"Aku tahu pasti kamu sengaja nggak ngasih minum kaktus dan kamu pasti nggak minum. Cuma mau ngingetin aja. Nih. Aku pulang dulu,"Matha menyodorkan kantong plastik yang diberikannya tadi.
Seperti tersihir,aku mengangguk dan meraih kantong plastik itu. Setelah aku meraih kantong plastik itu,Matha pergi dan berpamitan dengan ibu. Aku masih diam memikirkan apa yang terjadi. Sial. Kenapa aku harus menerima ini dan seharusnya aku memakinya. Aku merutuki kebodohanku sendiri. Aku memasuki kamarku dan tak lupa menutup pintu kamar. Sekali ini saja aku biarkan dia memerintahku. Aku mengambil botol plastik itu dan ku buka. Aku tuangkan ke dalam pot kecil berisi kaktus kecil itu. Aku menutup botol plastik itu dan ku buang di tempat sampah.
Tok tok tok
"Bumi,"Ibu memanggil ku. Aku segera membuka pintu kamar ku.
"Ada apa?"tanyaku.
"Matha nitipin ini,"Ibu menyodorkan sebuah buku kecil seperti notes.
"Kembalikan aja,Bu,"tolakku langsung tanpa berpikir panjang.
Ibu tampak bingung. "Kata Matha kalau kamu nggak mau ngambil buku notes ini,kamu nanti malam mimpi dia hlo."jelas Ibu dengan polos.
Aku terkekeh pelan melihat ibu yang begitu polos."Ibu percaya?"
"Ya iyalah. Dia aja tahu kalau Ibu lagi kangen sama Ayah kamu kok sampai dia tahu semalam Ibu mimpi Ayah."
Aku diam. Entah makhluk seperti apa itu Matha. Mulai besok aku harus menjauhinya sebisa mungkin. Agar tidak terjadi hal buruk padaku. Ini terakhir kalinya aku menerima hadiah yang tidak terduga darinya.
"Ya udah,iya. Ibu sekarang pergi. Aku mau ganti sama mandi,"usirku sambil ku ambil buku notes itu dan menutup pintu.
•••
Seperti yang ku katakan kemarin,aku akan mengembalikan semua hadiah yang diberikan oleh Matha. Pagi ini,aku menaruh semua barang di keranjang sepedaku. Aku pamit pada Ibu dan mengayuh sepeda. Di tengah perjalanan menuju ke sekolah,aku melihat ada nenek-nenek yang tengah kesusahan untuk menyebrang. Aku menghentikan sepedaku dan ku parkirkan sembarangan. Aku menghampiri nenek itu.
"Mari saya bantu,"kataku sopan sambil memegang lengan keriput itu.
Nenek itu tersenyum. "Terimakasih,anak muda,"Nenek itu terdengar senang saat aku membantunya.
"Ayo,nek,"ajak ku mulai menuntun nenek itu menyebrang di zebra cross.
"Sekali lagi, makasih,"Nenek itu menguncapkan saat kami sudah menyebrang.
Aku mengangguk dan sekilas tersenyum kecil. "Sama-sama,nek."
"Jangan seperti batu. Kata anak muda yang di seberang sana,dia tambah suka sama kamu,"nenek itu tiba-tiba berujar seperti itu.
Aku melihat ke seberang sana. Ternyata ada Matha yang tengah tersenyum padaku. Aku benci padanya. Aku kembali menatap nenek itu yang mulai pergi. Aku membalikkan badanku dan menoleh kesana-kemari untuk menyebrang. Setelah mematikan semua aman,aku mulai menyebrang dengan tenang. Hingga tidak melihat ada motor yang melaju dengan cepat ke arahku. Otomatis aku terpental cukup jauh akibat moto itu menabrak ku. Sayup-sayup aku melihat Matha memanggilku dan semua hitam.
•••
Aku membuka mataku pelan-pelan. Kepalaku langsung terasa sangat sakit. Seperti di tusuk-tusuk oleh jarum. Aku melihat sekeliling. Ternyata aku berada di rumah sakit. Apa yang terjadi padaku? Aku baru ingat,aku kecelakaan. Aku memegangi kepalaku dan mengubah posisiku menjadi duduk. Pintu terbuka, menampilkan sesosok Matha yang tengah tersenyum kepadaku. Aku memalingkan wajahku. Malas menatap wajahnya.
"Bumi,"panggil Matha namun aku hiraukan.
Aku memegangi kepalaku yang masih terasa sangat sakit. Aku merintih kesakitan. Matha mulai terlihat panik. Ia keluar dan berteriak-teriak meminta dokter segera menemuiku. Tiba-tiba semua menjadi gelap saat aku tidak bisa menahan rasa sakit di kepalaku.
Aku membuka mataku ketika mendengar suara seseorang yang tengah memanggilku. Aku tahu itu siapa. Matha.
"Bumi,untung saja yang kecelakaan kamu. Jika aku....aku tidak bisa menjagamu. Bagaimana keadaanmu,kondisimu,moodmu dan semua hal tentang kamu,"sambutan panjang lebar saat aku membuka mataku.
Aku memalingkan wajahku mendengar omong kosongnya. Aku sudah muak! Memang dia yang menolongku tapi dia begitu perhatian denganku--membuatku muak dengan sikapnya.
"Aku tahu kamu belum menerimaku. Suatu saat kamu akan menerimaku. Aku ak-
"Cukup!"bentak ku tidak tahan lagi. "Keluar!"bentak ku lagi.
"Baiklah. Jaga dirimu ba-
"Keluar!"
Aku lega sudah membentaknya. Aku tidak peduli jika ia berpikir aku ini egois atau apapun. Yang ku butuhkan adalah sebuah ketenangan. Aku memposisikan diriku menjadi duduk. Aku mendongak mencari jam dinding. Mataku membulat sempurna. Ini sudah pukul 14.10. Sebentar lagi bel pulang sekolah. Apakah aku sudah diizinkan atau belum? Rasa cemas menyeruak. Aku harus bagaimana. Jika besok aku dipanggil oleh kesiswaan bagaimana? Ahh,aku pasti di cap murid baru yang tidak tahu aturan. Terserahlah,aku sudah capek memikirkan semuanya.
Pintu terbuka membuatku tersentak dari lamunan. Itu bukan Matha melainkan Ibu. Ibu menghampiriku dengan wajah khawatir. Bisa kurasakan.
"Kepala kamu masih sakit?"tanya Ibu khawatir. "Udah enak kan atau belum? Atau mau Ibu panggilkan dokter?"
"Ibu,"aku menegur Ibu tak berhenti bertanya. "Aku baik-baik saja."
"Syukurlah,"Ibu menghembuskan napas lega. "Ini,"Ibu mengeluarkan sebuah kertas dan menyodorkannya kepadaku.
Aku bisa menebak kertas itu dari siapa. Pasti dari Matha. Kali ini aku tidak akan menerimanya ataupun membukanya.
"Ini bukan dari Matha,"seperti mengetahui isi pikiranku,ibu berkata meyakinkan ku.
"Dari siapa?"tanyaku memastikan.
"Dari dokter yang tadi memeriksa kamu."
Aku mengernyit heran. Untuk apa dokter memberikan ku sebuah surat. Aku mencoba berpikir positif thinking. Mungkin surat itu berisi kondisiku. Aku menerima suara itu dan ku simpan terlebih dahulu. Ibu duduk di samping brangkar. Aku membuka surat itu ketika melihat Ibu yang tengah asik dengan ponselnya.
Dear,pasien
Bagaimana kabar kamu? Sudah baikan? Jika belum baikan bisa hubungin saya. Saya sebagai dokter bersedia melakukan apapun yang diminta pasien. Oh,iya kata anak laki-laki yang menunggu kamu. Dia sementara ingin pensiun dulu. Dia tidak akan mengusikmu ataupun mengganggumu. Saya hanya ingin memberitahu itu saja. Semoga lekas sembuh:)
Dalam hati aku bertanya-tanya. Apakah Matha menyuruh dokter itu untuk mengatakan apa yang ia ingin sampaikan padaku? Kenapa Matha seperti air hangat yang ingin melelahkan sebuah es batu seperti aku? Aku tidak tahu. Yang pasti sekarang aku bersyukur. Matha tidak akan mengusikku dan mengganggu ku lagi.
"Bumi,kata Matha dia ingin kamu baik-baik saja. Jangan buat dia khawatir. Cepat atau lambat kamu akan menyadari keberadaannya,"Ibu berkata membuatku terhempas dari lamunan.
Aku sekarang bertanya-tanya. Kenapa Ibu selalu berpihak pada Matha? Bukan padaku? Sudahlah. Aku juga tidak akan di ganggu olehnya lagi.
"Matha selalu ada di samping kamu,sayang. Always."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Dahulu
Teen FictionSeseorang akan berjuang untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Itu membuatnya menjadi egois. Ia ingin memiliki namun butuh pengorbanan. Itulah yang dialami Matha. Ia ingin memiliki Bumi sepenuhnya. Ia harus mencoba menggoyahkan hati sedingin es de...