sialnya Rain tidak menemukan Awan di belakang sana. Ia melihat banyak orang yang sudah berkumpul di tengah jalan.

"Enggak! Enggak! AWAN!!" teriak Rain berlari ke arah Awan.

Ia menerobos beberapa orang yang menghalangi jalannya. Rain sudah di sini, di depan Awan, "AWAN! BANGUN!"

Darah segar mengalir di sekujur tubuh Awan. Rain bisa melihat mobil dan truk yang berhenti setelah mebrak Awan. Rain mengusap wajah Awan, membersihkan bercak darah yang keluar dari hidungnya.

"Wan! Maafin aku," ujar Rain menangis lagi.

Awan berusaha merespon Rain dengan tenaga yang tersisa. Ia berusaha mengerakkan tangan untuk mengusap wajah Rain. Awan tersenyum, "Ra.....Rain..jee.....jaa....jangan ben...ci Pa..Pa."

"Aku janji enggak benci Papa, tapi kamu juga janji bertahan."

"Panggil ambulance! Tolong," teriak Rain pada kumpulan orang yang masih mengelilingi mereka.

"A....ak..u..sa..y..ang..kamu Rain," ujar Awan dengan nafas yang terengah-enggah.

Rain memeluk tubuh Awan. Tidak peduli dengan darah yang menempel pada bajunya. Ini semua salah Rain. Kalau saja Rain berhenti dan mendengarkan Awan, mungkin Awan enggak akan seperti sekarang.

"Kamu harus bertahan Wan. Aku juga sayang sama kamu, aku enggak mau kamu pergi. Aku cuma punya kamu Wan. Wan, bertahan buat aku," ujar Rain.

Lebih baik hati kita berjarak namun kita masih bercakap. Dari pada kamu pergi dan meninggalkanku selamanya, batin Rain.

Pelukan Rain terlepas. Awan segera di bawa masuk ke dalam ambukance. Rain menatap tubuh Awan. Hampir seluruh tubuh Awan diselimuti darah yang tak kunjung berhenti.

"Wan, bertahan sebentar lagi kita sampai," ujar Rain.

Mata Awan menatap ke atas. Ia berusaha menormalkan napasnya, "Rain....."

Tangan Rain mengenggam tangan Awan, "Enggak! Wan, kamu kuat. Kamu janjikan mau jagain aku, jangan pergi Wan. Nanti kalau kamu pergi siapa yang jagain aku?"

"Ma...maaf..."

"Aku yang harus minta maaf Wan. Harusnya tadi aku yang dengerin kamu ngomong," ucap Rain.

Samuel sudah ada di rumah sakit dengan Tias, mama Awan. Rain memeluk Samuel dengan erat. Menumpahkan segala tangisnya.

"Awan! Pah! Awan!"

"Hussttt.....kamu tenang dulu. Duduk dulu," ujar Samuel.

"Gara-gara kamu anak saya celaka!" teriak Tias menarik tangan Rain.

Samuel berusaha melerai namun emosi Tias terlanjur memuncak. Ia meraik tangan Rain dengan kasar. Menyudutkan perempuan itu di dinding, "Dengar! Dari awal kehadiran kamu itu bawa sial! Kamu sama mama kamu itu enggak ada bedanya!"

Rain sudah tidak punya tenaga untuk menjawab ucapan Tias. Bahkan pandangan mata Rain perlahan mulai memburam. Rain mencoba membuka mulut, meneriaki Arjuna yang baru saja tiba.

Plak!

Tamparan Tias membuat kepala Rain semakin pening. Padangan mata Rain juga semakin memudar dan berubah menjadi gelap.

PETRICHOR [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang