Meskipun hingga abad ke-19 pengelana yang datang jarang sekali pergi jauh dari Batavia dan kota pesisir lainnya, baru pada pertengahan kedua abad ke-19 para pengunjung daerah Jawa pasti mengikut sertakan Kebun Raya dan rumah jenderal di Buitenzorg (saat ini bernama Bogor); Bandung, kota kecil di perbukitan; reruntuhan Prambanan dan Borobudur; kesultanan Yogyakarta dan Surakarta; satu atau dua kawah gunung berapi, serta perkebunan teh, kopi dan tebu.
James R. Rush
Jawa Tempo DoeloeMacet. Panas. Kumuh dan bau. Baiklah, inilah Jogja. Dan para penulis dari the GOOD TRVLRS journal harus mulai meralat kata-katanya dalam buku yang mereka susun. Mereka bilang dalam bukunya “Lalu lintas di kota ini terbilang nyaman untuk Anda yang senang menikmati jalanan.” Waaw, luar biasa. Aku tak tahu seberapa butakah mereka menulis ataukah para penulisnya sedang sibuk mengkhayal? Nyaman menikmati jalanan? Seandainya ada hal yang semacam itu, setiap hari aku akan naik sepeda dan jalan kaki! Bahkan ketika menuju Stasiun Lempuyangan pun kemacetan adalah suatu kebahagiaan dari kemodernan kota ini. Dan entah kenapa, dalam buku mereka yang masih sama, ada kalimat yang sungguh sangat memilukan hingga nyawaku nyaris saja ditarik-tarik kucing dari neraka tetangga. “Hampir di setiap jalan, disediakan area bagi penggowes sepeda. Muda atau tua tidak menjadi batas untuk bersepeda keliling kota. Itulah sebabnya Jogja dijuluki sebagai kota sepeda.” Aku pun mengangguk. Kali ini mereka benar! Ketika berada di jalanan menuju Stasiun Lempuyangan, deretan “sepeda” motor ada di mana-mana hingga mirip semut merayap. Kadang tak sengaja mata menemukan para pengayuh sepeda yang bukan motor. Jumlahnya sangat mengagumkan. Dua pengayuh sepeda di pertigaan jalan, satu lagi ada di beberapa kilometer di depan, dan beberapa puluh menit kemudian, ada satu lagi yang berjalan tersuruk-suruk melewati genangan sepeda motor dan mobil. Dan aku berpikir, betapa konyolnya para penulis buku kecil Jogja itu. Bagaimana mereka bisa menulis sesuatu, yang begitu menyesatkan semacam itu?
Baiklah, aku coba menghitung jumlah kendaraan bermesin yang dilaui para sepeda itu. Satu detik, lebih dari lima ratus buah! Lima menit, seribu! Dan sekian menit lagi, sampai tak tahu lagi berapa banyak jumlahnya. Karena terlalu menggembirakannya perkembangan kendaraan bermesin yang ada, jalanan pun terasa bagaikan surga yang telah hilang. Tentunya, aku menghitung dengan daya imajinasi yang sangat tinggi.
Aku pun sampai di Stasiun yang cukup penuh, mencari tempat duduk, menunggu kedatangan kereta. Sambil membolak-balikkan Jawa Tempo Doeloe karangan James R. Rush, mataku juga bergerak kesana-kemari di sekitar stasiun, mencari sesuatu yang langka. Apakah ada pembaca buku di stasiun kota ini, kota pelajar atau bahkan kota di mana toko buku ada di mana-mana dan tentunya kota yang juga seringkali disebut dengan kota pendidikan? Tapi aku tak banyak berharap. Sebelum sampai di stasiun pun aku sudah malas berimajinasi yang bukan-bukan. Para pembaca buku di jalanan dan tempat umum yang ada di Jogja? Kalau hal semacam itu terjadi, dan banyak, mungkin aku akan terkena serangan jantung mendadak dan malaikat akan mengajakku jalanjalan dan mampir makan sebentar di warung padang sekitar sebelum diantar ke tempat yang paling membahagiakan di sisi seberang dunia sana yang aku rasa, mungkin akan sangat panas.
Aku memulai pengembaraanaku dari kota Jogja, sebuah kota yang dikatakan memiliki banyak ruang seni, budaya, universitas dan sekolah, buku, tempat wisata dan juga sampah dan bau kencingnya. Dan sore yang menjelang malam ini, aku berada di Stasiun Lempuyangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEMBARA DI TANAH ASING
Abenteuerini adalah perjalananku dari kota ke kota di Jawa untuk melihat pembaca buku. Mentalitas masyarakat Indonesia. Dan kota-kota itu sendiri. Mencoba berharap bisa melakukan perjalanan ala backpacker untuk tidak manja di jalan dan untuk memulai persiap...