Cinta Abadi by Lathifa Oktaviana

45 13 2
                                    

Cinta Abadi


Pagi yang indah dihiasi sinarnya, kicauan- kicauan burung  membawa kedamaian sejati. Tenang,  damai dan hangat yang kurasa. Dalam dekapannya aku merasa aman. Bau tubuhnya sungguh harum melingkupi seisi ruangan.

Kejadian hari ini sungguh tak terduga. Aku sungguh merasa bahagia ketika dia di sisiku. Dia mendekapku melawan rindu. 

Biar aku beritahu kejadian romantis ini dimulai. Kemarin saat mentari pagi memancarkan keindahannya, seperti biasa aku datang kerumahnya memberi bekal kesukaannya. Aku memasak dengan sepenuh hati agar senyumannya dapat diberi.

Sayang seribu sayang ..., dia sudah mendapatkan bekal yang baru. Aku hanya menatapnya dari kejauhan. Matanya berbinar terang bagai rembulan di tengah malam.

Inikah kesalahanku karena tak membuatkannya bekal seminggu lalu? Apa dia lelah menunggu atau bosan masakanku?

Tak terasa air mataku mengalir jatuh ke bumi. Bekal ini ku genggam erat hingga membekas kuku jariku. Aku tersenyum melihatnya bahagia dengan yang baru. Meski hati ini menangis tersedu- sedu.

Di dalam keterpakuanku, sapuan bulu- bulu menampakkan dalam ambang kesadaran. Tatapanku mengalih pada sesuatu di bawahku. Hitam legam tapi buram, sepertinya kucing manis ini lapar.

Aku membawanya mengunjungi rumahku. Terdapat ikan dan ayam di atas meja dan ku berikan padanya. Ikan itu dilahapnya habis, lalu diseretnya ayam. Ayam yang lezat tak mampu menolak ketika baru saja tersentuh lalu dibuang tak termakan.

Seketika aku tersadar inilah jawabannya. Sore hari aku memasakkan makanan favoritnya untuk ku bawa ke rumahnya.

Saat aku sudah sampai di rumah dia, aku bertemu dengannya dengan raut terkejut. Memang aku tak pernah datang ke rumahnya pada sore hari, hari ini pertama kalinya. Dibukanya pintu rumah, aku dibiarkan menunggu lama.

Dia membawa piring- piring dan sendok. Kubukakan bekalku lalu aku sajikan di atas piring, “Makanlah.” ucapku padanya.

Entah apa perasaannya, dia hanya tersenyum dan mulai menyantap makanan itu. Hingga lenyap tak terbekas, aku dengan segenap hati membersihkan bekas pring, membersihkan rumahnya  hingga malam menjelang.

Aku menampakkan raut letih saat  dia datang memasuki dapur. Dia dengan baik hati menawariku menginap di rumahnya, terang saja aku sambut dengan hati berbunga- bunga.

Diarahkannya diriku ke arah kamarnya, dengan perlahan aku memasuki kamar itu, luas nan indah isinya. Bau maskulin ini yang ku suka, timbullah cintaku semakin membara.

Aku merebahkan tubuh letihku di ranjang, sambil menatap langit- langit kamar. Detik demi detik berlalu, bergerak mengukir waktu. Hewan malam yang halus berderik, angin malam melambai di cakrawala, hingga bulan pembawa kesunyian tak mampu membuatku terlelap. Ku hembuskan nafas gelisah, bergerak tak berirama semakin membuatku gundah.

Terpaksa aku keluar kamar untuk mengusir jenuh, tujuan awalku adalah dapur. Sekelilingku gelap total tak ada kehidupan. Pujaan hatiku telah terlelap damai membuat senyuman samar terbentang. Air dalam gelas penuh memasuki lambung kecilku yang mampu meredakan dahaga ini hingga tak terasa dua gelas tandas tak terbekas.

Entah dorongan dari mana aku pergi ke kamar dia. Ku buka perlahan pintu kamar, menampakkan sosok pria tampan yang terlelap damai. Wajah berseri seakan bulan kembali ke peraduannya, bulu lentik yang alami dan bibir tipis merona sungguh pahatan yang sempurna.

Aku mendekat pada kaca kamarnya, kuperlihatkan wajahku. Tak ada cacat, cantik, tubuhku ideal, ketika aku tersenyum ada rongga yang dalam. Lalu mengapa pria itu hingga kini tak mengakui perasaannya padaku? dimanakah letak kekuranganku?

NIGHTMARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang