Unexpected
"Kematian Diandra itu gak wajar Vin!"
Vina hanya menatapku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Entah mengapa aku melihat sesuatu yang berbeda dari temanku ini. Aku bisa melihat matanya yang menggambarkan kalau dia sedang gugup.
"Gak wajar apanya sih Ray? Kita semua tahu, bahkan polisi pun sudah menutup kasus ini. Dan pure Diandra meninggal karena dia bunuh diri Ray!"
Meskipun semua fakta itu sudah dikemukakan oleh pihak yang berwajib. Namun tetap saja ada yang mengganjal. Mana mungkin Diandra meninggal dengan bunuh diri? setelah aku dan Vina bermain di rumahnya? Setelah dia tertawa lepas seperti tidak ada beban? Mana mungkin?
"Tap—" ucapanku terpotong kala melihat Vina berdiri akan pergi meninggalkanku di cafe ini.
Aku menghembuskan nafasku lelah. Mengapa hanya aku yang belum bisa percaya kalau Diandra meninggal karena bunuh diri?
***
Pagi ini kampus dihebohkan dengan berita meninggalnya salah satu mahasiswi komunikasi bernama, Lina.
Aku terkejut dengan kabar meninggalnya Lina. Karena Lina merupakan teman dekatku selain Diandra dan Vina.
Aku melangkahkan kakiku menuju kantin dan mencari Vina disana. Dan benar saja, sahabatku satu ini tengah menyeruput jus alpukat di meja pojok kantin.
"Udah denger tentang meninggalnya Lina?" tanyaku saat sudah berada di samping Vina.
"Udah, jangan bilang matinya Lina juga gak wajar." aku terdiam mendengar penuturan Vina.
"Ray, ngapain sih lo buang-buang waktu buat nyelidiki kematian seseorang yang benar-benar meninggal karena bunuh diri? Buat apa?" aku masih terdiam. Pandanganku tertuju pada pelipis dan tangan Vina yang terdapat bekas luka. Sudut bibirnya juga robek seperti terkena tamparan.
"Pelipis sama pergelangan tangan lo kenapa?" Vina gelagapan, terlihat dari gerak geriknya. Tubuhnya menegang.
"Emm-anu-itu kemarin gue habis jatuh." aku mengernyit, luka itu sudah jelas seperti bekas luka goresan pisau.
"Beneran kan Vin? Gak ada yang lo tutupin dari gue kan? Dan itu bibir lo kenapa? Gak mungkin kalau jatuh sampek robek gitu kan?"
"Emm-ini- kemarin aku terkena bola basket disekitar taman komplek." aku mengangguk. mencoba untuk mempercayai sahabatku ini.
Aku memesan siomay dan jus jambu kesukaanku. Aku menghubungkan tragedi bunuh diri Diandra dan meninggalnya Lina. Kedua kejadian ini tak berselang lama. Terdapat sayatan pisau di lengan juga pergelangan tangan keduanya. Jika ini bunuh diri, mana mungkin Diandra dan Lina melakukan itu? Menyayat lengan nya? Bermain dahulu sebelum keduanya mati? Begitu maksudnya?
Bagaimana bisa polisi berfikir bahwa ini adalah percobaan bunuh diri bukannya pembunuhan? Apa polisi tidak melihat tusukan pisau diperut korban? Aku tidak habis fikir dengan semuanya. Oh God. Aku lelah dengan semua ini.
Aku melirik Vina yang saat ini sedang bermain dengan bendah pipih miliknya. Mencoba menteliti setiap inchie wajah sahabatku ini. Bukannya aku tidak percaya. Bukannya aku menganggapnya pembunuh. Akan tetapi bisa jadi kalau dia kan yang melakukan ini? Aku menggelengkan kepalaku, mencoba mengenyahkan seluruh fikiran negative tentang Vina.
"Lo kenapa Ray?" Aku hanya menggelengkan kepalaku.
Tapi Vina beberapa hari ini berubah. Dia bukan seperti Vina yang aku kenal sebelumnya. Vina yang sekarang lebih pendiam dan lebih suka menyendiri. Sikap Vina yang selalu gugup ketika membahas tentang kematian Diandra dan Lina.