6. Nafas

25 0 0
                                    

Abik menghembuskan nafas gerah, ia harus segera pulang setelah menghadiri mata kuliah, namun lagi-lagi beberapa mahasiswi mencegatnya di depan pintu kelas.

"Pak Abik. Saya belum terlalu faham dengan matakuliah anda di bab tuju, bisa anda jelaskan sedikit,,??"

"Pak Abik. Jika mata uang yang beredar terlalu banyak maka akan akan menyebapkan turunnya nilai mata uang dan sangat berpotensi untuk terjadi krisis, lalu apa langkah pertama yang harus di lakukan pemerintah untuk mencegah datangnya krisis Pak,,??"

"Pak Abik,,! Pak Abik,,,!!"

"Pak Abik,,,!!"

"Pak Abik,,!"

Semakin banyak mahasiswi yang mengerumuni Abik, membuat kejengahan menyeruk dan menyerang hati dosen muda itu. Ia telah menerangkan semua materi secara gamblang di kelas, bahkan ia juga membuka sesi pertanyaan seluas-luasnya, namun seolah mereka senang sekali mencegah langkahnya, setiap ada kesempatan pasti mereka akan menghentikan langkahnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah ia terangkan di dalam kelas. Sekali lagi Abik menghembuskan nafas berat mencoba menenangkan meraka yang berebut perhatiannya.

"Tolong satu-satu,, satu-satu,," Kata Abik menanggapi dengan sabar, namun sekilas mata laki-laki itu menangkap siluet bayangan Nilna yang melangkah menuju ruang dosen, dan sepertinya laki-laki itu mempunyai ide untuk melepaskan diri dari kerumunan mahasiswi-mahasiswi ini.

"Mbak Nilna,,,!!!" Panggil Abik dengan suara baritonnya, membuar semua mata tertuju pada sosok gadis cantik nan lugu yang sepontan menengok ke arah sumber suara. Gadis itu sedikit tercekat, sekilas mengingat kejadian yang baru saja mereka alami beberapa hari lalu, yang membuat bekas biru pukulan di sebelah kanan bibir Gusnya masih terlihat jelas. Gadis itu masih mematung, detak jantungnya semakin meningkat ketika Abik menyibak grombolan mahasiswi yang mengerumuninya dan berjalan dengan tenang ke arahnya.

"Ada sesuatu,,, tunggu,,!!" Kata laki-laki itu setelah berada di depannya. Laki-laki itu membuka resleting tasnya dan mencari sesuatu di sana, sejurus kemudian mengeluarkan sesuatu dan menunjukkannya pada Nilna.

"Punyamu kan,,,??" Tanya laki-laki itu sembari mengulurkan sebuah cincin yang pasti membuat ternganga semua mata yang melihat kejadian itu, termasuk Nilna sendiri.

"Saya juga ingin mengatakan sesuatu, saya harap kamu tidak terburu-buru saat ini. Apa kamu ada waktu,,??" Tanya Abik masih menatap Nilna, mencoba membaca mimik gadis di depannya. Nilna yang sadar sedang di perhatikan seluruh makhluk seantero kampus segera menerima uluran cincin Abik dan mengangguk kikuk.

"Mari,,!!" Kata Abik sembari menggandeng pergelangan tangan Nilna, mengukir persepsi tersendiri bagi setiap mata yang menyaksikan.

Abik menarik satu kursi untuk Nilna mempersilahkan gadis itu untuk duduk, lalu menarik satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, sekilas mata laki-laki itu kembali melirik raut cantik gadis yang tentu belum halal untuk ia pandang berlama-lama, hanya sekilas, untuk membaca raut gadis itu, memastikan tidak ada kesalahan yang ia perbuat, laki-laki itu terlalu sensitif sejak kejadian kemarin.

"Apa kamu baik-baik saja,,,??" Tanya Abik memastikan. Nilna menatap Gusnya tak mengerti, apakah Gusnya mengajaknya kesini hanya untuk mengatakan itu. Namu gadis itu segera menepis pertanyaannya dan tersenyum kecil.

"Tidak perlu khawatir, saya bisa menjaga diri,,!!" Kata gadis itu masih dengan senyuman.

"Maaf untuk kejadian kemarin,,!" Lanjut Abik dengan suara bariton yang terdengar sayu seolah ada sebesit luka di sana, luka yang sama sekali tidak di fahami oleh Nilna. Gadis itu mengeryip menatap Gusnya sekilas.

"Mengapa jenengan meminta maaf, jenenganlah yang menyelamatkan saya, seharusnya saya yang meminta maaf karena sayalah penyebab anda mendapatkan luka itu. Maaf dan trimakasih." Ucap gadis itu, membuat sebesit luka di mata Abik semakin terlihat.

Andai Nilna tau, andai gadis itu tau bahwa ia sudah ada di sana sebelum laki-laki brengsek itu datang. Andai gadis itu tau, mungkin ia akan kecewa padanya, andai.

Laki-laki itu masih mematung menatapa kosong ke arah fas bunga yang berada di depannya.

"Gus,,!!"

Panggilan Nilna membuyarkan lamunan Abik. Laki-laki itu menatap Nilna dengan tatapan teduh, ia tau ia harus mengatakan sesuatu.

"Entahlah,,, saya hanya merasa tidak enak, seolah saya tidak mampu melindungi apa yang harusnya bisa saya lindungi. Mungkin maaf dari mu bisa melegakan hati saya. Jadi, bisakah kamu maafkan saya,,!!" Minta Abik. Gadis itu mengeryit, merasa agak aneh dengan permintaan gusnya, namun karena pandangan Abik yang terkunci ke arahnya membuat gadis itu mengangguk, berharap tatapan laki-laki itu segera beralij. Abik tersenyum, senyum yang samasekali tidak dapat di percaya oleh gadis itu, seorang Abik assyafi'i tersenyum kepadanya, hanya kepadanya. Gadis itu mematunh berusaha meredam hatinya melayang, namun gadis itu segera menepis perasaan itu, mencoba kembali memposisikan dirinya ketempat semestinya.

"Saya memaafkan jenengan, tapi saya kira itu memang tidak perlu." Kata gadis itu.

"Siapa tau,,?? tapi terimakasih. Dan untuk cincin itu, Umik yang menemukannya di bawah kursi tamu beberapa saat setelah kamu pergi."

"Trimakasih. Ini memang cincin saya, saya kira saya tidak akan menemukannya, tapi agaknya masih menjadi rezeki saya."

"Hem,,, sepertinya begitu." Jawab Abik sembari tersenyum ringan, seolah menunjukkan kelegaan hatinya, senyum simpul yang kemali meruntuh kan hati Nilna. Gadis itu segera mengalihkan tatapan matanya dari Abik, mencoba menyembunyikan hiruk pikuk hatinya karena senyum itu, senyum yang selalu sukses menghempaskan hatinya.

My Gus and My Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang