Prasangka buruk bisa jadi sebuah kecurigaan yang tidak nyata.
~Sashikirana~
***
TERNYATA sudah pukul enam pagi, saat aku melirik jam dinding cokelat tua yang menggantung di sudut kamar. Akhirnya, aku bisa benar-benar tidur meskipun lewat tengah malam. Sekarang, tenggorokanku terasa kering dan haus. Aku meraih gelas kaca dari atas nakas untuk meminum air putih, yang malah kosong melompong. Aku lupa, jika semalam aku memang tidak mengambil air minum sebelum naik ke kamar. Sedikit terpaksa, aku menyeret langkahku menuju dapur. Menuruni tangga dengan perlahan, karena masih diliputi rasa ngantuk.
Ketika tiba di anak tangga paling dasar, aku sedikit terperangah. Sekarang aku hampir melupakan satu hal juga, bahwa ada seorang pria yang menginap di rumahku. Pria yang semalam tidur di sofa ruang tamu itu ternyata sudah bangun. Saat ini, dia tengah menatapku dengan wajah datarnya. Dia masih terlihat pucat, namun tak separah semalam.
Pria itu langsung berdiri dari sofa dengan gerakan tenangnya, mungkin ia menyadari gerak-gerikku yang terlihat akan menghampirinya. Tanpa pikir panjang aku memangkas jarak dan mengabaikan tatapan lekat dari sorot matanya yang ditujukan padaku.
"Gimana kondisimu kak, udah merasa baikan?" tanyaku memastikan, begitu menghentikan langkah pada jarak yang lumayan dekat dari tempat pria itu berdiri. Karena dia masih bergeming, dengan insting yang entah muncul dari mana, aku mengulurkan tangan pada dahinya untuk mengecek suhu badannya. Namun, belum sempat aku menjangkau dahinya, tanganku sudah tertahan, karena tiba-tiba dicekal olehnya.
Tatapan kami bertaut.
"Kamu mau apa?" tanya pria itu dengan nada tenang.
"Aku kira suaramu hilang, sampe nggak ada responnya pertanyaanku," ucapku sedikit menyindir.
Perlahan, dia melepaskan cekalannya di pergelangan tanganku yang masih tertahan di udara. Beberapa detik setelah itu, aku langsung menurunkan lengan kembali ke posisi semula disertai rasa hangat yang menjalari wajah. Aku mulai menyadari sikapku yang terlalu berlebihan, buat apa juga aku repot-repot mengecek suhu tubuhnya.
Pria itu mengerling, mungkin ia ingin menertawakan gelagatku yang aneh, "Makasih sudah ngebolehin saya buat nginap. Saya juga minta maaf, karena semalam udah ganggu," tuturnya tiba-tiba.
"Hmm, sama-sama. Soal motormu yang mogok, masih dibengkel. Kayaknya, nggak mungkin selesai hari ini juga."
Pria itu mengangguk. Sepertinya, ia sudah tahu dari Bi Hanum, "Satu lagi, demam saya udah turun. Tapi, kalau kamu masih penasaran buat nge-check suhu tubuh saya, ya silahkan."
Sial, dia meledekku.
Namun, rasa maluku sedikit menguap ketika sekilas mendapati bibirnya yang mengurai senyum tipis. Entah itu senyum geli atau pun menertawaiku, yang pasti setelah itu aku merasa perlu berhati-hati. Dia tampak berbeda dengan senyumnya. Lebih ... menarik.
Aku mengerjap setelah merasa konyol dengan pikiranku sendiri.
"Saya mau pulang sebentar lagi," ucapnya.
"Pulang?" ucapku spontan, sepertinya ada yang salah dengan sistem otakku. Kenapa aku mendadak peduli seperti ini? Tapi, ya sudah lah. Terlanjur kepalang basah. Toh ini juga hanya naluri kemanusiaan, bukan apa-apa, "maksudku, kalau kamu belum sehat, nggak papa istirahat aja dulu disini," ralatku.
"Lebih baik, saya pulang. Ntar malah makin ngerepotin."
"Okedeh. Aku nggak berhak maksa juga, sih. Cuman, soal motormu yang belum balik, terus sopirku juga masih cuti, kamu pulangnya biar ku pesenin taksi aja ya?" tawarku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sashikirana
Teen Fiction#1 in prosa(24/11/24) "Perihal luka yang tak menemu cara sembuhnya..." -Sashikirana Azure Maheswara- ☆☆☆ Sas sadar, hubungannya dengan orang tuanya jauh dari kata baik-baik saja. Satu insiden besar yang dahulu terjadi, begitu mempengaruhi kehidupann...