Orang-orang beserta seisi dunia, boleh saja menyebutnya harapan, mimpi, bahkan ilusi sekalipun. Sebab bagiku, itu sama saja. Segalanya selalu berlawanan arah dariku. Satu langkah aku memangkas jarak, justru mimpi-mimpi itu semakin berarak menjauh. Tidak mungkin tergapai lagi;
~Sashikirana~
***
KURANG dari lima detik, aku memutuskan pandangan dari objek yang ku akui lebih dari biasa menurut naluri perempuanku. Bukan berarti aku terpikat dengan pesona pria itu, hanya berusaha menilainya secara objektif.
"Kayaknya, kita punya pemikiran yang sama ya soal ini?" ucapnya lagi lebih jelas dengan menatap langsung mataku. Ternyata ia memang berbicara padaku.
"Mungkin saja," ungkapku sedikit ragu, walau sebetulnya ucapan pria itu memang sesuai dengan salah satu dari beberapa anggapan dalam kepalaku. Sekilas dari sudut mata, kudapati ia tengah menyugar rambut gondrongnya yang sedikit berantakan. Tampangnya itu sudah mirip badboy saja.
"I feel you," ucapnya, menyiratkan rasa simpati. Rautnya juga seperti menunjukkan bahwa ia tidak senang ada di tempat ini, "gue rasa ... nasib kita memang sama. Mirip orang yang tersesat, diluar zonanya."
Mengetuk-ngetuk ujung gelas dengan jari telunjuk, aku begitu urung untuk sekedar mengangguk ataupun menanggapinya lagi.
"Apa pendapat lo tentang semua ini?" lontar pria itu lagi.
Sedikit mengernyit, lalu aku berucap dengan tenang, "Maksudnya?"
"Lo tahu, orang-orang bisnis atau pengusaha seperti mereka ini terlalu ambisius. Kalau gue, nggak pernah tertarik sedikit pun dengan dunia seperti ini."
"Oh ya?" aku sedikit tertarik, "jadi, menurut kamu keambisiusan mereka itu salah? Bukannya ... tanpa peran ambisi, suatu tujuan akan sulit tercapai?"
Sedikit mengubah posisi duduknya lebih menyerong padaku, dia berkata, "Itu benar. Tapi ... ada sedikit hal yang perlu diluruskan."
"Silakan," tanggapku, memberinya kesempatan untuk menjelaskan.
Pria itu menghela napas sejenak, "Kadang ambisi yang para pengusaha seperti mereka tanamkan di otaknya itu terlalu berlebihan. Lama-kelamaan, ambisi seperti itu bisa menguasai atau bahkan mengendalikan akal sehat. Demi mengincar tujuannya, mereka seringkali menghalalkan segala cara, hanya untuk kepentingan sendiri. Menutup mata rapat-rapat, meskipun tahu perbuatan yang dilakukannya itu akan merugikan banyak orang," tukasnya panjang lebar. Pria itu kembali menghela napas saat aku menatapnya dengan kernyitan di dahi. Tanpa memberi kesempatan untukku menyanggah, ia kembali berbicara, "so... menurut gue, setiap orang berhak punya ambisi, tapi harus bisa menyalurkannya dengan porsi yang sesuai," pungkasnya.
"Terus, kedua orang tuamu juga termasuk bagian dari orang-orang ambisius itu? Kayaknya, alasanmu ada disini, cukup menunjukkan kalau mereka juga terlibat di dunia yang kamu benci ini 'kan?" todongku tak mau kalah.
"Perlu digarisbawahi, gue bilang nggak tertarik. Bukan berarti benci."
Aku sedikit merona karena kesalahpahamanku, "Ya, apapun itu."
Pria itu mengulas senyum kecil. "Sure, tebakan lo seratus persen benar. Soal itu ... gue cukup menghormati passion mereka, yang mungkin memang disini, dan itu pilihan hidupnya. Hanya saja, jika ada yang bertanya, apa gue mau mengikuti jejak mereka? Jawabannya udah pasti nggak."
Aku bungkam, sedikit kesulitan mencari kata yang tepat untuk menanggapinya lagi.
"Lo lihat para pemain musik di ujung sana...," telunjuk pria itu mengarah pada sekumpulan musisi kelas atas berikut alat-alat orkestra-nya--yang memang sedang mengisi acara ini, lalu ia melanjutkan ujarannya, "mereka melantunkan setiap nada tanpa beban. Selain karena tuntutan pekerjaan, mereka juga mengekspresikan diri karena kemauannya sendiri. Mengisi ruangan ini dengan keharmonisan nada yang mereka ciptakan, alunan damai yang bahkan bisa membuat orang lain merasa terhanyut, bukannya itu hebat?" tanyanya retoris, "nah ... disanalah gue meletakkan mimpi utama gue. Sejak kecil gue sangat tertarik dengan dunia musik!" seru pria itu dengan tatapan berbinar dan meletup-letup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sashikirana
Teen Fiction"Perihal luka yang tak menemu cara sembuhnya..." -Sashikirana Azure Maheswara- ☆☆☆ Sas sadar, hubungannya dengan orang tuanya jauh dari kata baik-baik saja. Satu insiden besar yang dahulu terjadi, begitu mempengaruhi kehidupannya yang sekarang. Dia...