Apa alasannya bertahan?
Apa itu karena uang, atau karena takut kekurangan?
Ataukah dia sama, mengatas namakan cinta dan menelan habis logika, membuang akal sehat, menyimpannya di tempat terjauh di sudut ruangan.
Padahal suaranya bergetar, padahal isak tangisnya terdengar, padahal Jiwanya sudah mengerang kelelahan.
Mata tuanya tidak lagi bersinar sebagaimana seharusnya, Cahaya suci sudah menjauh meninggalkan tempat ini sejak lama, ataukah cahaya itu memang tidak pernah ada?
Dalam semua kebingungan dan kepahitan realita ini ada seorang anak yang terdiam dikamarnya, tersenyum karena pikirannya yang sudah rusak.
Dia bahagia menanti akhirnya, sesekali menyakiti diri karena rasa bersalah tidak bisa berguna. Sahutan isak tangis sudah tidak lagi membuat hatinya berdenyut kesakitan. Bentakan demi bentakan tidak lagi membuatnya berteriak marah meminta semua berhenti.
Anak itu sudah mati rasa bahkan ketika ibunya disakiti di luar sana, sudah tidak perduli lagi ketika ayahnya bertingkah seperti bajingan tak ubahnya hewan.
Satu dalam benaknya; Sudah terlanjur retak, mau disambung pun percuma. Kenapa tidak sekalian hancurkan saja.
Hina dia sepuasmu, buat dia merasa rendah juga bukan malasah, tapi setelah itu bisa kau bunuh sekalian?
Anak itu lelah untuk terus menatap ke layar ponsel yang menyala, berusaha mengais harapan hidup dari mereka yang tidak terlihat nyata, berusaha bahagia menyembunyikan luka besar di dadanya.
Setiap hari, setiap malam.
Hey, ayolah jangan hanya bisa menghina, tolong bantu wujudkan keinginnnya. Tolong bantu dia terbebas dari rasa sakit oleh orang tuanya, oleh lingkungannya, oleh isi kepalanya.
Aku meminta atas namanya karena aku... Adalah dia.
Dear, bi
23-12
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bi
Short StorySejujurnya aku bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali aku bangun dan bersemangat untuk menjalani hari or Happy to be alive.