Barang siapa pergi jauh, dia memerlukan kecerdasan. Orang bodoh harus tinggal di rumah.
EddasAku terlalu takut meninggalkan gagasanku yang belum selesai aku tulis. Itulah alasan utama kenapa seluruh perjalananku tertunda. Agustus, 2015, harusnya menjadi bulan di mana aku akan mengelilingi Pulau Jawa dengan membawa ide di kepala yang akhirnya membuatku tak cepat berjalan menenteng ransel. Perjalanan, atau petualangan adalah pertempuran antara membeli buku untuk tulisan-tulisanku atau menikmati dunia dan keluar dari penjara ide-ide. Tapi anehnya, perjalanan ini pun adalah perjalanan ide. Perjalanan pikiran.
Ideapacker, seperti itulah aku menyebut diriku. Seorang yang melakukan perjalanan maupun petualangan untuk menemukan ide-ide, mencarinya atau mencoba sedikit menangkap kilasannya.
Semua orang lebih suka menjadi backpacker secara umum. Karena terlalu umumnya, hingga aku kesusahan mencari buku kisah perjalanan backpacker yang menarik. Sayang, Agustinus Wibowo menempuh jaraknya di luar negeri bukan di tanah ini. Begitu juga Sigit Susanto.
Banyak para backpaker menjadi wujud kosong yang berjalan ke sana-kemari. Dan banyak dari mereka menyebut dirinya pecinta alam, pendaki gunung, atau petualang nyaris tak menghasilkan apapun. Mereka sekedar memamerkan bendera, sepatu dan tas mahal mereka, berbagai macam peralatan yang tak menghasilkan apapun kecuali foto dan tai miliknya sendiri. Sejujurnya, dunia backpackeran kita dalam keadaan krisis. Orang-orang pergi menenteng tasnya tanpa pikiran. Hingga kemanapun mereka pergi. Sejauh apapun mereka menapak.Tak ada sesuatu yang yang luar biasa yang mampu dihasikan. Bahkan mungkin mereka akan sekedar mengabdikan foto dirinya sendiri seandainya mereka berada di bulan dan tak peduli apa yang ada di dalamnya.
Mereka semua selalu saja menghasilkan sampah petualangan.
Goethe pernah berkata, "Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya." Aku rasa, ribuan orang backpacker yang kita miliki otaknya sudah terlanjur berada di pantat bahkan semenjak mereka lahir. Bagaimana tidak? Mereka, dari tahun ke tahun melewati tanah yang sama, desa yang sama, kota yang sama, padang yang sama, sungai yang sama, gunung yang sama, pantai yang sama, hamparan sawah yang hampir sama kecuali ada pengusaha yang tiba-tiba kencing lalu muncullah hotel dan sebagainya. Banyak para petualang kita mengabadikan foto yang nyaris sama. Menjejakkan kakinya di tempat-tempat yang nyaris selalu sama selama berpuluh-puluh tahun.
Mungkin Heraklitus akan menangkis dan berkata, tidak kawan, tak akan pernah ada sesuatu yang sama. Tapi aku lagi tak butuh Heraklitus di sini. Heraklitus mungkin juga akan menggelengkan kepalanya melihat berbagai jenis petualang negara ini yang memiliki berbagai macam kemudahan tapi menulis saja tak becus. Bahkan sama sekali tak kenal akan tanah yang dipijaknya.
Kalau bukan otaknya terlanjur sudah suka berada di pantat, mungkin hari ini kita melihat rak-rak buku berisi berbagai macam kisah yang mencengangkan. Berbagai penemuan. Ide-ide cemerlang yang lahir dari petualangan dan perjalanan ribuan orang selama ini. Tapi, tidak, aku nyaris tak menemukannya. Terakhir yang aku lihat, yang agak lumayan, walau tak bisa dibilang bagus, adalah buku Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam, 30 Hari Kelilingi Sumatera karya Ary Amhir dan Menyusuri Garis Bumi dari Clement Steve. Ada beberapa buku yang lebih bersifat ekspedisi dan lainnya. Tapi dari ribuan orang yang melakukan perjalanan, petualangan, dan menganggap dirinya seorang bacpacker, siapakah di antaranya yang pada akhirnya menjadi seorang naturalis, biolog, ilmuwan, geolog, ahli sejarah, penulis kisah perjalanan yang penuh dengan pengetahuan segar, atau para pengembang ide dan penemu berbagai macam alat dan gagasan baru? Lalu tidakkah perjalanan yang ribuan orang selama ini lakukan adalah sekedar menapaki ulang kebodohan yang sama?
Akhir-akhir ini slogan My Trip My Adventure sudah semakin disukai dan dijadikan semacam ikon. Aku rasa seharusnya ikon yang benar adalah Bokongku adalah Petualanganku. Kita selama ini berpetualang tanpa mengandalkan otak. Tapi sekedar bokong untuk duduk, berjalan dan kembali duduk. Hanya sekedar berganti dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka para petualang kita adalah bokong berjalan. Bukan pikiran yang berjalan atau petualang pikiran.Bagiku, sudah saatnya berkata bahwa pikiranku adalah perjalananku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEMBARA DI TANAH ASING
Pertualanganini adalah perjalananku dari kota ke kota di Jawa untuk melihat pembaca buku. Mentalitas masyarakat Indonesia. Dan kota-kota itu sendiri. Mencoba berharap bisa melakukan perjalanan ala backpacker untuk tidak manja di jalan dan untuk memulai persiap...